Key, gadis kota yang terpaksa pindah ke kampung halaman yang sudah lama ditinggalkan ayahnya. Hal itu disebabkan karena kebangkrutan, yang sedang menimpa bisnis keluarga.
Misteri demi misteri mulai bermunculan di sana. Termasuk kemampuannya yang mulai terasah ketika bertemu makhluk tak kasat mata. Bahkan rasa penasaran selalu membuatnya ingin membantu mereka. Terutama misteri tentang wanita berkebaya putih, yang ternyata berhubungan dengan masa lalu ayahnya.
Akankah dia bisa bertahan di desa tertinggal, yang jauh dari kehidupan dia sebelumnya? Dan apakah dia sanggup memecahkan misterinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kiya cahya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Mbak Yuni
"Baiklah, ayo kita pecahkan bersama sebagai penebus rasa bersalah ibu pada Yuni. Kita harus ke rumahnya sekarang juga. Tapi ibu akan pamit ke pak Kepala Sekolah dulu supaya tidak menunggu untuk rapat." semangat membara Bu Marni yang membuat kami ikut berkobar.
" Saya juga akan menghubungi orangtua saya dulu ya, bu. Supaya tidak bingung kalau belum ada di gerbang waktu jam pulang." sahutku meminta ijin.
" Iya, silahkan. "
Setelah beberapa saat menghubungi dari masing-masing telpon, kami segera menuju parkiran mobil untuk menuju rumah Mbak Yuni.
Di dalam mobil, tiba-tiba Bella sudah muncul di sebelahku. Kebetulan aku sedang duduk sendiri di kursi belakang, sedangkan Bu Marni mengemudi dan Nisa ada di sebelahnya.
"Lhah, kemana aja sih. Baru muncul." kataku setengah berbisik pada Bella.
"Tadi tu saya bantu Yuni, untuk menunjukan ke kalian. Sekarang lelah sekali rasanya."
"Memangnya kamu ngapain sampe kliatan cape gitu? Bantu apa, orang kita sendiri yang nemuin petunjuk di perpus."
"Lha memangnya yang tadi ajakin kamu ke lemari buku no 10A siapa?"
"Itu Mbak Yuni kan, klo kamu juga gak mungkin soalnya kan gak tau tempatnya." lanjutku.
"Nah, memang Yuni yang menunjukkan. Tapi dengan bantuan kekuatanku. Dia itu hantu baru, mana bisa kasih petunjuk seperti tadi. Malah saya bantu juga buat menjatuhkan bukunya biar kalian lebih mudah mencarinya."
"Oo, jadi itu kamu? Trimakasih ya." kataku yang masih dengan suara lirih menurutku. Tapi ternyata Bu Marni mendengarnya, beliau bingung melihat tingkahku dari kaca.
"Kamu ngomong ya, Key? Ada apa?" sahut Bu Marni tiba-tiba yang membuatku terkejut sampai hampir lompat dari kursi.
"Gak apa-apa, bu. Cuma lagi menganalisa saja sambil ngomel sendiri hehe..." jawabku asal.
Nisa cuma ketawa melihat tingkah bingungku. Sepertinya dia tahu kalau Bella ada di sampingku, dan kami sedang berdebat.
Sepuluh menit perjalanan, kami sudah tiba di depan halaman sebuah rumah yang cukup mewah dibandingkan rumah di sekitarnya.
"Ayo, turun. Ini rumah Yuni yang sekarang. Sepertinya baru saja pemakaman." ajak Bu Marni.
"Rumahnya lumayan gedhe ya, Key. Kenapa mbak Yuni bisa merasa ada beban pulang dengan rumah sebesar ini?" tanya Nisa dengan wajah polosnya.
"Tidak semua kemewahan itu membawa kebahagiaan, Nis. Kata mama, rasa syukur atas apa yang kita punya. Itu hal yang membuat bahagia." jelasku sambil mengikuti Bu Marni dari belakang.
"Assalamualaikum, Bu Siti." sapa Bu Marni dari depan pintu.
"Huaaa.... Bu, maafkan Yuni kalau punya salah sama ibu. Maafkan keluarga kami." tangis pecah Bu Siti, ibu dari Mbak Yuni.
"Maafkan saya juga bu, misalkan dulu ada sesuatu yang membuat kalian kecewa." jawab Bu Marni.
Mereka berdua larut dalam tangis bersama. Aku berusaha memberi kode pada Bu Marni untuk melihat kamar Mbak Yuni. Dan mengajak ibu Siti untuk memberi tahu pesan dari Mbak Yuni.
" Bu Siti, boleh saya ke kamar Yuni? Saya ingin mengenangnya sebentar. "ucap Bu Marni memberi alasan untuk masuk ke kamar.
" Oh, iya silahkan bu. Saya tahu, kalau ibu sudah menyayangi Yuni seperti anak kandung sendiri." jawab Bu Siti masih terdengar parau karena terlalu lama menangis.
" Tapi kok saya belum melihat ayah Yuni, bu?"
"Ayahnya masih kerja, tadi pulang sebentar tapi setelah pemakaman langsung berangkat. Katanya terlanjur ada janji dengan orang."
"Ooww, ya sudah tidak apa-apa. Ibu yang sabar ya." lanjut Bu Marni menenangkan.