NovelToon NovelToon
Di Ujung Cakrawala

Di Ujung Cakrawala

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: kaka_21

"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.

"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.

Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"

"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.

"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"

Diam.

"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.

Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15: Perjalan Pulang

Pagi itu, langit Bandung masih berwarna kelabu, sisa-sisa hujan semalam menempel di kaca jendela rumah keluarga Darma. Suasana rumah terasa sunyi, seolah ikut menyimpan perasaan yang tertahan. Cakra berdiri di ruang tengah dengan ransel hitam menggantung di punggungnya, matanya memandangi sepatu yang baru saja ia pakai. Tak ada percakapan panjang, hanya suara sendok dari dapur dan detak jarum jam yang terdengar jelas.

Darma muncul dari kamarnya, menggenggam kunci mobil tua ayahnya. “Yuk, Cak. Udah siap?”

Cakra hanya mengangguk. Tak lama, Shifa menyusul dari arah dapur, mengenakan sweater abu-abu dan membawa sekotak kecil kue basah yang ia bungkus dengan kertas coklat.

Mereka bertiga masuk ke dalam mobil kijang kapsul hijau lumut. Di dalam perjalanan menuju stasiun, tak banyak yang bicara. Darma menyetel lagu lawas di radio, sekadar mengisi kesunyian. Shifa duduk di belakang bersama Cakra, kadang menatap keluar jendela, kadang melirik diam-diam ke arah laki-laki di sampingnya.

Sesekali mata mereka bertemu, tapi hanya sebatas senyum singkat yang menggantung—ada sesuatu yang belum terucap, namun terasa cukup hanya dengan keheningan itu. Di dalam hati mereka, masing-masing menyimpan satu hal: keterikatan kecil yang lahir dari pertemuan singkat, namun bermakna.

Stasiun terasa ramai pagi itu, dipenuhi suara pengumuman dan derap langkah para penumpang. Cakra berdiri di dekat peron dengan tiket di tangan, sesekali melirik ke arah rel yang masih kosong. Darma berdiri di sampingnya, tangan dimasukkan ke dalam jaket sambil mengunyah permen karet.

“Kereta bentar lagi, ya,” gumam Darma sambil melirik jam di ponsel.

Cakra mengangguk pelan, lalu tiba-tiba merasakan tepukan hangat di bahunya. Darma menatapnya sambil tersenyum kecil, “Hidup harus tetap maju, Cak. Jangan terus nengok ke belakang, ntar kesandung.”

Cakra menahan senyum. Belum sempat ia menjawab, Shifa mendekat dengan dua benda di tangannya—sebuah kotak kertas berisi bekal dan satu termos kecil berwarna hijau.

“Ini… buat di jalan,” katanya pelan, menyerahkan semuanya.

Cakra mengambilnya dengan hati-hati, seolah takut merusak sesuatu yang rapuh. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata lirih, “Makasih, ya…”

Matanya menatap Shifa sedikit lebih lama—bukan dengan tatapan berat seperti biasanya, melainkan dengan kehangatan yang baru tumbuh. Shifa membalas dengan senyum lembut yang sulit dijelaskan: tenang, tidak memaksa, tapi terasa hangat hingga ke dada.

Kereta datang dengan suara gemuruh khasnya. Penumpang mulai menaiki gerbong. Cakra melangkah naik, tapi sebelum benar-benar masuk, ia sempat menoleh sekali lagi.

Dari balik jendela kereta yang mulai melaju perlahan, ia melihat Shifa melambaikan tangan sambil tersenyum. Senyum itu tetap ada dalam bayangannya bahkan saat stasiun semakin menjauh. Kereta terus melaju, meninggalkan Bandung dengan segala memorinya yang hangat. Di dalam gerbong yang sepi, Cakra duduk menghadap jendela, menatap keluar seolah ingin menyimpan pemandangan itu dalam ingatan.

Angin AC menyentuh kulitnya dingin, tapi hatinya terasa hangat.

Pikirannya melayang ke malam terakhir di rumah Darma—malam saat ia dan Shifa duduk berdua di teras, diterangi lampu temaram dan suara jangkrik dari kejauhan. Saat itu, setelah banyak obrolan ringan, Cakra mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku ranselnya. Isinya sebuah cincin sederhana—bukan untuk melamar, tapi sebagai tanda bahwa ia ingin serius.

“Aku tahu ini mungkin kedengerannya aneh,” katanya pelan. “Tapi aku percaya cinta pandangan pertama itu ada. Dan sejak pertama kali ketemu kamu, aku ngerasa… kamu orang yang selama ini aku cari.” Shifa sempat terdiam. Ia tersenyum kecil, lalu menunduk. “Hmm… apa ini nggak terlalu cepat, Bang?” tanyanya lembut.

Cakra menarik napas dalam. “Mungkin. Tapi aku nggak maksa. Aku cuma pengin kamu tahu… perasaanku gimana.” Shifa mengangguk. “Kalau gitu… gimana kalau kita mulai pelan-pelan dulu aja? Saling kenal lebih dalam. Aku juga butuh waktu. Dan abang juga masih harus fokus lulus dari akademi, kan?” Cakra tersenyum. “Deal. Aku akan tunggu. Dan aku bakal buktiin.”Kilasan kenangan itu buyar saat ponsel di saku celananya bergetar. Sebuah pesan masuk.

Shifa:

“Hati-hati ya, Bang. Jangan lupa makan.”

Cakra menatap layar ponselnya lama. Senyumnya pelan, tapi tulus. Ia bersandar ke kursi, membiarkan hatinya menikmati keheningan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa ringan. Seolah sebagian dari luka hatinya tertinggal di Bandung… digantikan oleh harapan baru.

Langit mendung menggantung di atas kota kecil tempat ibunya tinggal, seolah ikut menyambut kedatangan Cakra dengan ketenangan. Begitu ia turun dari angkot terakhir, langkahnya langsung mengarah ke rumah yang begitu ia rindukan—rumah dengan pagar biru yang catnya mulai memudar, dan aroma masakan ibu yang selalu terasa seperti pelukan.

Pintu terbuka sebelum ia sempat mengetuk.

“Ibu...” gumamnya pelan.

Tanpa banyak kata, ibunya langsung memeluknya erat. “Kamu kelihatan lebih kurus,” ucapnya sambil menatap wajah Cakra dari dekat, seolah memastikan anaknya benar-benar kembali dalam keadaan utuh. Cakra tersenyum kecil. “Tapi lebih ganteng kan, Bu.” Sambil menurunkan ransel dan masuk ke rumah, langkahnya terasa berbeda—lebih ringan, lebih mantap. Di dalam rumah yang hangat itu, seolah semua keresahan dan luka ditahan di depan pintu.

Setelah membersihkan diri dan makan siang bersama ibunya, Cakra duduk sebentar di kamarnya. Ia membuka ponselnya dan mengetik pesan:

Cakra:

“Udah sampai. Makasih ya buat semuanya.”

Pesan itu terkirim. Tak lama, tanda centang dua berubah biru. Balasannya datang beberapa menit kemudian:

Shifa:

“Sama-sama, Bang. Jaga diri, ya.”

Hari itu, mereka tidak bicara banyak. Tapi sejak saat itu, obrolan-obrolan kecil melalui chat menjadi kebiasaan baru. Dari ucapan selamat pagi hingga cerita-cerita sepele, dari foto makanan hingga tanya kabar sederhana.Sedikit demi sedikit, hari-hari Cakra mulai berubah. Tak lagi sunyi seperti sebelumnya. Ada tawa kecil di sela-sela rutinitas. Ada harapan yang pelan-pelan tumbuh, seperti tunas yang mulai berani menembus tanah setelah hujan. Dan entah sejak kapan, setiap notifikasi dari Shifa selalu membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.

1
Siyantin Soebianto
ceritanya jadi penisirin gini ya😇
Nanang
SEMANGAT Thor berkarya nya ya 😇
kaka_21: siap kakak,terimakasih udah mampir
total 1 replies
piyo lika pelicia
semangat ☺️
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf
kaka_21: baik kak, terimakasih
total 1 replies
piyo lika pelicia
Assalamualaikum, paman pulang! waduh ... makan apa nih?"
piyo lika pelicia
Tiba-tiba pintu terbuka
piyo lika pelicia
Rama
piyo lika pelicia
"Ee.. kamu mau kemana" pake nanya. Virza tertawa kecil. "Aku mau
piyo lika pelicia
"Terimakasih, sepertinya tidak pernah."
piyo lika pelicia
ibu dan juga bapaknya kemana
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
tidak boleh berkata kasar pada anak mu sendiri 😒
kaka_21: sabar kak, sabar
total 1 replies
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
iklan untuk kakak ☺️
piyo lika pelicia
dasar ibu yang buruk
piyo lika pelicia
adik yang baik ☺️
piyo lika pelicia
"Eh, Riz. Ada apa?"
Inumaki Toge
Ayatnya enak dibaca,lanjut semangat ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!