Seperti artinya, Nur adalah cahaya. Dia adalah pelita untuk keluarganya. Pelita untuk suami dan anaknya.
Seharusnya ...
Namun, Nur di anggap terlalu menyilaukan hingga membuat mereka buta dan tak melihat kebaikannya.
Nur tetaplah Nur, di mana pun dia berada dia akan selalu bersinar, meski di buang oleh orang-orang yang telah di sinarinya.
Ikuti kisah Nur, wanita paruh baya yang di sia-siakan oleh suami dan anak-anaknya.
Di selingkuhi suami dan sahabatnya sudahlah berat, di tambah anak-anaknya yang justru membela mereka, membuat cahaya Nur hampir meredup.
Tapi kemudian dia sadar, akan arti namanya dan perlahan mulai bangkit dan mengembalikan sinarnya.
Apa yang akan Nur lakukan hingga membuat orang-orang yang dulu menyia-nyiakannya akhirnya menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Wati berlalu sembari menghentakkan kakinya dengan kesal. Dia yang sudah sangat senang saat mendengar kedatangan Nur kerumah putranya, mendadak kecewa karena Nur tak seperti dulu.
Mertua Zahra itu lantas berpikir jika Nur pasti tengah memiliki masalah dengan suaminya.
Sepeninggal Wati, Zahra lantas mengajak Nur masuk ke dalam kamarnya, sebab jika masih di ruang tamu atau ruang keluarga, ia yakin sang mertua pasti akan menguping pembicaraan mereka.
"Ada apa Mbak?" tanya Zahra cemas.
Nur menunduk, lalu air matanya tumpah begitu saja.
"Mas Pamungkas Ra, dia menceraikan mbak," ucap Nur dengan napas tercekat.
"Astaghfirullah!" pekik Zahra tak percaya. Adik pertama Nur itu lantas segera memeluk sang kakak untuk menenangkannya.
"Ya Allah kenapa bisa mbak, ada apa?"
Nur kemudian menceritakan segala kejadiannya hingga berakhir jatuhnya talak dari Pamungkas.
"Apa? Jadi ini semua karena Sisil?"
Nur hanya mampu mengangguk, "mereka meminta restu untuk menikah tapi mbak menolak, Mas Pamungkas lebih memilih menceraikan mbak dari pada meninggalkan Sisil."
Zahra kemudian memeluk lagi sang kakak. Dia tak menyangka kehidupan sang kakak yang harmonis dua puluh tahun lamanya kini diterpa badai yang sangat dahsyat, yaitu hadirnya orang ketiga dalam rumah tangganya.
"Mbak tahu, sejak dulu aku enggak pernah suka sama mbak Sisil. Aku udah pernah ingetin mbak buat hati-hati sama dia, tapi mbak ngga percaya. Benarkan apa yang aku takutkan!" keluh Zahra.
Zahra memang pernah mengingatkan sang kakak untuk mengawasi kedekatan Sisil dengan Pamungkas yang dia rasa sangat berlebihan.
Namun saat itu Nur mengabaikannya dan menganggap jika Zahra terlalu berpikiran buruk.
Lagi pula Nur memang tak tahu jika keduanya selalu bertemu di luaran sana. Kalau saat bertamu dia melihat sikap Sisil dan sang suami yang di anggap masih wajar.
Kini semua telah terjadi, tak bisa Nur mengulang lagi waktu untuk mencegah segalanya.
"Terus mbak mau gimana setelah ini?"
"Mbak mau enggak mau harus melanjutkan hidup Ra. Maaf jika mba mungkin akan merepotkanmu, boleh untuk sementara waktu mbak numpang di rumah kamu Ra? Hanya sementara, sampai mbak dapat pekerjaan. Jujur mbak keluar dari rumah enggak di perbolehkan membawa apapun sama mas Pamungkas Ra."
Saat Nur sedang bercerita, tiba-tiba ada suara benda jatuh dari depan kamar Zahra.
Zahra mendesah kesal, dia yakin itu ulah ibu mertuanya yang pasti tengah menguping.
"Ada apa Ra?" tanya Nur cemas.
"Udah mbak, kucing tetangga mungkin. Emmm mbak aku sebenarnya ikut sedih atas apa yang terjadi sama rumah tangga mbak. Masalahnya sekarang ada ibunya Mas Farid. Kamar di sini penuh semua, apa mbak ngga papa tidur sama Cici?"
Nur yang sempat lemas karena mendengar penjelasan Zahra, tiba-tiba tersenyum senang.
Dia kembali memeluk sang adik dan mengucapkan banyak terima kasih.
"Makasih ya Ra. Mbak janji kalau sudah dapat pekerjaan, mbak akan lekas pindah dari sini—"
"Mbak jangan ngomong kaya gitu, aku malah ingin sekali mbak tinggal di sini sama aku. Aku ingin membalas segala kebaikan yang dulu mbak berikan sama aku dan Sulton."
"Mbak adalah pengganti orang tua kita mbak, aku yang malu karena enggak bisa membalas kebaikan mbak selama ini," balas Zahra sendu.
Nur menggeleng dan mengusap punggung sang adik.
"Mbak ngga pernah merasa membahagiakan kalian itu adalah sebuah hutang budi. Mbak memang ingin supaya kalian bisa memiliki masa depan cerah, agar enggak seperti mbak."
"Ya udah mbak istirahat aja dulu ya, aku lihat mbak pucat. Apa mbak belum makan?"
Nur lalu menggeleng. "Makasih ya Ra."
"Ayo aku antar mbak ke kamar Cici! Nanti aku siapkan makanan kesukaan mbak. Oh iya, maafkan sikap ibunya mas Farid ya mbak. Dia memang seperti itu, tapi beliau orang baik kok mbak, hanya saja terkadang mulutnya memang ngga bisa di rem," jelas Zahra.
Keduanya lantas terkekeh dengan ucapan Zahra. Setidaknya Nur sudah sedikit tahu sifat mertua Zahra tadi.
Saat tengah beristirahat. Nur mencoba menghubungi nomor putra bungsunya. Namun entah kenapa panggilannya tak tersambung.
Nur merasa cemas tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Dia berpikir mungkin saat ini Pamungkas tengah menyita ponsel putranya.
.
.
Di kediaman Pamungkas, Bisma yang baru pulang sekolah merasa heran karena tak melihat keberadaan sang ibu.
Yang membuat remaja itu makin bingung justru ada keberadaan Sisil dengan muka sembabnya.
"Pah, mamah mana? Apa mamah masih sakit?" cecarnya bertubi-tubi.
Amanda yang tak ingin membuat suasanya rumahnya semakin bertambah suram, lantas segera menggiring adiknya untuk naik ke kamarnya.
"Sebaiknya kamu mandi dulu. Oh iya kita udah lama ngga makan mie instan. Mau enggak kamu kakak masakin?"
Bisma yang tadi merasa bingung tiba-tiba tersenyum dengan mata berbinar.
Di rumah, Nur memang menerapkan untuk tak sering-sering makan mie instan. Bahkan keduanya di jatah dua minggu sekali baru boleh makan makanan kesukaan sejuta umat itu.
"Beneran ka? Emang udah waktunya kita makan mie ya? Aku mau mie goreng deh, pakai telor ya!"
"Siap bos! Dah sana buruan mandi."
"Eh tapi kenapa papah sama tante Sisil murung gitu ka? Kakak juga kenapa matanya sembab?"
"Udah jangan banyak tanya, nanti kakak batalin nih!" ancam Amanda.
"Ishh iya, iya."
Saat Bisma masuk ke dalam kamarnya, Amanda masih berdiri di depan kamar sang adik.
Setelah mendengar suara gemericik air dari kamar sang adik, Amanda memutuskan untuk masuk ke dalam kamar Bisma.
Mata Amanda tertuju pada tas Bisma yang tergeletak begitu saja di atas kasur.
Dia bergegas mencari sesuatu. Setelah menemukannya, Amanda menggenggam benda itu dengan erat.
"Maafkan kakak Dek."
.
.
.
Lanjut
namaku thor🤭