Riana terpaksa menerima lamaran keluarga seorang pria beristri karena keadaan yang menghimpitnya. Sayangnya, pria yang menikahinya pun tidak menghendaki pernikahan ini. Sehingga menjadikan pria tersebut dingin nan angkuh terhadap dirinya.
Mampukah Riana tetap mencintai dan menghormati imamnya? Sedangkan sikap labil sering sama-sama mereka tunjukkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rini sya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serba Salah
Beberapa hari telah berlalu, Langit merasakan kenyamanan ketika bercengkraman dengan Riana. Meskipun itu hanya menyangkut baby Ara. Karena pembahasan mereka hanya itu.
Riana begitu sopan dan lembut ketika menjawab setiap pertanyannya. Bukan hanya itu, menurut Langit, menurut hatinya, istri mudanya ini sangat aneh. Ia tak pernah menatap matanya ketika berbicara. Wanita ini selalu menundukkan kepala. Selalu menjaga pandangannya. Entahlah, menurut Langit, Riana seperti takut padanya.
Pagi menjelang, seperti biasa, Langit sudah siap dengan tas kerjanya.
Duduk manis di meja makan sembari menyantap hidangan yang di masak oleh Minah. Sendirian, karena Yuta tak mau lagi menemaninya sekarang. Sebab Langit tak menuruti permintaannya untuk tidak bekerja di kantor. Langit melawannya dengan alasan ia tak bisa meninggalkan tanggung jawab atas proyek yang telah ia tanda tangani.
Namun, Yuta adalah wanita dengan kepribadian yang sulit untuk dikendalikan. Wanita itu masih kekeh dengan permintaannya. Sehingga, terpaksa Langit melawannya.
"Nasi gorengnya enek, Bi. Tidak terlalu pedas. Siapa yang masak?" tanya Langit pada Minah yang kini sibuk menyiapkan teh hangat untuknya.
"Ya saya lah, Den. Siapa lagi," jawab Minah sembari tersenyum.
"Oh ... kemajuan kamu sekarang ya, udah enak masakannya. Nggak hambar kek biasanya," balas Langit. Entah ini sebuah pujian atau ledekan, Minah tak mau ambil pusing. Yang penting pekerjaannya hari ini beres tanpa kendala.
Minah tersenyum menahan tawa. Sebab menurutnya lucu saja. Hubungan antara Langit dan Riana. Mereka saling menolak, tetapi tanpa mereka sadari, mereka saling melengkapi. Seandainya Langit menyadari itu.
Contohnya sekarang, di saat semua pekerja tidak ada, diam-diam Riana begitu cekatan membantu pekerjaan rumah, menjaga putrinya dan memasak untuknya. Meskipun itu semua dia anggap, Riana adalah pekerja. Bahkan makanan yang sekarang sedang ia nikmati adalah hasil jerih payah wanita itu. Namun, seperti biasa, Langit tidak tahu. Riana memang meminta pada Minah agar jangan sampai Langit tahu, jika makanan yang dihidangkan adalah masakannya.
Riana hanya mau menjaga ketenangan rumah ini. Tidak bermaksud apapun.
"Bi, nanti malam aku mau makan yang kek kemarin ya, apa itu namanya, pastel ya," pinta Langit.
Minah meneguk kasar salivanya. Sebab ia tak bisa membuat itu. Yang membuat makanan lezat itu adalah Riana. Bagaimana ini? Bagaimana kalau aden tahu. Bisa dicekik aku, batin Minah takut.
Ya, sejak para pekerja dipecat oleh Yuta, yang bertugas memasak adalah Riana. Namun, tetap memasak di meja belakang. Sebab dia tidak diizinkan oleh nyonya pemilik rumah ini untuk menggunakan dapur utaman.
"Sebenarnya itu Minah beli, Den. Nanti kalo ada Minah beliin deh, ya," ucap Minah. Tidak janji, tetapi ia sendiri juga harus mencari cara untuk menyelamatkan diri.
"Oke! Kalo bisa pesan yang banyak, Bi. Aku suka," jawab Langit, masih setia dengan nasi goreng yang ada di depannya. Minah tersenyum, sebab ia melihat Langit mengambil lagi nasi goreng yang masih ada.
"Ara belum bangun, Bi?" tanya Langit pada Minah.
"Sepertinya sudah, Den. Tadi Minah lihat udah ada suara-suara di kamar mbak Ria," jawab Minah. Ya, kalau di depan Langit, Minah tidak diizinkan Riana untuk memanggilnya dengan sebutan 'Non' agar Langit tidak marah.
"Oh," jawab Langit singkat.
Tak ada perbincangan lagi. Tak ada pertanyaan lagi. Sebab Langit sekarang sudah percaya pada Riana. Bahwa gadis itu pasti menjaga dan merawat putrinya dengan baik.
***
Rumah tangga Langit dan kedua istrinya tak lepas dari pantauan kedua orang tuanya. Mereka bahagia, karena pada akhirnya Riana bisa membuktikan pada Langit dan mereka sendiri, bahwa ia bisa menjadi ibu asuh yang layak untuk cucu mereka.
Nana dan Dayat geram dengan kelakuan mantu pertama mereka. Menurut mereka Yuta sangat kekanak-kanakan sekali. Apa yang dia lakukan terbaca oleh kedua mertuanya. Mereka menganggap bahwa Yuta cemburu akan kedekatan Riana dengan Ara sehingga membangun intensitas pertemuan dan keakraban antara Langit dan istri keduanya itu.
"Nanti ngomongin Yutanya pelan-pelan saja, Ma. Takut Langit tersinggung," ucap Dayat mengingatkan.
"Kesal sekali Mama, Pa. Bisa ada orang picik begitu. Harusnya dia bersyukur anak dan suaminya ada yang ngerawat. Ada yang merhatiin. Ada yang jaga. Sendirinya bisanya apa, cuma tidur sama marah aja," balas Nana kesal.
Dayat mengerti perasaan sang istri. Mau bagaimanapun dia adalah seorang ibu Tetapi kepekaannya sebagai seorang istri kurang. Tidak semua wanita memiliki pemikiran yang sama dengannya. Intinya Nana sendiri juga kurang peka.
***
Langit merasa tubuhnya seperti remuk redam. Entah mengapa ia merasakan lelah yang teramat sangat. Untuk melepaskan penatnya, Langit memutuskan untuk pulang ke rumah.
Mengistirahatkan jiwa raganya yang lelah. Melepaskan penat yang menyelimutinya.
Sesampainya di rumah, Langit pun langsung masuk ke dalam kamar. Namun, perasaannya kurang nyaman. Karena semua yang ada di kamar tersebut berubah. Termasuk, sprei, gorden, wewangian. Di balasnya juga ada foto pernikahannya dengan Riana. Bukan hanya itu, baju ganti untuknya juga telah tersedia.
Terang saja, suasana yang tidak ia kehendaki ini membuat Langit naik darah. Dengan penuh amarah, ia pun keluar kamar dan ingin segera memberi pelajaran pada Riana. Karena ia yakin, bahwa yang mengubah kamarnya adalah wanita itu. Tidak ada yang berani selain dirinya. Langit yakin itu.
Sayangnya, ketika sampai di ruang tamu, langkah Langit terhenti. Ia melihat sang istri sedang bercengkrama dengan kedua orang tuanya. Bukan hanya Riana, di sana juga ada baby Ara yang terlihat sangat nyaman di dalam pangkuan Riana.
"Ma, Pa! Kapan datang?" sapa Langit pada kedua orang tuanya. Namun tatapan mata itu tertuju pada wanita yang saat ini ia hancurkan tulang belulangnya.
Riana paham akan maksud tatapan mata itu. Tetapi ia juga tak punya pilihan lain. Karena apa yang ia lakukan merupakan keinginan ibu mertuanya. Bahkan, foto yang ada di kamar Langit saat ini juga dari Nana.
"Baru beberapa menit yang lalu. Mobil mama ada di belakang kamu tadi. Oiya, kamu suka nggak dengan hadiah yang mama kirim?" balas Nana dengan senyuman keibuannya.
"Paket? Paket apaan, Ma?" tanya Langit bingung.
"Ria, emang belum kamu pasang. Kok Langit malah nanya hadiah apaan?" Nana tak kalah bingung.
"Udah, Ma. Cuma Ria baru sempat pasang sekarang. Kemarin-kemarin, Ria kan sibuk sama kerjaan rumah sama baby cantik ini," jawab Riana. Padahal, jika boleh jujur bukan itu jawaban yang sesungguhnya. Jawaban sesungguhnya adalah dia pasti takut dengan Langit.
Memajang foto itu di kamar Langit, baginya adalah bunuh diri. Dan saat ini terbukti. Bahwa Langit tidak menyukai hal itu.
"Oh, baiklah. Mama ngerti! Eh, malam ini mama sama papa mau nginep ya. Kami pinjam lama Ria boleh kan?" Nana terlihat antusias, karena malam ini dia memiliki rencana untuk membuat Riana dan Langit satu kamar.
Sayangnya, rencana Nana itu malah membuat Langit senang. Sebab malam ini dia ingin memberi pelajaran kepada Riana, agar tak berani melakukan kecerobohan seperti ini lagi.
Bersambung...
msh merasa paling tersakiti