‼️Harap bijak dalam memilih bacaan‼️
CEO tampan dan dingin itu ternyata seorang psikopat kejam yang telah banyak menghabisi orang-orang, pria itu bernama Leo Maximillian
Leo menjadikan seorang wanita sebagai tawanannya, wanita itu dia jadikan sebagai pemuas nafsu liarnya.
Bagaimana nasib sang wanita di tangan pria psikopat ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : Menonton Film Romantis
...•••Selamat Membaca•••...
Enam bulan berlalu, kondisi Maureen sudah membaik tapi dia masih menjadi tawanan Leo, entah sampai kapan. Selalu terpikir oleh Maureen, sampai kapan dia akan menjadi tawanan Leo? Dia tidak boleh keluar sendiri, bergaul dengan siapapun, memakai ponsel atau banyak hal lainnya. Maureen sudah seperti burung dalam sangkar emas, dia mulai begah dengan semua ini.
Maureen memang dijadikan pemuas hasrat saja oleh Leo selama ini, tak pernah ada kata cinta yang keluar dari mulut Leo ketika berhubungan dengannya.
“Apa aku ini hanya pelacur untuknya? Tapi mau sampai kapan?” pikir Maureen sendiri.
Sedangkan Leo, dia tetap sibuk dengan pekerjaannya, pagi sampai sore dia di kantor lalu sore sampai pagi lagi dia di rumah untuk menikmati tubuh Maureen. Dia hanya akan berhenti menggauli Maureen ketika halangan saja, jika malam hari, bisa dibilang, tak ada gunanya pakaian oleh wanita itu, toh akan dibuka juga.
Seperti malam-malam biasanya, Leo tampak lebih segar habis mandi, tetap terlihat kalau pria itu begitu lelah. Leo menghidupkan televisi, dia memilih untuk menonton di dalam kamar sembari menunggu Maureen masuk.
Klek!
“Ambil minuman begitu saja kau sangat lama, memangnya kau mantrai dulu itu minuman?” kesal Leo pada Maureen yang baru saja masuk kamar.
“Dengar ya tuan, ini jus buah, aku perlu mengupas buahnya dulu terus mencucinya dan baru membuatnya. Memang kau pikir buah ini bisa menjadi jus dengan sendirinya?” Maureen tak kalah kesal, dia seakan muak terus disalahkan oleh pria 33 tahun itu.
“Ck jangan merepet terus, mana jus nya?” Maureen menaruh jus itu di atas meja kecil di depan Leo duduk dengan kasar, hingga jus itu sedikit tumpah.
“Kau itu bisa hati-hati atau tidak?”
“Maaf,” jawab Maureen singkat dan ketus.
Tanpa membersihkan sisa minuman yang ada, Maureen memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas kasur, dia malas untuk berdebat dengan Leo.
Leo membawa pandangannya pada Maureen yang sudah rebahan dan menyelimuti dirinya dengan bedcover.
“Kau kenapa Maureen?”
“Tidak apa-apa.”
“Kau merajuk?”
“Tidak.” Leo menghela nafas dan meminum jus apel buatan Maureen.
“Ini minum jus nya.” Leo menyodorkan jus tersebut pada Maureen.
“Aku tidak mau.”
Leo mulai jengah, dia menghampiri Maureen. Selama hampir 10 bulan hidup bersama Maureen, Leo jadi tahu bagaimana tawanannya itu. Leo sangat hafal ketika dia marah, sedih, bahagia, merajuk dan lainnya.
Leo duduk di samping kasur lalu membuka bedcover yang menutupi wajah cantik itu.
Wajah itu memerah, ujung hidung Maureen juga merah, sudah bisa dipastikan kalau dia menangis.
“Buka matamu!”
Maureen menggeleng, Leo mengambil tubuh ramping Maureen lalu membawa dalam pelukannya. Baru Maureen menangis selepas mungkin, Leo menunggu Maureen sampai selesai, karena menurutnya, selesai menangis, Maureen akan lebih baik lagi.
Ada sekitar 15 menit Maureen menangis dalam pelukan Leo.
“Sudah?” tanya Leo ketika Maureen melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya itu.
“Sudah.”
“Apa ada yang menyakitimu?”
“Tidak.”
“Lalu? Kenapa menangis?”
“Aku capek tuan.”
“Kau bekerja seharian ini?” Maureen memutar bola matanya dengan malas.
“Sudahlah, aku mau tidur, percuma saja aku bicara denganmu, kau itu pria yang tidak peka sama sekali.” Saat akan membaringkan tubuhnya kembali, Leo menahan.
“Lebih baik kita menonton film, bagaimana?”
“Aku tidak mau nonton film psikopat lagi.”
“Kau tau Maureen, enaknya jadi seorang psikopat itu apa?”
“Apa?”
“Kalau kau tidak suka dengan seseorang atau ada yang menyakitimu, ya kau tinggal siksa dan bunuh saja mereka tanpa perlu banyak drama dalam menyelesaikan masalah. Melihat tubuh mereka hancur, daging berceceran, itu sangat memuaskan. Itu adalah bentuk pembalasan terbaik dari rasa sakit hati kita, sangat menyenangkan.” Leo mengatakan hal itu dengan raut puas di wajahnya, seperti dia baru saja menghabisi seseorang.
“Kau sangat mengerikan tuan, aku tidak bisa begitu.” Maureen yang mendengar saja begitu takut.
“Kau ini payah, lalu mau nonton film apa?”
“Film romantis?”
“Tidak!” Leo menolak dengan tegas karena memang dia membenci film romantis.
“Ya sudah, kalau begitu kau nonton saja sendiri.” Maureen kembali ingin merebahkan tubuhnya tapi ditahan oleh Leo.
“Oke, kita akan nonton film romantis.” Maureen tersenyum senang, setidaknya Leo merasa lega karena senyuman Maureen.
“Tapi ada syaratnya.” Maureen menatap Leo dengan bingung.
“Apa?”
“Itu kan film romantis, kita berdua akan menonton tanpa mengenakan pakaian sama sekali, bagaimana?” Maureen menganga mendengar syarat dari Leo.
“Aku tidak mau.”
“Aku tidak sedang memberikan pilihan padamu.” Maureen menghembuskan nafasnya dengan kasar, memang apa yang dikatakan Leo bukanlah sebuah pilihan.
“Lebih baik aku tidur saja kalau begitu.”
“Kalau kau tidur, aku akan memperkosamu sampai pagi.” Maureen melebarkan matanya, Leo hanya tersenyum.
“Kau tampaknya begitu senang dengan pilihan. Sekarang kau mau yang mana? Menonton tanpa busana denganku atau melayaniku sampai pagi?” lanjut Leo dengan senyuman santai pada Maureen.
“Aargghh kau membuat aku gila tuan,” geram Maureen yang membuat Leo tertawa.
“Kau juga membuat aku gila Maureen.”
“Apa kalau kita menonton, kau tidak akan melakukan apapun padaku?”
“Ya tergantung, kalau aku terpancing dengan tubuh polosmu, mungkin aku akan melakukannya sampai pagi denganmu.”
“Itu artinya kau tidak memberikan pilihan padaku.”
“Ya sudah, kalau begitu bukan pilihan namanya. Itu perintah!”
“Baiklah, aku setuju, tapi sepanjang film, kau tidak boleh menggangguku,” kata Maureen memastikan.
“Siap.”
Mereka sama-sama melepaskan pakaian mereka, hanya selimut tipis yang menutupi tubuh polos itu. Mereka berdua duduk di sofa sambil ngemil, Leo memeluk Maureen dari belakang karena posisi Maureen membelakangi Leo dan bersandar di tubuh tegap Leo.
Film romantis yang diinginkan Maureen akhirnya diputar, mereka menikmati alur cerita itu dengan baik. Leo yang pada dasarnya tidak menyukai film romantis, dia hanya fokus meraba dan menciumi Maureen sepanjang film berjalan, Maureen yang memang tahu semua ini akan terjadi hanya diam saja.
Leo memijat lembut kedua buah dada Maureen, lidahnya terus saja menjalar di leher dan telinga Maureen. Dia begitu menikmati keadaan ini, Leo lalu menciumi pundak telanjang Maureen dan sesekali menghisap dan menggigitnya sehingga meninggalkan bekas kemerahan.
Puas dengan buah dada itu, tangannya turun ke bawah, kali ini sentuhannya tepat di area kewanitaan Maureen yang membuat wanita itu kaget.
“Jangan mulai tuan.”
“Kau menonton saja.” Maureen berusaha untuk fokus pada layar televisi dengan tangan Leo yang terus meraba area sensitifnya.
Maureen sedikit bergerak gelisah saat jari Leo meraba klit-nya.
“Aahh,” desah Maureen dengan singkat, hal itu tentunya membuat Leo semakin semangat.
“Tuan, kau bisa melakukannya nanti, aku mau nonton, ini filmnya akan habis.” Leo menghentikan aksinya, dia kembali memeluk Maureen tanpa mengganggu wanita itu lagi.
“Wanita itu sangat cantik, tubuhnya bagus, aktingnya sempurna dan perawakannya sangat indah,” puji Leo pada pemain utama di film itu.
“Iya, prianya juga tampan, aku jadi ingat Gema,” balas Maureen, karena dia sangat benci ketika Leo memuji wanita lain di depannya.
“Aku tidak suka kau memuji pria lain di depanku, Maureen.” Rahang Leo mengeras.
“Kenapa memangnya? Kau memuji wanita lain di depanku, aku biasa saja.”
“Kapan aku memuji wanita lain di depanmu?”
“Barusan.”
“Kapan?”
“Kau barusan memuji pemain film itu tuan, kau bilang dia cantik, aktingnya bagus, tubuhnya indah, bla bla bla—” Leo meraup kasar wajahnya sedikit frustasi menghadapi Maureen.
“Dia hanya aktris Maureen, sedangkan kau memuji Gema di depanku.”
“Aktris itu seorang wanita bukan? Ya tetap saja, kau memuji wanita lain dan aku memuji pria lain, kita impas, kenapa kau jadi sewot begini?” Leo melongo dan menjatuhkan rahang tegasnya.
“Yang sewot dari tadi itu kamu Maureen, bukan aku.”
“Kenapa tuan membentak ku?”
“Kapan aku membentak mu?”
“Barusan.”
“Oh tuhan, cobaan apa ini.” Leo lalu mengambil posisi dan menindih Maureen.
“Tuan mau apa?”
“Memperkosamu.”
...•••BERSAMBUNG•••...
...
campur aduk, semua jadi satu 🥺🥺🥺