NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MEMELUK RUMITMU

"GUE mimpi lo jatuh, mimpi buruk. Gue disini karena takut lo kenapa napa..."

Gadis itu menatap Yesha dengan hangat ditengah dinginnya hujan yang menusuk kulit. Kedua tangan mungilnya membantu Yesha berdiri tegak, memegangi kedua lengannya. Tanpa bicara lagi dia menarik tubuh Yesha kedalam pelukannya, mengusap punggung lelaki itu lembut. Tidak keberatan tubuhnya ikut basah kuyup diguyur air hujan.

“Ra…”

“It’s okay to not be okay, Sha. It’s okay, everything’s gonna be fine…I’m here…”

Gelegar petir terdengar, membuat gadis itu berjengit kecil menahan ngeri. Nara takut petir, tapi ia lebih takut Yesha terluka. Suasana dingin terasa menusuk kulitnya, tapi Nara tahu Yesha lebih sakit dibanding dirinya. Nara tidak tahu apa yang terjadi pada Yesha, tapi ia bisa merasakan rasa sakit yang sangat itu lewat isak tangis yang didengarnya. Nara bisa merasakan betapa rapuh lelaki ini lewat pelukannya.

“Berat ya, Sha? Tapi gue tahu lo kuat. Lo boleh nangis kalau lo mau nangis. Ketawa kalau lo mau ketawa. Nggak adil ya? Lo nggak perlu pura pura kuat, lo boleh nangis, boleh ngerengek kayak anak kecil, selalu ada orang yang tepat buat menerima semua keluhan lo. Selalu ada orang yang mau nemenin lo ngelewatin hujan…” Suara Nara bergetar menahan tangis. Rasa sedih Yesha sukses membuat air matanya ikut bergumul. Kata kata Yesha kala Nara yang menangis akhirnya ia bisa sampaikan lagi pada orang yang mengucapkannya untuk menguatkan Nara. Akhirnya Nara yang bisa menguatkannya.

“Yesha, listen to me ya, gue nggak tahu apa yang terjadi dalam hidup lo sekarang, apa yang buat lo sakit, tapi gue bisa ngerasain betapa sakit yang lo rasain sekarang. Dan walaupun hari ini seluruh dunia menjatuhkan lo, gue kali ini ada dipihak lo, gue akan selalu ada dipihak lo. Sekarang gue cuma bisa bilang kalau semuanya bakal baik baik aja, Sha. Besok semuanya bakal baik baik aja…”

“G-gue nggak minta s-semua kepopuleran itu, Ra…gue nggak minta mereka suka sama gue…” Suara Yesha tersendat, tangisnya beradu dengan hujan. “Gue cuma ngejalanin hidup yang g-gue m-mau, Ra…g-gue cuma hidup sesuai hati gue…”

“Iya, Sha, gue tahu…”

“Bunda bahkan ninggalin gue, Ra…b-bunda sengaja ninggalin gue…apa gue ng-nggak berhak dapat kasih sayangnya…? Gue seenggak berharga itu dimata bunda…? Bunda egois, Ra, egois…”

“Nggak ada orang tua yang gak sayang sama anaknya, Sha, begitu juga bunda lo…pasti ada alasan besar kenapa bunda lo pergi…” Nara menyeka pipi, air matanya berjatuhan deras. Ia mengurai pelukan, mengusap kedua lengan Yesha. “Kita pulang ya, Yesha? Nanti lo sakit.”

Yesha menggeleng. “Mereka bahkan gak peduli sama sakit di hati gue, terus siapa yang mau peduli kalau gue cuma sakit biasa?”

“Gue.” Nara menyahut cepat, menatap Yesha yang kedua matanya sudah sembab. “Gue peduli sama lo. Gue takut lo sakit. Gue ada didepan lo sekarang karena gue takut luka di hati lo semakin besar Yesha. Kalau lo beneran sakit gue bakal sedih, gue bakal ikut sakit.”

Yesha terdiam. Sekeras apapun ia berusaha mengorek kebohongan dikedua bola mata Nara, yang Yesha temukan didalam sana hanya sebuah ketulusan. Rasa hangat yang menyelipkan ketenangan di rongga dada Yesha.

“Gue harus pulang kemana?”

Nara meraih tangan Yesha, tersenyum menenangkan. “Masih ada gue Yesha, lo masih ada tempat pulang selama gue ada.”

...***...

Pintu rumah Nara ditutup rapat saat dirinya dan Yesha sudah berada didalam.

Nara menyalakan lampu, seraya sebelah tangannya menyodorkan paperbag berisi setelan pakaian yang ia beli dijalan tadi pada Yesha. Nara tidak punya saudara laki laki di rumahnya, dan daripada membiarkan Yesha dengan pakaian basah, tidak ada pilihan lain selain beli baru saja.

“Di deket tangga itu ada kamar tamu, lo bisa mandi sama ganti baju disana. Gih, nanti lo masuk angin.” Suruh Nara.

“Terus lo?” Tanya Yesha.

“Apanya? Gue ya ke kamar gue.”

Benar juga. Yesha akhirnya mengangguk. “Sorry jadi ngerepotin lo.”

Kedua sudut bibir Nara tertarik tulus, menggeleng. “Nggak, apaan sih? Udah sana.”

Setelah melihat Yesha masuk ke kamar yang benar, Nara juga akhirnya naik ke lantai dua, masuk ke kamarnya. Di luar hujan masih sama seperti sebelumnya, gelegar petir sesekali masih terdengar. Tadi Nara takut sendirian dirumah, tapi karena sekarang ada Yesha, semuanya jadi terasa baik baik saja.

Hampir satu jam kemudian saat Nara keluar lagi dari kamarnya, sudah berganti pakaian dengan piyama merah muda dan rambut kering. Gadis itu menuruni tangga, celingukan, Yesha tidak ada, sepertinya masih didalam kamar.

Sejenak Nara belok ke dapur, menaikkan penggorengan keatas kompor, mulai memasak sebisanya dengan bahan bahan yang ada.

“Lo ngapain?”

Suara itu membuat Nara nyaris loncat karena kaget. Astaga, ia baru ingat kalau ia tidak sendirian sekarang. Nara menoleh kebelakang, Yesha sudah duduk disalah satu kursi dapur entah sejak kapan, mengagetkan saja.

“Bikin nasi goreng, lo belum makan, kan?”

“Belum.” Jawab Yesha tak semangat.

Jika situasinya berbeda, Nara mungkin lebih memilih meneriaki Yesha karena sudah mengagetkannya daripada bertanya dia sudah makan atau belum. Tapi suasana hati lelaki itu sedang buruk, bukan waktu yang baik untuk bertengkar.

“Yaudah tunggu, sebentar lagi makanannya siap.”

Tanpa Nara sadari, Yesha tersenyum samar memperhatikan gadis itu bergerak gesit didepan peralatan dapur. Adegan mencicipi makanan dari spatula terlihat cukup meyakinkan. Aroma gurih yang menyeruak membuat selera makan Yesha naik walaupun suasana hatinya sedang buruk. Tapi sekalipun ia menolak makan pada Nara, Yesha yakin seratus persen gadis itu tidak akan membiarkan Yesha tidur dengan perut kosong.

“Ra.”

“Hm?”

“Kalau gue bilang gue gak mau makan gimana?”

“Lo gak boleh tidur tapi perut kosong gitu, Sha. Apalagi habis hujan hujanan, makan aja walaupun cuma sedikit.” Nara menjawab tanpa menoleh, sibuk dengan masakannya.

Benar kan? Jawaban yang sudah Yesha duga. “Kalau gue tetep bilang nggak mau?”

“Keluar lo dari rumah gue.”

Tawa kecil dari Yesha refleks membuat Nara menoleh, sejenak melupakan nasi gorengnya yang harum. Yesha barusan tertawa bukan? Apa suasana hatinya membaik?

Yesha menunjuk nasi goreng dengan dagunya. “Nasi gorengnya.”

“Oh.” Nara tersadar, kembali melanjutkan masakannya.

Lima belas menit kemudian mereka sudah duduk berhadap hadapan di meja makan dengan sepiring nasi goreng di piring masing masing. Yesha mencoba lebih dulu, Nara menatapnya meminta komentar, dan lelaki itu tersenyum, mengangguk, nasi gorengnya enak. Nara menghela napas lega, ikut melahap miliknya.

Hening satu dua menit.

“Ra.” Yesha teringat sesuatu yang penting.

“Ya?”

Yesha terlihat berpikir sejenak, menatap Nara. “Kenapa lo belain gue disekolah tadi? Waktu lo ikut dipanggil ke BK.”

Gerakan Nara terhenti, ia terdiam lama. Perlahan Nara mengangkat pandang menatap Yesha, kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman tulus. “Karena gue tahu lo bukan orang kayak gitu.”

Yesha termangu. Otaknya berusaha menerka darimana Nara bisa menyimpulkan seperti itu?

“Bukan lo, kan, Sha?” Tanya Nara hati hati.

Sungguh, Nara tidak akan siap kalau jawabannya tidak sesuai dengan hatinya. Setelah semesta memberikan waktu yang cukup panjang untuk Nara mengenal sosok Yeshaka, setelah berkali kali dibuat kesal, setelah berkali kali dibuat tersenyum bahkan tertawa, berkali kali ditenangkan dengan caranya, Nara tahu bahwa Yesha bukan seseorang yang sempat ia benci. Dia tidak mungkin melakukan hal seperti itu.

Yesha tersenyum, mengangguk. “Lo bener. Bukan gue orangnya.”

Nara menghela napas lega didalam hati. Ia tahu, bukan Yesha. Dan memang bukan. “Terus apa yang lo lakuin di gudang Gimnasium sama Sabitha waktu itu?”

Yesha menunjuk perutnya. “Lo inget luka di perut gue? Gue ke gores pecahan kaca Gimnasium di rak rak sempit pas ngambilin bola buat Sabitha di gudang. Dia refleks nolongin gue, sampai ngerobek baju seragamnya buat berhentiin pendarahannya. Dan lo datang di waktu yang salah, pikiran lo jadi kemana mana, kan?”

Astaga. Luka itu. Aduh, bagaimana Nara tidak bisa langsung menyimpulkan itu dari dulu saat Yesha memberitahunya? Gadis itu jadi merasa berdosa telah membenci Yesha tanpa tahu alasan sebenarnya.

“Tapi masalah Sabitha hamil dan nuduh gue itu udah keterlaluan, gue tahu dia suka gue dari kecil, tapi kalau sampai pake jalan pintas gitu gue bener bener kecewa.” Yesha menunduk.

Nara menatapnya kini dengan rasa bersalah. Sudah berapa kali lelaki itu dikecewakan hari ini? “Maaf gue sempet benci sama lo gara gara itu, Sha.” Ucap Nara pelan.

“It’s okay.”

Hening.

Nasi goreng di piring mereka tersisa separuh lima menit kemudian. Bahkan Nara ikut kehilangan selera makan, seperti yang dilakukan Yesha, ia hanya mengaduk ngaduk makanannya tanpa selera.

“Di rumah lo lagi ada masalah ya?” Tanya Nara kemudian.

Yesha mendongak menatap Nara. Gadis itu lantas ikut menaruh atensi pada Yesha.

“Iya.” Yesha mengangguk.

“Masalah serius?” Tanya Nara lagi.

Yesha mengangguk lagi. “Tentang bunda gue.”

Nara terlihat hendak bertanya lagi, tapi melihat ekspresi Yesha yang kembali sendu membuatnya jadi merasa tidak enak. Ia tidak mau juga dikira ikut campur masalah orang lain, biar Yesha saja yang bercerita dengan sendirinya.

“Dulu ayah gue bilang bunda meninggal karena sakit, tapi kalau gue inget inget lagi gue gak pernah liat bunda sakit waktu itu, dan ternyata emang bukan karena sakit.” Yesha menjeda kalimatnya, mulai bercerita walau mengingatnya membuat goresan di hati Yesha terasa perih.

Tangan Nara terulur meraih jemari Yesha diatas meja, tersenyum menguatkannya. “Pelan pelan aja ceritanya, pasti gue dengerin.”

Yesha mengangguk, membalas genggaman tangan Nara yang lagi lagi memberikan ketenangan untuknya. “Gue bisa percaya sama lo, kan, Ra?”

“Sure.” Nara mengangguk. “Giliran gue yang nemenin lo ngelewatin hujan, Sha.” Senyumnya terbit.

Yesha ikut tersenyum walau hanya segaris. Ia menghela napas panjang. Yesha tahu, setidaknya berbagi dengan Nara akan membuat beban dihatinya sedikit meringan. Gadis ini adalah salah satu orang yang mulai Yesha percaya.

“Semuanya dimulai pas orang tua gue SMA…”

...***...

“Ra…kenapa lo yang nangis?”

Nara menyeka pipi, susah payah berusaha menahan tangisnya mendengar cerita Yesha. “B-bunda lo…l-lo, Yesha…s-seberapa b-berat yang lo r-rasain sekarang?...G-gue sedih dengernya…” Ucap Nara dengan suara tersendat sendat.

“Gue udah nggak nangis, Ra, gue nggak apa apa.” Yesha mengusap bahu gadis itu, dia sudah berpindah duduk disisi Yesha.

“G-gue yang denger aja sakit h-hati, Sha…a-apalagi lo…”

Yesha justru tersenyum. Astaga, gadis ini sungguh menangis untuk Yesha? Dia bahkan terlihat lebih sedih daripada Yesha sendiri.

“Tapi Yesha…”

“Ya?”

“Zara siapa?”

Tadi Yesha sempat menyebut nama Zara beberapa kali, tanpa menjelaskan siapa gadis itu pada Nara.

“Bianca Yezhara. My twins. Adik kembar gue.”

Tangis Nara tersumpal. Ia mematung dengan mata membelalak sempurna, menatap Yesha tidak percaya. “K-kembar? L-lo bercanda?”

Yesha menggeleng. “Serius. Nggak percaya, kan?”

“Kok bisa?”

“Bisa lah.” Jawab Yesha yakin. “Lo mungkin gak pernah liat Zara, karena dia emang gak ada di negara ini. Dia di Australia, belajar bisnis.”

Nara masih termangu. Fakta itu berhasil membuat tangisnya berhenti dengan sempurna. Ia menyeka pipi, menghilangkan jejak air matanya disana.

“Nanti kalau dia pulang gue kenalin.”

“Dia mirip banget sama lo?”

Yesha bergumam, berpikir. “Kalau nggak beda jenis kelamin mungkin gak ada yang bisa bedain kita. Gue sama Zara mungkin identik dari segi fisik, but we different in life style, ideal, and how we see the world. Zara is an ambissius, but I’m not.”

Nara menyimak dengan serius. Di kepalanya sekarang terbayang sosok Yesha namun versi perempuan. Tidak terlalu terbayang sebenarnya, tapi melihat Yesha laki laki saja setampan ini, bagaimana kalau ada versi perempuannya? Akan secantik apa sosok Zara?

Tapi lamunan Nara terputus saat tiba tiba tangan Yesha terulur menangkup sebelah pipinya, ibu jarinya bergerak mengelus lembut permukaan wajah Nara, tersenyum tampan.

“Makasih udah mau dengerin cerita gue.”

Nara mengangguk kaku, jantungnya mendadak berdegup kencang.

“I feel better, Ra. Better with you here, and I’m here with you. Makasih udah mau nangis buat gue, gak ada yang pernah ngelakuin itu sepanjang hidup gue, baru lo aja. Semua hal yang lo lakuin adalah hal baru di hidup gue, Ra. Lo berhasil buat gue percaya bahwa masih ada orang yang mau ngelewatin hujan bareng gue, orang yang bisa memeluk rumitnya gue, yang mengerti gue tanpa perlu gue bicara. Dan seandainya gue udah nerima lo di hidup gue, apa lo juga mau nerima gue di hidup lo?”

Lidah Nara rasanya kelu untuk menjawab pertanyaan itu. Nara yakin jantungnya baru saja berhenti berdetak saat Yesha mengatakan kalimat yang tidak pernah Nara bayangkan sekalipun dalam mimpi. Kalimat itu, bagaimana Nara mengartikannya? Otaknya mendadak lambat mencerna ucapan Yesha.

“Ra?”

“Y-ya?”

Yesha menempatkan tangan Nara didepan dada kirinya, membuat Nara merasakan debaran jantung Yesha yang justru jauh lebih berdebar dibanding jantung Nara sendiri.

Yesha menatap Nara tepat dimatanya, “You feel it?”

“Y-your h-heartbeat…?”

Yesha mengangguk, “Lo juga akan ada disana entah hari ini atau besok lusa. Cuma lo yang bisa bikin gue kayak gini, Keinarra. Just you, Kei.”

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!