NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Padam

Cahaya Yang Padam

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Beda Usia / Mengubah Takdir
Popularitas:27.8k
Nilai: 5
Nama Author: NurAzizah504

Cahaya dipaksa menikah dengan pria yang menabrak ayahnya hingga meninggal. Namun, siapa sangka jika pria itu memiliki seorang istri yang amat dicintainya yang saat ini sedang terbaring lemah tak berdaya. Sehari setelah pernikahan paksa itu dilakukan, pertemuan tak sengaja antara Cahaya dan istri pertama suaminya terjadi.

Akankah Cahaya diakui statusnya di hadapan keluarga suaminya? Atau malah Cahaya tetap disembunyikan? Dipaksa padam seolah tak pernah ada dalam kehidupan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15. Zahra Bunuh Diri

Zahra tengah menyisir rambut sambil bersenandung riang sewaktu deru mobil Arif terdengar memasuki garasi. Dia menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu sebelum akhirnya memutuskan untuk menyambut kepulangan suami tercinta.

"Bang," sapa Zahra hendak meraih tangan Arif untuk dicium seperti biasa.

Namun, Arif menepisnya dengan kasar. Yang pada akhirnya malah membuat Zahra gentar. "Abang ... kenapa?"

"Apa yang sudah kamu lakukan ke Cahaya pagi tadi, hm? Kamu memfitnahnya? Kamu menuduhnya menjadi pelakor? Kamu tau gak, Zahra? Gara-gara ulah kamu, Cahaya sampai dilempari sama ibu-ibu di situ? Dia bahkan hampir diusir, Zahra. Kamu mikir gak, sih, hah?"

"Memang dia pelakor, kok. Dia sudah merebut Abang dari aku. Buktinya sekarang Abang udah gampang marahin aku. Abang udah makin sering ngomong kasar. Abang gak romantis lagi. Abang──"

"Itu karena kamu yang minta!" tegas Arif membuat Zahra terdiam seketika. "Karena kamu, aku jadi begini."

Zahra menggeleng lemah. Air matanya menetes begitu saja.

"Aku hanya sedang memperjuangkan apa yang seharusnya, Bang. Mungkin caraku salah. Tapi, hanya ini yang bisa aku lakukan. Makin ke sini, kita makin terasa jauh. Abang udah bukan Abang yang dulu. Abang berbeda ...."

"Ya, Tuhan ...." Arif mengusap wajah sekaligus menyugar rambut untuk melampiaskan rasa frustrasinya. Dia tidak mengerti akan jalan pikiran Zahra. "Pokoknya Abang gak mau tau. Besok, kamu harus minta maaf ke Cahaya."

"Gak, Bang. Aku gak mau! Apa yang aku lakukan itu gak salah."

"Gak salah di mananya, hah? Jelas-jelas kamu yang bersalah di sini. Makanya berpikir dulu sebelum bertindak."

Zahra hanya bisa menatap Arif yang melangkah lebar-lebar menjauhi dirinya. Saat itu juga, kedua kaki Zahra seolah kehilangan tenaga. Zahra terjatuh sambil terisak. Dadanya terasa sesak, seakan dihimpit oleh bongkahan batu besar.

"Kenapa rasanya sakit sekali, Tuhan? Aku hanya sedang berjuang. Apa aku salah?" tanya Zahra, yang tak kunjung mendapatkan jawaban.

Makan malam sudah disiapkan. Itu semua Zahra lakukan untuk mengalihkan perhatian dari berbagai masalah yang mulai berdatangan.

Zahra kemudian masuk ke dalam kamar untuk memanggil Arif. Saat itu, suaminya terlihat sedang menyemprot parfum ke seluruh tubuh.

"Makan malam dulu, yuk, Bang," ajak Zahra seraya berdiri di sebelah Arif. Matanya menatap pantulan keduanya dari cermin lalu tersenyum semanis mungkin.

"Gak bisa. Abang harus ke rumah Cahaya sekarang juga. Mbok Tun lagi pulang kampung soalnya."

"Tapi, ini cuma sebentar, Bang. Aku udah masakin makanan kesukaan Abang."

"Masih bisa dipanasin, 'kan?"

"Apanya?" tanya Zahra tak paham.

"Makanannya? Kalau bisa, besok Abang makan. Kasian Cahaya. Dia sendirian di rumah."

"Aku, kan, juga sendirian. Abang gak kasian?"

"Ini berbeda, Zahra. Cahaya harus sekalian ngurus Zaif. Udah, ya. Abang berangkat dulu."

"Abang, bakalan tidur di mana malam ini?" Pelan-pelan Zahra bertanya. Dan, jawaban yang Arif lontarkan kemudian, membuat sakit di hatinya menjadi tak tertahan.

"Di rumah Cahaya. Besok pagi Abang pulang. Kita sarapan bareng."

Zahra mencoba tersenyum. Bahkan saat Arif mengecup keningnya dan mengusap pipinya sekilas, Zahra masih berusaha untuk terlihat baik-baik saja.

"Ini yang aku takutkan, Bang. Kasih sayang Abang harus terbagi."

****************

Tak terasa, sepuluh bulan berlalu begitu cepat. Zahra dipaksa menerima bahwa tidak semua hal berjalan sesuai keinginannya. Sementara itu, Cahaya yang sudah tak lagi bekerja, kini sepenuhnya mengabdi menjadi ibu rumah tangga. Dan, terkait masalah dirinya yang meminta pisah, hal itu terpaksa ia urungkan.

Diam-diam tanpa sepengetahuannya, Arif sudah mengurus buku nikah mereka di KUA. Beberapa bulan yang lalu, pernikahan mereka telah tercatat sah menurut negara.

Itu semua Arif lakukan karena tak ingin Cahaya pergi darinya. Jika ditanya mengapa, Arif belum tahu jawaban pastinya.

"Anak ayah baru abis mandi, ya? Pantesan wangi banget. Kenapa, Sayang? Mau Ayah gendong? Sini, sini."

"Pak, besok belanja, ya? Barang-barangnya Zaif udah habis semua," ujar Cahaya dari atas kasur.

"Boleh. Tapi, agak siangan dikit, ya? Soalnya malam saya ada janji dinner sama Zahra."

"Em, Kak Zahra kabarnya gimana, Pak? Sejak kejadian itu, aku gak pernah lagi ketemu sama Kak Zahra."

"Zahra baik-baik aja. Gak ada yang perlu dikhawatirkan."

Cahaya mengangguk mafhum lalu kembali tersenyum saat memperhatikan interaksi Arif dengan Zaif.

Jika ditanya tentang perasaannya, Cahaya tidak tahu harus menjawab apa. Satu sisi, Cahaya masih ingin melepaskan diri dari Arif. Namun, di sisi lain, ada perasaan tak tega yang diam-diam menyentuh hatinya.

Cahaya tahu, sejauh ini, Arif sudah berusaha menjadi ayah sekaligus suami yang baik untuknya. Arif berusaha adil dan tidak menyakiti. Namun, Cahaya masih takut untuk benar-benar menjatuhkan hatinya. Karena pada dasarnya dia tahu, di hati Arif, hanya ada nama Zahra.

"Kok, melamun? Lagi mikirin apa? Fahri?"

"Ck, siapa juga yang mikirin Bang Fahri. Bapak jangan ngaco, deh," ketus Cahaya tak terima.

"Ya, siapa tau, 'kan? Soalnya sore tadi dia juga sempat ke sini. Mbok Tun sendiri, lo, yang laporin ke saya."

"Bang Fahri ke sini cuma buat nanya apa Kak Zahra masih suka ganggu aku atau enggak. Kita ngobrolnya juga cuma di teras, kok. Dan, sebentar doang."

"Oh, jadi kamu maunya lama-lamaan ngobrol sama dia?"

"Ya, Tuhan, enggak, Pak, enggak. Aku juga gak lupa kali udah punya suami."

"Hm, baguslah. Lebih bagus lagi kalau kamu gak usah terima tamu laki-laki pas suami gak ada di rumah."

"Bapak cemburu?" tanya Cahaya hingga Arif kontan menoleh ke arahnya.

"Gak suka aja. Kamu itu istri saya. Sudah seharusnya sebagai seorang suami, saya bersikap seperti itu."

Menjelang siang keesokan harinya, Arif dan Cahaya akhirnya berangkat ke sebuah mall ibu kota. Keduanya berbelanja kebutuhan Zaif yang kebetulan habis semua. Selesai berbelanja, mereka pun lanjut makan siang.

"Mau langsung pulang, Pak?" tanya Cahaya saat Arif selesai memindahkan semua barang belanjaan mereka ke dalam kamar.

"Iya. Soalnya habis ini, saya ada janji sama Zahra," jelas Arif yang dibalas dengan anggukan singkat oleh Cahaya.

Arif pun berlalu dari kediaman Cahaya.

Saatnya pulang, bertemu Zahra, dan merayakan ulang tahun pernikahan mereka.

Karena kesibukannya akhir-akhir ini, Arif bahkan lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahun pernikahannya dengan Zahra. Beruntung Zahra berbaik hati mengingatkan tanpa embel-embel ambekan. Dan, beruntungnya lagi, Zahra sudah memesan sebuah tempat perayaan jauh-jauh hari.

Arif sendiri sudah membelikan hadiah untuk Zahra. Satu set perhiasan lengkap dengan tas keluaran terbaru yang menjadi incaran Zahra saat ini. Tak hanya itu, dia juga menyiapkan tiket liburan romantis ke sebuah pulau. Intinya, Arif ingin agar Zahra selalu merasa bahagia.

Kepulangannya disambut hangat oleh Zahra. Keduanya lantas bersiap-siap untuk menuju ke tempat.

Zahra terlihat begitu anggun dalam balutan gaun hitam tanpa lengan. Sungguh perpaduan yang sempurna bersama Arif yang juga mengenakan setelan jas hitam.

Tempat yang dituju pun akhirnya tiba. Sebuah restoran mewah yang memang didesain khusus dengan tema penuh cinta.

"Selamat ulang tahun pernikahan, Sayang. Maaf, ya, kalau Abang masih belum mampu buat kamu bahagia. Maaf, kalau Abang sering menyakitimu. Maaf, kalau Abang gak paham sama perasaanmu. Dan, terima kasih karena telah bertahan begitu kuat dalam pernikahan ini."

Zahra tersenyum senang lalu ikut membalas genggaman tangan Arif dengan sama antusiasnya. "Aku juga masih banyak kurangnya, Bang. Banyak banget. Bahkan bisa dikatakan aku itu bukan istri yang sempurna. Untuk itu, makasih banyak buat semuanya. Makasih karena masih menjadikan aku satu-satunya wanita di hati Abang. Jangan gantikan aku, ya?"

"Never."

Dalam tatapan penuh cinta, napas keduanya menyatu seketika. Malam ini, Zahra merasa bahwa dirinya telah menjadi wanita paling bahagia.

Hingga sedetik kemudian, penyatuan mereka terlepas oleh deringan ponsel Arif.

"Sebentar, ya, Sayang," ucap Arif setelah mengecek ponsel dan nama Cahaya muncul di layar.

"Kenapa, Ya? Semua baik-baik aja, 'kan?" tanya Arif kemudian.

"Enggak, Pak. Zaif demam tinggi. Sekarang aku dan Mbok Tun sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Aku ... aku takut Zaif kenapa-kenapa. Bapak bisa nyusulin kita gak?"

"Bisa-bisa. Sekarang juga saya bakalan ke sana," jawab Arif dengan raut wajah cemas.

"Kenapa, Bang? Abang mau ke mana?" tanya Zahra tepat setelah Arif memutuskan panggilan.

"Maaf, ya, Zahra. Abang harus ke rumah sakit sekarang juga. Zaif demam."

"Tapi, makan malam kita gimana? Aku udah mempersiapkan ini jauh-jauh hari," protes Zahra dengan manik mata berlinang.

"Iya, Abang tau. Tapi, sekarang ini, Zaif lebih penting. Tolong, pahami situasi Abang, ya, Zahra."

"Ya, sudah. Pergilah," usir Zahra memutuskan tatapannya dari wajah Arif. Sungguh, Zahra begitu kecewa. Malam bahagia yang ia nantikan, mendadak dihancurkan.

"Kamu gak mau ikut?"

"Kehadiran aku gak dibutuhkan di sana, Bang. Pergilah. Cahaya dan Zaif lebih membutuhkan Abang, 'kan?"

"Kamu benar. Ya, sudah, Abang pergi, ya. Sekali lagi, Abang minta maaf."

Tepat setelah Arif berlalu dari hadapannya, Zahra mulai meneteskan air mata.

"Bahkan untuk semalam aja aku gak bisa merasakan apa itu bahagia. Sudah cukup, Cahaya. Ini semua harus dihentikan segera."

****************

Dengan kecepatan penuh, Arif mengemudikan mobilnya bak orang gila. Ia menyalip kendaraan apa saja yang terlihat di depannya. Tak butuh waktu lama, ia pun tiba di rumah sakit.

Arif menelepon Cahaya saat dirinya terlalu sulit menemukan keberadaan mereka. Dan, ternyata, Zaif sudah dipindahkan ke ruangan lain. Arif pun langsung menuju ke ruangan yang dimaksud.

"Cahaya, gimana Zaif? Dokter bilang apa?" tanya Arif tak sabaran. Saking khawatirnya, Arif bahkan tak sempat untuk mengatur laju napasnya yang berderu tak beraturan.

Alhasil, Cahaya pun menjelaskan apa yang sudah dokter katakan padanya. Tanpa sadar, air matanya menetes perlahan.

"Aku takut banget tadi, Pak. Tiba-tiba aja Zaif demam tinggi."

"Tapi, kan, sekarang udah gapapa lagi. Sudah, jangan nangis. Zaif aja kuat. Masa bundanya enggak?"

Lantaran Cahaya tak juga berhenti menangis, Arif pun mencoba membawa Cahaya ke dalam pelukannya. Namun, bukannya berhenti, tangisan Cahaya malah bertambah lebih parah.

"Bapak gak marah, 'kan?" tanya Cahaya sambil terisak.

"Marah kenapa?" Arif tak paham.

"Karena aku gak becus jagain Zaif. Aku minta maaf, Pak. Aku juga gak tau kalau Zaif bakalan demam. Tapi, tolong, jangan pisahin aku sama Zaif karena hal ini."

Arif terdiam, menatap Cahaya tanpa kata.

"Apakah saya masih terlihat seperti monster di mata Cahaya?" tanya Arif dalam hati.

"Saya gak akan begitu lagi. Jangan berpikir yang bukan-bukan," ucap Arif menenangkan.

Setelah sehari menjalani perawatan, akhirnya Zaif diperbolehkan untuk pulang. Dan, sebelum menidurkan Zaif, Cahaya lebih dulu memberikannya ASI.

"Cepat sehat, ya, anak gantengnya Bunda. Biar kita bisa main lagi," ucap Cahaya sambil memainkan jari mungil Zaif.

Arif yang baru selesai mandi dan berganti pakaian, tanpa sadar menarik senyum pelan. Kemudian dirinya mengambil tempat di sebelah Cahaya, ikut memperhatikan Zaif yang nyaris memejamkan mata.

"Kayaknya dia ngantuk, deh, Ya," bisik Arif yang dibalas dengan anggukan.

Dan, benar saja. Tak lama setelahnya, Zaif benar-benar tertidur pulas.

Kemudian Arif mengambil alih Zaif untuk ditidurkan pada ranjang bayi yang terletak di sebelah kasur mereka. Setelah memastikan anaknya tertidur pulas, Arif pun kembali menghampiri Cahaya yang tengah menyusun bantal dan bersiap untuk merebahkan badan.

"Mau langsung tidur?"

"Emang mau ngapain lagi?" tanya Cahaya kemudian.

"Eh, enggak. Saya juga mau langsung tidur," jawab Arif mendadak salah tingkah sendiri.

Cahaya hanya mengangguk sekilas lalu membaringkan tubuh menghadap ke arah Zaif.

Arif sendiri juga tidur sambil membelakangi Cahaya. Namun, entah mengapa matanya sulit sekali untuk terpejam.

Alhasil, Arif memutuskan untuk mengalah. Ia mendekati Cahaya dan seketika memeluk pinggang rampingnya dengan posesif. Tentu saja hal itu membuat Cahaya terkejut. Namun, Cahaya hanya diam dan membiarkan.

"Boleh saya tanya sesuatu, Cahaya?"

Cahaya menggeliat pelan saat napas Arif seolah menggelitik lehernya.

"Boleh. Bapak mau nanya apa?"

"Sekali aja ... apa kamu pernah mencintai saya?"

Cahaya terdiam. Manik matanya lurus menatap ke depan.

"Kenapa diam, hm?"

"Aku bakalan jawab, tapi setelah aku tau apa jawaban Bapak. Apa Bapak mencintaiku?"

Arif tersenyum. Cahaya curang, begitu batinnya.

Sebelum memberikan jawaban atas pertanyaan paling penting itu, Arif lebih dulu mengubah cara tidur Cahaya menjadi terlentang. Dia perlu menatap wajah istrinya itu dengan jelas.

"Untuk saat ini, belum. Tapi, sedang saya usahakan. Kamu sudah memberikan Zaif──harta paling berharga buat saya. Jadi, bagaimana bisa saya mengabaikan kamu begitu saja?"

Sontak Cahaya berpaling. Jawaban Arif membuat sesuatu dalam dirinya berdetak tak menentu.

"Saya sedang berusaha, Cahaya. Tolong bantu saya. Jangan palingkan wajahmu seperti itu."

Suara rendah Arif benar-benar membuat Cahaya tersentuh. Bak terhipnotis, pandangan Cahaya kembali terarah ke suaminya.

"Apa Bapak serius? Terus bagaimana dengan Kak Zahra? Memangnya Bapak bisa mencintai dua wanita sekaligus?"

"Zahra dan kamu berbeda, Cahaya. Dan, tempat kalian di hati saya juga gak sama. Sejauh ini, saya bisa mengontrol perasaan saya dengan baik." Arif tersenyum manis. Membuat Cahaya kesusahan mengambil napas.

"Jadi, kembali ke pertanyaan awal. Sekali saja, apa pernah kamu mencintai saya, hm?"

"Hampir pernah. Tapi, karena sadar itu gak mungkin, jadinya aku menghapus perasaan itu dengan cepat."

"Kalau begitu, biarkan dia tumbuh kembali. Saya janji, saya gak akan mengecewakanmu lagi."

Kalimat Arif ditutup dengan ciuman. Malam itu, Arif ingin meninggalkan sesuatu yang berkesan. Pertama kali bersama Cahaya, ia melakukannya dengan penuh rasa cinta.

****************

Pagi-pagi sekali, Arif kembali ke rumah Zahra. Dia tidak ingin melewatkan sarapan bersama Zahra setelah kemarin menghabiskan waktu seharian penuh di rumah Cahaya.

Saat ia membuka pintu rumah, keadaan masih terasa sunyi. Seolah tak ada kehidupan, begitulah yang Arif temukan.

"Mungkin Zahra belum bangun," pikir Arif seraya melangkahkan kakinya ke arah kamar.

Tepat saat pintu kamar terbuka, mendadak Arif merasakan kesunyian yang sama. Namun, pada salah satu kursi yang membelakangi arah pintu kamar, sosok Zahra akhirnya terlihat juga.

"Sayang," panggil Arif, tetapi sama sekali tidak mendapatkan jawaban.

Arif lantas mendekat lalu mendekap Zahra yang masih belum memalingkan wajahnya. Dan, di detik yang sama, tangan kiri Zahra terkulai lemas. Perlahan-lahan, tetesan darah pada pergelangan tangan tampak mengucur deras.

"Ya, Tuhan, Zahra!"

1
Yosda tegar Sakti
bagus.
NurAzizah504: Terima kasih, Kakak
total 1 replies
Muliana
Ayolah thor,,, jangan lama-lama up-nya
NurAzizah504: Siappp /Facepalm/
total 1 replies
Teteh Lia
5 iklan meluncur
NurAzizah504: Terima kasih banyak, Kak /Smile/
total 1 replies
Teteh Lia
padahal Aurel kan nda perlu sampai ke rumah cahaya juga. cahaya nya juga nda pernah meladeni Arif berlebihan. justru malah ketus kalo ke pak Arif.
NurAzizah504: Maaf .... Aurelnya sedikit berlebihan /Frown/
total 1 replies
Teteh Lia
ada apa lagi dengan Arif?
NurAzizah504: Arif baik2 saja padahal /Joyful/
total 1 replies
Teteh Lia
🐠🐠🐠🌹 meluncur
NurAzizah504: Terima kasih banyak, Teh /Smile/
total 1 replies
Teteh Lia
padahal ibu nya jelas2 bilang buat minta maaf sama Fahri. tapi kenapa Geri malah berbuat sebaliknya
NurAzizah504: Ups, ada alasan dibalik itu semua /Joyful/
total 1 replies
Teteh Lia
akhirnya terbongkar juga.
NurAzizah504: Tapi, belm semuanya, Kak /Silent/
total 1 replies
Muliana
Jika seperti ini, seharusnya Fahri yang dendam. Bukan kamu Geri
NurAzizah504: Mash ada alasan yang lain, Kak /Smile/
total 1 replies
NurAzizah504
/Sob//Sob/
Muliana
Misteri yang belum terselesaikan, alasan Gery membenci Fahri
NurAzizah504: Pelan2, ya /Joyful/
total 1 replies
Teteh Lia
🐠🐠🐠🐠 mendarat
NurAzizah504: Terima kasih banyak, Kakak /Smile/
total 1 replies
Teteh Lia
apa bab ini memang pendek? atau aku yang kecepetan bacanya? tiba2 bersambung aja...
NurAzizah504: Memang agak pendek, Kak. Asalkan udah bisa update /Sob/
Muliana: Aku pun, merasakan hal yang sama
total 2 replies
Teteh Lia
Salut sama Aurel yang nda berburuk sangka dan tulus sama Arif.
NurAzizah504: Arif beruntung bgt bisa dapetin Aurel /Proud/
total 1 replies
Teteh Lia
Sayangnya, percakapan Gerry dan cahaya nda direkam. padahal bisa buat bukti ke Fahri...
NurAzizah504: Oalah, lupa kayaknya Cahaya /Sob/
total 1 replies
Teteh Lia
keras kepala banget... bang Fahri
NurAzizah504: Itulah, Kak. Sisi negatifnya dia, sih, itu /Sob/
total 1 replies
Muliana
apa bab ini terlalu pendek, atau aku yang menggebu saat membacanya /Facepalm/
NurAzizah504: Emg pendek, Kak
total 1 replies
Muliana
gantung lagi /Sob//Sob/
NurAzizah504: Kayak perasaan digantung mulu /Sob/
total 1 replies
Muliana
Ah Fahri ,,, kamu akan selalu dalam rasa salah paham serta cemburu ...
Mutty
sinetron Indosiar ini mah...ampun dah
NurAzizah504: Kang Drama /Sob/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!