🌹Alan Praja Diwangsa & Inanti Faradiya🌹
Ini hanya sepenggal cerita tentang gadis miskin yang diperkosa seorang pengusaha kaya, menjadi istrinya namun tidak dianggap. Bahkan, anaknya yang ada dalam kandungannya tidak diinginkan.
Inanti tersiksa dengan sikap Alan, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain berdoa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jatuh dan Terlelap
🌹VOTE🌹
AUTHOR POV
Hari ini, sebelum kepergiannya yang entah menuju ke mana. Inanti datang ke kentor polisi untuk melihat keadaan Bapak. Dan disana, dia tersenyum saat dibawa aparat kepolisian. Mereka terhalang kaca, tapi terasa sangat dekat.
"Inanti…. Gimana kabar kamu, Sayang?"
"Alhamdulilah baik, Bapak gimana?"
"Alahamdulillah."
Kini, Inanti melihat wajah tua keriputnya semakin jelas. Sendu dan mulai beruban. Bapak memakai kopiah, dan kaos tahanan. Namun, matanya terlihat bersinar, seolah ada sesuatu yang telah lepas.
"Inan bawakan makanan untuk Bapak, nanti di makan ya."
"Gimana cucu-cucu Bapak? Sehat?"
Inanti memegang perutnya yang terhalang kerudung. "Alhamdulilah sehat, Pa. Kemaren abis di periksa."
"Perkiraannya kapan lahiran?"
Inanti mengingat kembali sesaat. "22 hari dari sekarang."
"Wah, bagus. Udah beli apa aja?"
Inanti terdiam, memikirkan apa yang dipertanyakan. Sebenarnya, belum banyak yang Inanti beli. Hanya beberapa baju yang Inanti samakan tapi dibedakan lewar warna, kaos kaki, popok, bedak, kayu putih dan selimut. Untuk yang lain, Inanti belum membelinya. Keluar rumah saja membuatnya malas, ibu hamil maunya rebahan terus.
"Beberapa baju, Pa."
"Cuma baju?"
"Engga kok banyak, masa Inan harus sebutin semua."
Bapak malah tertawa. "Gimana Alan?"
Pertanyaan yang tidak pernah luput dari Bapak adalah tentang sosok ini. Dia terus mempertanyakan Alan, bagaimana keadaannya, atau sikapnya pada Inanti.
"Alhamdullilah dia sehat kok."
"Baik sama kamu?"
Maafkan Inanti berbohong, ini demi kebaikan.
"Baik, Alhamdullilah."
"Syukur kalau begitu, Bapak senang kalian rukun."
Inanti hanya tersenyum. "Bapak sendiri bagaimana?"
"Bapak sedang memperdalam ilmu agama, ada Ustadz yang selalu datang tiap minggu. Bapak jadiin kesempatan buat belajar."
Inanti tersenyum. Meskipun masih ada tatto di tangan Bapak, dan juga rambutnya yang panjang terikat, Inanti melihat jelas perubahannya di matanya yang mulai menua.
"Bapak keluarnya masih lama, kamu yang sabar ya."
"Iya, Bapak yang harusnya sabar, ini ujian dari Allah."
"Bapak gak anggap ini ujian, Nan. Bapak anggap ini hikmah dan jalan keluar."
Ya, Inanti mengerti apa yang Bapak maksudkan.
Beliau melanjutkan, "Jika hal ini tidak terjadi, Bapak tidak akan pernah bisa merasakan ketakutan pada Allah, jalan ini yang menuntun Bapak untuk semakin dekat dengan-Nya."
Mata Inanti berair, Bapak benar-benar berubah. "Bapak suka ngaji? Mau Inan bawakan al-Quran?"
"Ada, Nan. Bapak dikasih kok. Kalau boleh mah, tolong bawakan saja buku-bunya islami ya? Bapak denger Alan di rumahnya punya perpustakaan pribadi."
Inanti mengangguk cepat. "Iya, Pa, nanti Inan bawakan ya."
Inanti mencoba menahan air mata, sampai petugas datang dan berkata, "Waktu kunjungan sudah habis."
"Tunggu Bapak keluar ya," ucap Bapak sebelum dibawa oleh petugas.
Tanpa memberitahu Bapak, bahwa hari ini Inanti sudah berkemas dan pergi dari rumah Alan.
🌹🌹🌹
Inanti terdiam di warung Mbo Maemunah, menunggu Alan sambil memegang ponsel jadul. Dia bilang hendak memberikan bunya nikah di sini, tapi kemana dia? Tidak kunjung datang.
Sampai akhirnya Inanti memberanikan diri menelponnya. Tanpa disangka dia mengangkatnya.
"Hallo, Assalamualikum. Kak ini Inan, Kakak dimana?"
'Saya baru aja keluar, kamu ke sini aja.'
Ke sini? Dia gila. Dirinya nyamperin dia gitu?
"Inan ada di depan halte Universitas."
'Kalau kamu mau nunggu ya nunggu aja, saya ada urusan soalnya.'
Dia menutup telpon, membuat Inanti mendesah pelan. Benar saja, menunggunya selama lebih dari satu jam di sini. Urusan apa yang sedang dia lakukan?
Akupun memutuskan menemuinya. Gedung pasca sarjana ada di dekat kantor direktorat, menjulang tinggi. Dan Inanti tahu kelas Alan ada di lantai dua.
Beberapa orang yang melihatnya menatap kasihan, sinis, bermacam-macam pokoknya, sepertinya wajahnya familiar di kalangan orang-orang ini.
Seakan kebetulan, Inanti melihat Alan ada di ujung tangga yang Inanti naiki. Sedang memainkan ponsel, dia tampan seperti pertama Inanti melihatnya.
"Kak," kata Inanti membuatnya menatap ke arah istrinya.
"Kenapa kamu ke sini?"
"Kakak yang nyuruh."
Dia menghela napas, belum juga Alan bicara, ada yang memanggilnya. "Alaaaaann…."
Seorang wanita keluar dari ruang kelas, Vanesa terkejut melihat keberadaannya di sana. "Ngapain loe di sini?"
"Mau ambil buku nikah."
"Kamu nyuruh dia ke sini, Al?"
Alan terdiam. "Saya ambil dulu."
Meninggalkan Inanti dan Vanesa. Gedung ini lebih sepi dari gedung S-1, banyak kesepian dan hanya beberapa yang berlalu lalang. Inanti tidak suka mendapat tatapan tajam dari Vanesa, dia mendekat mengintimidasi.
"Loe kemanain gaun gue?"
"Udah Inan perbaiki, Kakak bisa ambil di rumah."
Vanesa berdecak. "Makannya, kalau ga kebeli jangan pake barang orang, *****."
Inanti diam, sampai Vanesa merebut benda dalam genggamanku, itu adalah jam milik Bapak.
"Kak!"
"Punya siapa nih? Om-om? Loe abis jual diri?"
"Kembaliin!"
Vanesa mengangkat tinggi tangannya. Dan tanpa kasihan, dia melemparkan jam itu ke arah tangga. Inanti tidak terima. Saat Inanti berbalik hendak mengambil jam itu, Inanti merasakan seseorang menginjak gamisnya. Membuatnya terjatuh berguling di atas tangga.
Inanti tidak bisa merasakan apa-apa, semuanya gelap. Mata Inanti terbuka, tapi tidak ada yang Inanti lihat. Waktu seolah berhenti, semuanya seakan bergerak dengan pelan. Napasnya terengah, angin yang bergerak pelan pun bisa Inanti rasakan.
Namun, Inanti mendengar kalimat yang Alan ucapkan, "Inanti, sadar, Nan. Kita akan ke rumah sakit. Terjaga, Nan, buka mata kamu."
🌹🌹🌹
tbc