Setelah pernikahan yang penuh kekerasan, Violet meninggalkan segala yang lama dan memulai hidup baru sebagai Irish, seorang desainer berbakat yang membesarkan putrinya, Lumi Seraphina, sendirian. Namun, ketika Ethan, mantan suaminya, kembali mengancam hidup mereka, Irish terpaksa menyembunyikan Lumi darinya. Ia takut jika Ethan mengetahui keberadaan Lumi, pria itu akan merebut anaknya dan menghancurkan hidup mereka yang telah ia bangun. Dalam ketakutan akan kehilangan putrinya, Irish harus menghadapi kenyataan pahit dari masa lalunya yang kembali menghantui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 2
"Ini adalah desainer baru di perusahaan kita. General Manager Roby sangat menyukai desainnya sejak pertama kali melihat, dan menunjuknya secara langsung untuk menghadiri pesta ini," kata Wakil Manajer Hendra. Dengan sekali pandang, ia menyadari bahwa Direktur Anton tampak tertarik pada Irish, maka ia segera menyingkir, memberi isyarat agar Irish mendekat.
"Halo, Direktur Anton, saya Irish," sapa Irish sambil tersenyum dan menjulurkan tangan untuk berjabat tangan.
"Direktur Anton adalah distributor kain terbesar bagi perusahaan kita," Wakil Manajer Hendra memperkenalkan dengan sopan.
Irish tersenyum ramah, mengangguk memahami, lalu maju bersulang dengan Direktur Anton. "Semoga kita dapat terus bekerja sama dengan baik, Direktur Anton."
Melihat senyum merekah di wajah penuh kerutan itu, Wakil Manajer Hendra pun cepat berkata, "Silakan mengobrol. Saya akan menyapa yang lain sebentar."
Begitu Wakil Manajer Hendra pergi, Direktur Anton maju mendekat hingga hampir menempel ke Irish, menyerahkan kartu namanya sambil berkata, "Nona Irish, ini kartu saya."
Aroma tubuh Irish, segar dan lembut, seolah menggelitik hati Direktur Anton.
"Terima kasih, Direktur Anton," ucap Irish sambil tersenyum manis. Ia menerima kartu nama itu dan langsung menyimpannya, lalu secara halus mundur selangkah tanpa terkesan canggung, menjaga jarak sopan.
Dalam perbincangan mereka, Irish dengan cekatan membuat Direktur Anton memahami keunggulan Perusahaan Garment Keluarga Handoko. Tak hanya terpikat penampilannya, Direktur Anton mulai mengakui kecerdasan Irish.
Setelah cukup lama berbincang, Irish pamit dengan hormat, lalu kembali ke arah Wakil Manajer Hendra.
"Huh..." Irish menghela napas sambil meletakkan gelas wine. Usahanya tidak sia-sia!
"Bagaimana hasilnya?" tanya Wakil Manajer Hendra penuh harap.
"Sejauh ini cukup baik," jawab Irish merendah. "Direktur Anton mengatakan bila perusahaan kita menambah kuota pembelian, ia bersedia menurunkan harga hingga 30%."
"Bagus!" seru Wakil Manajer Hendra puas. "Perusahaan kita memang sedang memperluas produksi. Ini akan sangat menguntungkan."
Ia menepuk bahu Irish ringan. "Mulai sekarang, urusan dengan Direktur Anton aku serahkan padamu."
Malam itu, Irish mengikuti Wakil Manajer Hendra bertemu beberapa bos besar lainnya. Ia tampil sopan dan luwes, tahu kapan harus maju dan mundur.
Setelah hampir semua orang penting ditemui, Irish merasa kepalanya berat akibat minum beberapa gelas wine. Ia tersenyum kaku karena terlalu lama bersosialisasi. Setelah meminta izin, ia pergi ke kamar mandi untuk membetulkan riasan.
Di lantai dua vila keluarga Wijaya...
Di kamar mandi pribadi keluarga Wijaya, Ethan panik menepuk punggung Carisa yang muntah terus-menerus.
"Carisa, apa kamu sudah merasa baikan?" tanyanya khawatir.
"Uhuk..." Carisa hanya mampu menjawab dengan muntahan yang menyayat hati. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca, bibir mungilnya kehilangan rona.
"Ethan, jangan terlalu cemas. Carisa hanya sedikit tidak enak badan," kata Zayn, sepupu Carisa sekaligus manajer pemasaran Perusahaan Keluarga Mahardika. Ia mencoba menenangkan Ethan meski rautnya sama gelisah.
"Aku yang salah... Seharusnya aku memintanya istirahat di rumah," sesal Ethan, menggenggam bahu Carisa lebih erat.
"Tidak apa-apa..." Carisa memaksa tersenyum meski wajahnya pucat.
"Aku... sudah baikan, Ethan... Uhuk!"
Belum selesai bicara, Carisa kembali muntah. Dadanya berguncang keras, tubuhnya tampak begitu rapuh.
Karena kelelahan semalam dan makanan pesta yang beragam, kondisi Carisa yang sudah lemah semakin memburuk.
"Setelah ini, kita pulang. Aku akan panggilkan dokter," kata Ethan dengan penuh perhatian.
"Tidak perlu..." kata Carisa lemah.
"Ini pesta sahabatmu. Aku tidak mau merusak suasana."
Zayn ikut menimpali, "Benar. Ini hari penting. Carisa sebagai istrimu, sudah sewajarnya hadir."
Namun Ethan tampak keras kepala, ia menggeleng, "Aku tetap khawatir. Carisa, ayo kita pulang, ya?"
Sebelum Carisa bisa menjawab, suara ketukan hak sepatu bergema.
Irish, yang mabuk berat dan tidak tahan antre di lantai satu, terseok-seok ke lantai dua. Matanya buram menangkap bayangan tiga orang di dalam kamar mandi.
Ethan, terlalu sibuk memperhatikan Carisa, tak memerhatikan kehadiran orang baru. Ia hanya memberi isyarat pada Zayn untuk mengusir tamu tak diundang itu.
Zayn segera menghampiri Irish.
"Nona, ini kamar mandi pribadi. Tolong keluar," katanya tegas.
"Eh? Kenapa malah ada pria di kamar mandi?" Irish mengerjap dengan mata mabuk, lalu menunjuk Zayn dengan manja.
"Yang seharusnya keluar itu kalian."
Dari kejauhan, Carisa yang lemah memandang Irish, rasa tidak senangnya terpancar jelas. Ia menatap Ethan dengan mata berkaca, berkata dengan manja, "Ethan, sepertinya dia tidak mau pergi."
Ethan membelai punggung Carisa lembut. "Aku akan mengusirnya."
Wajah Ethan berubah dingin seketika. Ia berbalik dan melangkah menuju Irish.
Sebelum sampai, suara dinginnya sudah terdengar. "Silahkan pergi."
Namun Irish hanya terkekeh kecil, menatapnya dengan berani. Dengan suara mabuk namun jelas, ia bertanya, "Kalau aku tidak pergi, bagaimana?"
Detik itu juga mata mereka bertatapan. Wajah yang familiar sekaligus asing menyerbu masuk ke dalam pandangan.
Rasanya tidak sama, tapi kenangan yang sama kembali menyeruak keluar dari dalam memori mereka.
Perbuatan Ethan yang begitu tega dan tak berperasaan 4 tahun lalu membuat hati Irish yang bergejolak kembali dipenuhi kebencian. Rasa sakit dari kukunya yang tertancap di telapak tangan membuatnya tersadar dari kekagetannya.
Ethan, selamanya ia tak bisa memaafkan pria itu, hanya saja ia tak ingin memprovokasi. Lebih baik kalau mereka berdua tak saling bertemu lagi. Kalaupun kelak mereka tak sengaja bertemu lagi, mereka tak lebih daripada orang asing saja!
Dalam sekejap, Irish berpikir banyak sekali.
Akhirnya, ia menatap Ethan sekilas dengan tatapan datar, lalu segera beranjak pergi.
Tentu saja, Ethan juga terkejut pada detik mereka bertatapan itu. Irish sudah berubah. Pipi tembemnya saat ia berusia 20 tahun saat dinikahinya dulu sudah hilang tak berbekas. Wajahnya yang sudah cantik ditambah dengan riasan tipis pun tampak makin menawan.
Yang paling utama adalah, aura Irish telah berubah. Kalau 4 tahun lalu Irish masih sekuntum bunga lili dengan butir air bercahaya, maka Irish yang sekarang adalah teratai merah yang memesona semua orang. Hanya dengan menggoyangkan kelopaknya saja, ia bisa membuat mata yang memandangnya terkesima.
Hanya saja, sepasang mata Irish yang menyorotkan kebencian itu membuat Ethan mematung, bagaimanapun, ialah yang bersalah. Pada malam 4 tahun lalu itu, ia memaksa Irish untuk meninggalkannya, dan saat ia pergi, ia tidak membawa sepeser pun.
Selama 4 tahun ini, Ethan beberapa kali teringat akan senyum bodoh di wajah Irish, juga saat Irish membuatkan sup pereda mabuk untuknya, terlebih ia teringat akan malam hujan 4 tahun lalu.
Ia menyakitinya, itu benar.
Terkadang Ethan berpikir, kalau saja Irish membawa uang ganti rugi perceraian itu, apakah ia bisa melupakannya semuanya dan tidak akan merasa bersalah?
Detik berikutnya, Irish memutuskan untuk pergi. Melihatnya pergi, Ethan seketika melangkah maju.
"Ethan!"
Saat itu juga, Carisa tiba-tiba muncul di samping Ethan, tangannya yang pucat dan kurus menggamit lengan kekar Ethan.
Carisa menyadari keganjilan pada diri Ethan. Saat matanya tertuju pada seorang wanita, paling lama tak lebih dari 10 detik.
Namun kali ini, Carisa mendapati bahwa tak hanya matanya yang menatap wanita itu lama-lama, tapi perasaannya juga sangat dalam.
Carisa mengalihkan pandangannya ke arah Irish, namun ia hanya melihat sosoknya yang buru-buru pergi. Carisa mendapati kalau postur wanita ini bagus juga, gaya berpakaiannya modern. Dilihat dari belakang, wajahnya pasti cantik!
Karena Ethan tidak pernah menyebut tentang Irish dan menghapus semua jejak tentangnya setelah ia menandatangani surat cerai, Carisa pun tak pernah berjumpa dengan Irish. Jangankan sosoknya dari belakang, kalaupun Irish berdiri di hadapannya, Carisa pun tak akan mengenalinya.
Tapi, walaupun Carisa tak mengenal Irish, sorot matanya tetap menjadi muram, meskipun ada banyak gadis yang berusaha menggoda Ethan, tapi Carisa tahu kalau Ethan tetap menjaga kesetiaannya. Tapi kenapa wanita tadi bisa menarik perhatian Ethan dengan mudah?
Carisa menoleh menatap Ethan dan bertanya seakan-akan tidak terjadi apapun, "Ethan, kamu kenapa?"
"Tidak, tidak apa-apa," Ethan segera menoleh dan menggenggam tangan Carisa di lengannya sambil tersenyum lembut.
"Wanita barusan itu, apa kamu kenal?" Carisa menatap Ethan sambil mencari tahu.
Ethan terdiam sesaat, lalu menggeleng, "Tidak."
Lima tahun yang lalu, Ethan dan Irish menikah. Demi tak membuat ia sakit hati, pernikahan itu tidak dipublikasikan, media pun tak tahu. Carisa hanya pernah mendengar tentang nama Irish saja, namun mereka belum pernah saling bertemu.
Kini mereka bertemu tanpa sengaja. Ethan tidak berencana memberitahunya tentang hal itu. Ia tahu kalau Carisa adalah orang yang mudah curiga dan sensitif. Kondisi kesehatannya sudah tak baik, akan gawat kalau sampai keadaannya memburuk karena terlalu banyak pikiran.
"Baiklah," Carisa mengangguk-angguk dan tak bertanya lagi. Hanya saja, matanya masih mengikuti arah perginya Irish.
"Ethan, lebih baik aku antar Carisa pulang terlebih dahulu. Bagaimanapun ini adalah pesta ulang tahun Tuan Dion, tidak baik kalau kau meninggalkan acara duluan," saran Zayn.
"Tapi Carisa..."
"Ethan, aku tidak apa-apa," Carisa menggoyang-goyangkan lengan Ethan dengan penuh pengertian, "Kalau tidak aku akan menahannya sampai pesta selesai. Bagaimanapun sangat tidak baik kalau kau meninggalkan acara lebih dulu."
"Tapi kondisi badanmu juga tidak memungkinkan!" Zayn sedikit panik. Ia maju selangkah dan berkata pada keduanya, "Sesuai kataku saja, Ethan di sini, dan aku akan mengantar Carisa pulang untuk beristirahat."
Ethan berpikir sejenak, lalu akhirnya mengangguk, "Hanya bisa begitu."
Ethan juga tak ingin Carisa memaksakan diri. Ia mengelus pipi Carisa, lalu berkata pelan, "Pulanglah dan jangan lupa beristirahat."
"Iya, jangan khawatir," Carisa mengecup pipi Ethan, "Sampaikan permintaan maafku kepada Dion."
"Carisa, Dion sudah tahu, kau tak usah khawatir."
"kalau begitu aku pergi dulu," Carisa tersenyum pada Ethan. Matanya yang indah dipenuhi rasa cinta.
Setelah berpamitan dengan Ethan, Carisa pun pergi dengan dituntun Zayn.
Setelah menuntun Carisa sampai ke limusin Rolls-Royce, Zayn tidak duduk di kursi kemudi, melainkan duduk di samping Carisa.
Zayn melihat sekelilingnya, lalu menarik pundak Carisa dan bertanya dengan penuh perhatian, "kenapa tiba-tiba lambungmu sakit? Apakah sekarang sudah lebih baik?"
"Cepat singkirkan tanganmu, sekarang kita sedang berada di luar!" Tubuh Carisa bergetar, ia segera menepis tangan Zayn dari pundaknya.
"Bukankah tak ada orang di sekitar sini?!" Zayn menoleh dan menatap sekelilingnya. Melihat tangannya disingkirkan oleh Carisa tanpa ragu, ia berkata dengan nada amat sedih dan kecewa.
"Tidak boleh juga! Kalau sampai dilihat orang, matilah kita berdua!" Wajah Carisa yang awalnya pucat jadi sedikit memerah karena tegang, "Zayn, kau harus hati-hati sedikit."
"Carisa, apa kamu tahu betapa menderitanya aku? Aku melihatmu sakit namun tak bisa menjadi yang pertama untuk memedulikanmu, apa kamu tahu betapa sedihnya diriku? Demi kamu, aku harus berpura-pura menjadi kakak sepupumu. Setiap hari aku melihatmu bermesraan dengan Ethan, namun aku tak bisa melakukan apa-apa, aku sangat menderita!" Zayn menatap wajah cantik Carisa yang juga tampak pucat itu, lagi-lagi ia menggenggam pundak Carisa dengan emosi yang menggebu-gebu.
"Aku sudah bilang, selamanya kita tak akan mungkin bersama. Aku juga sudah pernah memberitahumu, kalau kamu tidak ingin berada di sampingku, kamu boleh pergi!"
...****************...
Ethan Mahardika..