Original Story by : Chiknuggies (Hak cipta dilindungi undang-undang)
Aku pernah menemukan cinta sejati, hanya saja . . . Arta, (pria yang aku kenal saat itu) memutuskan untuk menjalin kasih dengan wanita lain.
Beberapa hari yang lalu dia kembali kepadaku, datang bersama kenangan yang aku tahu bahwa, itu adalah kenangan pahit.
Sungguh lucu memang, mengetahui Arta dengan sadarnya, mempermainkan hatiku naik dan turun. Dia datang ketika aku berjuang keras untuk melupakannya.
Bak layangan yang asyik dikendalikan, membuat aku saat ini tenggelam dalam dilema.
Hati ini. . . sulit menterjemahkan Arta sebagai, kerinduan atau tanda bahaya.
°°°°°°
Airin, wanita dengan senyuman yang menyembunyikan luka. Setiap cinta yang ia beri, berakhir dengan pengkhianatan.
Dalam kesendirian, ia mencari kekuatan untuk bangkit, berharap suatu hari menemukan cinta yang setia. Namun, di setiap malam yang sunyi, kenangan pahit kembali menghantui. Hatinya yang rapuh terus berjuang melawan bayang masalalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chiknuggies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
...-.Bintang tinggi tidak untuk diraih, melainkan cukup dinikmati keindahannya dari tepi malam menuju pagi.-...
^^^Chiknuggies, 27-September-2024^^^
Terima kasih untuk pundakmu tempatku bersandar, tanganmu yang pernah kugenggam, juga aroma tubuhmu yang pasti tidak akan aku hirup kembali.
°°°°°
Sampai di titik ini, semenjak aku mengetahui latar belakang keluarga Ruel. Aku dapat mengerti bahwa keluarga, tidak menjamin bisa menjadi support system yang mendukung bagi perasaan.
Ruel yang tidak mungkin menceritakan seluruh masalah kepada ibunya, karena semua inti masalah yang ia rasakan bersembur dari ibunya, tidak pula dapat bercerita kepada ayah, karena takut pertengkaran dalam rumah tangga akan terjadi bila ayah nya tahu.
Dan tentu saja, tidak semua orang bisa di jadikan sahabat untuk dapat bercerita, lagi pula ia tidak punya waktu yang cukup untuk mendapatkan salah satunya.
Pertemuanku dengan Ruel adalah anugerah yang diberikan bimasakti kepada kami. Aku merasa menemukan sosok yang tepat di waktu yang tepat pula, seperti kepingan puzzle yang menemukan kepingan lainnya untuk berpegang.
°°°°°
Di tempat kerja, menekan perasaan bahagia yang ku dapatkan dari makan-makan bersama Ruel kemarin, aku tetap mencoba untuk menjadi pekerja yang profesional, dengan tidak banyak berbicara dengan Ruel, menutup mulut dan jarang berbicara seperti layaknya hari-hari sebelumnya. Sedangkan Ruel tetap riang dan memanggilku Rin-rin, tidak seperti saat kami berdua saja, ia akan memanggilku Boo.
Pelanggan baru semakin kerap berdatangan, beberapa sering menanyaiku mengenai rekomendasi menu yang terdapat di restoran kami.
"Wah boleh kak, kalo gitu saya mau pesan Gyuu ramen nya dua ya, sama minumnya ocha dingin aja." Pesan dari salah seorang pelanggan, setelah menanyakan menu yang menjadi andalan minggu ini, kepadaku.
"Ia, aku dengar rin." Teriak Sandi, sebelum aku mulai memberikan kertas pesanan.
Ahh, hari ini meski aku sedang sibuk di dalam resto, tetapi aku bisa merasakan cerahnya mentari, dari positif nya energi yang hari ini aku dapatkan.
Semua berlangsung bahagia, hingga tiba waktu pulang, Sandi tidak membiarkanku pulang terlebih dahulu. Sepertinya ada yang ingin dia bicarakan kepadaku.
"Arina, lu laper nggak?" Tanyanya kepadaku.
"Mhh... kenapa emang? Ada pesanan yang gak di makan ya?" Tanyaku kembali menjawab pertanyaannya.
Kerap kali memang Sandi memberiku orderan fiktif yang belakangan ini kerap terjadi menurutnya. Karena memang ia mengetahui aku yang merupakan anak kosan, maka ia selalu memilihku ketimbang Ruel.
Sandi jarang ku dengar berbicara, bisa di bilang ia seperti zombie di dapur. Kenapa aku bilang begitu karena perawakan juga gestur tubuhnya yang selalu terlihat lelah.
"Ia." Jelasnya kesal dengan bibir meracau tanpa suara.
Meski sudah melewati banyak hari bersama, aku tidak terlalu mengenal sandi dengan baik. Yang aku ketahui hanya, ia yang tidak suka jika masakannya tidak dimakan/bersisa, juga royalitas kerjanya yang luar biasa.
"Ohh, ia san. Makasih banyak ya." Ucapku menerima kantung plastik berisikan bento chicken katsu sambil tersenyum.
Hingga sesampainya di rumah, aku menyantap bento dengan senangnya, "Ahh, sungguh hari yang baik. Pagi ini menyenangkan, lalu malamnya aku mendapat makanan." Syukurku sebelum mulai menyuap katsu dengan sumpit kayu satu kali pakai.
Namun, aku menyadari ada yang tersisa di balik pelastik, apa itu yang ada di kantung plastik bekas pembungkus bento ku, seperti masih ada sesuatu berbentuk persegi, pipih di dalamnya.
*Ding!* Notifikasi pesan tiba-tiba saja masuk dari Sandi.
"Rin, lu liat powerbank gw nggak?" Tanyanya kepadaku lewat pesan singkat.
Powerbank? Sebentar apa jangan-jangan yang ada di dalam sini . . . Aku membuka plastik dan rupanya benar saja, powerbank Sandi iky bersamaku di dalamnya.
Tak lama berselang sandi mengetuk pintu rumahku dengan nada datar. "Rin."
"Iya san masuk aja, power bank nya ada di dalam." Jawabku setengah berteriak dari dalam, mempersilahkan ia masuk.
Dia masuk, dengan bisikan permisi yang keluar dari mulutnya. Ia melihat sekeliling, seperti menelaah sesuatu yang tidak dapat aku lihat.
"K-kenapa san?! Lu liat apa? Jangan bikin gw takut ah." Ujarku merinding atas tingkah laku Sandi.
Ia menggeleng, "lu tinggal sendirian di sini rin?" Tanyanya kepadaku, masih dengan nada datar.
"Umm." Mengangguk dengan gigi menyobek sachet teh, bermaksud untuk membuatkannya teh.
Ia lalu tanpa bahasa mulai duduk berleseh di tengah kosan. Ya karena memang kosan kecilku ini tidak terdapat bangku, hanya meja pendek kecil yang mendukung kegiatan rumahku.
Ia mencegahku untuk menyalakan AC dengan kakimat sederhana, "Nggak usah rin, buka aja pintunya biar nggak jadi omongan."
"Umm, yeah."
Aku sedikit canggung pada kehadiran Sandi di rumahku. Siapa yang tidak canggung bila, ada rekanmu yang tidak pernah berbicara kini mampir ke rumah sebagai tamu.
Untuk mencairkan suasana, aku menyuguhkan teh berikut powerbank yang terbawa ke meja di depannya.
"Uhh, ini San. Maaf ya jadi ngerepotin kamu, coba kalo aku cek dulu." Ujarku merasa bersalah.
"Nggak masalah ... Rin."
"Eh iya?!" Aku tanpa alasan yang jelas menjadi salah tingkah.
"Menurut lu, gw itu orang yang kaya apa si?" Tanyanya tiba-tiba, dengan topik yang terlalu intim.
"Ya, gimana yah. Buat gw lu tuh temen yang baik kok, terutama pas di kerjaan."
Aku menjelaskan kepadanya, beberapa jawaban jujur dari dalam benakku. Karena memang, meskipun dia terlihat dingin, namun Sandi adalah orang yang cukup perhatian kepada sekitarnya.
Ruel yang selalu mundar-mandir ke dapur, acap kali mengambil bahan makanan untuk di cicipi, namun ia tidak pernah sekalipun marah, dari yang kulihat malah ia menyiapkan piring kecil khusus untuk Ruel di samping kompor agar Ruel leluasa memakan masakannya.
Karena aku juga bekerja sebagai kasir dan menerima pesanan, aku pun mengetahui bahwa tidak pernah ada orderan fiktif yang sering ia keluhkan. Namun, aku yakin bahwa makanan yang ia buat setiap sebelum pulang, lalu gerutunya yang ia buat-buat, adalah alasan untuk memberiku makan malam.
Aku menjelaskannya dengan ringkas kepada Sandi yang duduk tenang di hadapanku.
"Mm, begitu." Jawabnya singkat dengan senyum samar yang menggali lesung pipi.
"Lu, kenapa bisa tiba-tiba nanya itu ke gw san?"
"...." Tatapannya ke arah gelas menjadi dingin dan serius menanggapi pertanyaanku.
"Nggak apa-apa lu boleh kok cerita sedikit, lagian juga besok kan libur." Senyumku mengajukan diri.
Dan mulai dari sinilah, aku akan mengenal rekan kerjaku lebih dalam dari sebelumnya.