Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Suara bor listrik menggema di area proyek saat Andre berjalan melewati tumpukan baja ringan dan beton setengah jadi. Peluh membasahi bagian kerah kemeja birunya. Jam menunjukkan pukul 10 pagi, dan ia sudah berdiri di lapangan lebih dari satu jam—mengoreksi posisi pilar dan memastikan suplai material datang sesuai tenggat.
Ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuat dadanya langsung berat.
“Bapak”
Andre menghela napas sebelum menjawab.
“Halo, Pak?”
“Sekarang juga pulang ke rumah saya.”
Andre menegakkan badan. “Ada apa, Pak?”
“Kamu pikir saya punya waktu buat debat? Pulang. Sekarang.”
Sambungan terputus. Tanpa salam, tanpa penjelasan.
Andre menyeka keringat di dahinya, lalu memberi isyarat pada tim lapangan untuk meneruskan tanpa dia. Lima belas menit kemudian, mobilnya melaju menuju rumah utama keluarga Suthajningrat di kawasan Menteng, rumah yang tidak pernah benar-benar ia anggap ‘rumah’.
...****************...
Langit masih kelabu ketika Andre tiba. Pelataran depan penuh dengan mobil dinas keluarga. Ia langsung disambut pelayan lama, Pak Wondo, yang hanya memberi anggukan singkat.
“Di ruang tengah, Tuan,” katanya tanpa menatap langsung.
Saat Andre melangkah masuk, hawa dingin langsung menyergap. Ruang tamu besar dengan chandelier emas dan lukisan silsilah keluarga menyambutnya seperti museum feodalisme hidup.
Di sofa tengah, Sultan Munier duduk tegak dengan tongkat di sampingnya, mengenakan batik sutra hitam. Bowo duduk menyilang kaki, terlihat lebih rapi dari biasanya.
“Sudah datang, si anak kedua,” sindir Sultan tanpa menoleh.
Andre berdiri tegak. “Bapak suruh saya ke sini. Ada apa?”
“Kalau kamu lebih cepat sedikit, kamu bisa belajar bagaimana Bowo bernegosiasi. Tapi sayang, kamu terlalu sibuk main proyek kecil yang bahkan tidak bisa kamu jaga dari kebocoran.”
Andre menatap ayahnya. “Saya tidak main proyek, Pak. Saya bekerja.”
“Oh, bekerja?” Sultan tertawa hambar. “Pakai modal siapa kamu bisa kerja? Modal nama keluarga ini. Jangan sombong seolah kamu bangun semuanya sendiri.”
Bowo ikut angkat suara. “Kamu tuh, Dre, harusnya sadar tempat. Gak usah berlagak pahlawan.”
Andre memicingkan mata. “Saya sadar tempat saya. Tapi saya juga tahu, saya bukan orang yang bisa diinjak cuma karena saya bukan anak istri pertama.”
Sultan menoleh tajam. “Mulutmu makin kurang ajar.”
Andre menahan diri. Tapi dadanya sudah panas.
Bowo menyilangkan tangan. “Ya jelas kamu naik karena dijodohin sama Lily. Kalau nggak, mana bisa orang kayak kamu dapat perhatian media.”
Dan itu pemantik berikutnya.
Sultan ikut menimpali, nada bicaranya tajam. “Gadis itu? Cucu diktator. Anak dari playboy berkedok politikus. Apa kamu pikir kamu pantas bawa nama Suthajningrat ke pernikahan semacam itu?”
Andre menatap ayahnya lurus.
“Lily jauh lebih punya harga diri dibanding sebagian besar keluarga ini,” katanya pelan tapi tajam. “Kalau Bapak takut kehormatan keluarga rusak, kenapa jadikan pernikahan sebagai alat dagang?”
Sultan Munier bangkit perlahan dari sofa, menggenggam tongkatnya kuat.
“Apa kamu bilang?”
Andre tak bergeming.
“Bapak malu sama saya, kan? Tapi tidak pernah malu saat diam-diam membagi saham keluarga ke anak kesayangan istri pertama. Saya tahu, Pak. Tapi saya diam.”
Sultan berjalan mendekat, wajahnya merah padam. “Jangan bawa-bawa rahasia keluarga ke depan orang luar!”
Andre menoleh ke Bowo. “Orang luar? Bukannya dia justru yang selalu diperlakukan seolah pewaris tunggal?”
Bowo berdiri. “Ngomong yang bener, Dre. Jangan nyerang gue cuma karena hidup lo kalah.”
“Gue kalah?” Andre menatapnya dingin. “Gue cuma gak berani main kotor.”
Dan sebelum satu kalimat lagi terucap, Sultan Munier menampar Andre.
Suara tamparan bergema keras di ruang megah itu.
Andre tak menghindar. Kepala Andre menoleh ke kanan, pipinya merah, tapi matanya tetap menatap lurus pada ayahnya.
“Kalau ini harga dari bicara jujur, saya terima,” katanya lirih. “Tapi jangan harap saya pura-pura bangga jadi anak Bapak.”
Ia membalik badan dan berjalan menuju pintu, meninggalkan ruangan dengan punggung tegak. Sementara di belakangnya, Sultan Munier mengatupkan rahang, matanya menyala marah—entah karena kehilangan kendali… atau karena untuk pertama kalinya, Andre tidak tunduk.
Andre mengembuskan napas keras didepan rumah? udara terasa sesak. Bukan karena rumah tak nyaman, tapi karena isi kepala yang terlalu penuh.
Ditambah wajah Ridwan yang masih bercokol di rapat dewan, seakan tak ada yang tahu perbuatannya.
Andre masuk k dalam lalu melempar jasnya ke sofa mendapati ruang tengah rumah bata merah itu kosong, hanya suara alat pemanas air dari dapur yang terdengar samar.
Langkah kakinya membawa ke dapur.
Di sana, Lily tengah berdiri menyendok nasi dari rice cooker. Ia mengenakan blouse longgar warna lavender, rambut dikuncir separuh, dan ada noda kecil saus di pipi kirinya.
Ia menoleh cepat. “Oh, kamu udah pulang? Makan dulu?”
Andre tak menjawab.
Lily memperhatikan wajah Andre yang tegang.
“Kenapa? Kantor?” tanyanya hati-hati.
Andre hanya mengangguk sambil menghampiri wastafel. Ia mencuci tangan, lalu bersandar pada tepi meja dapur. Matanya menatap Lily dalam-dalam.
Ada keheningan yang menggantung, tebal. Lily merasa jantungnya ikut pelan berdetak. Bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang terasa nyaris… rapuh.
“Aku masak yang kamu suka. Ayam kecap,” kata Lily sambil mencoba mencairkan suasana.
Tapi Andre tak menjawab.
Ia hanya berjalan perlahan ke arahnya, lalu menghentikan langkahnya tepat di depan Lily.
Wajah mereka hanya terpaut beberapa sentimeter.
“Lily…” suaranya serak.
Lily menelan ludah, menatap mata Andre. “Hmm?”
Tanpa aba-aba, Andre memegang wajah Lily dengan kedua tangannya dan menciumnya.
Bukan ciuman yang agresif. Tapi ada dorongan—ada tekanan dari luka, dari kecewa, dari semua ketidakpastian yang menumpuk.
Lily terkejut. Tubuhnya menegang. Tapi… selama beberapa detik, ia membalas ciuman itu. Tangannya bahkan menyentuh sisi lengan Andre, sebelum akhirnya perlahan mendorongnya.
“Andre…” bisiknya pelan. “Kamu kenapa?”
Andre menatapnya, kecewa. “Maaf.”
Ia membalikkan badan dan pergi ke ruang kerja. Lily berdiri kaku, menyentuh bibirnya yang hangat. Ada detakan asing yang membuat tubuhnya bingung. Antara nyaman dan takut. Antara ingin dan belum siap.
Di lantai atas, Andre membereskan map dokumen dan laptop ke dalam tas kulit hitamnya. Ia mengambil jaket, lalu turun tanpa banyak suara.
Lily melihatnya melintas ruang tamu.
“Mau ke mana?” tanya Lily cepat.
“Keluar. Butuh napas,” jawab Andre datar.
“Jam segini?”
“Ya.”
Lily hendak bicara, tapi urung. Andre membuka pintu, menutupnya pelan, dan pergi.
...****************...
Langit malam Jakarta mulai gerimis. Andre memarkir mobilnya di basement apartemen lamanya, tempat ia tinggal sebelum dijodohkan dengan Lily. Tempat itu terasa asing sekarang, seperti museum pribadi yang penuh kenangan dingin.
Ia naik lift ke lobi, berniat hanya mengambil beberapa dokumen cadangan dari unitnya. Tapi saat pintu lift terbuka, langkahnya terhenti.
Di depan sofa resepsionis, berdiri Herianto Halimansyah, ayah Lily, mengenakan batik gelap dan scarf tipis mewah.
Di hadapannya, seorang wanita muda dengan rambut panjang bergelombang sedang memeluk lengannya manja. Wajah perempuan itu familier.
Velia.
Andre mengenalnya. Pernah muncul di gala dinner, kabarnya salah satu influencer yang sempat jadi brand ambassador properti keluarga Halimansyah. Duda tua dan perempuan muda, terlalu klasik untuk diabaikan.
Andre mematung. Dadanya sesak.
Ayah mertuanya tersenyum mesra, membelai rambut Velia seolah dunia milik berdua.
Sementara Lily… perempuan yang mencoba menyambung puing-puing hidupnya dengan segala cara… tinggal di rumah bata merah dan berusaha menjadi istri yang waras dari warisan keluarga yang tidak normal.
Andre mengepalkan tangannya, lalu membalik arah. Ia tidak ingin terlihat. Tidak ingin mencampuri. Tapi ia tahu, momen itu akan membekas.
Di dalam mobil, Andre duduk diam. Hujan menetes di kaca, menyamarkan siluet wajahnya yang muram. Ia melihat tangannya sendiri—yang tadi menyentuh wajah Lily, yang tadi membuat keputusan terlalu cepat.
Ia baru sadar: mungkin ia tidak ditolak, hanya terlalu cepat melangkah. Dan kini, ia tahu… keluarga Lily mungkin lebih hancur dari yang selama ini ia duga.
Dan malam ini, ia hanya bisa memilih satu hal:
Diam, atau melindungi Lily… dari keluarganya sendiri.
...----------------...