Melina Lamthana tak pernah merencanakan untuk jatuh cinta ditahun pertamanya kuliah. Ia hanya seorang mahasiswi biasa yang mencoba banyak hal baru dikampus. Mulai mengenali lingkungan kampus yang baru, beradaptasi kepada teman baru dan dosen. Gadis ini berasal dari SMA Chaya jurusan IPA dan Ia memilih jurusan biologi murnni sebagai program studi perkuliahannya dikarenakan juga dirinya menyatu dengan alam.
Sosok Melina selalu diperhatikan oleh Erick seorang dosen biologi muda yang dikenal dingin, cerdas, dan nyaris tak tersentuh gosip. Mahasiswi berbondong-bondong ingin mendapatkan hati sang dosen termasuk dosen perempuan muda. Namun, dihati Erick hanya terpikat oleh mahasiswa baru itu. Apakah mereka akan bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Greta Ela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Satu bulan telah berlalu sejak hari pertama libur semester itu, dan bagi Melina, waktu terasa berjalan sangat cepat. Apartemen yang sepi tanpa Bunga menjadi saksi bagaimana setiap pukul tujuh malam, Melina akan berdiri di balik jendela, menatap ke bawah menunggu sedan hitam itu muncul.
Rasa takut dan canggung yang dulu menghantuinya kini telah luruh, berganti dengan debaran rindu yang nyata. Melina menyadari bahwa ia telah jatuh cinta...benar-benar jatuh cinta kepada pria yang seharusnya hanya menjadi pemberi nilai di lembar ujiannya. Di balik sikap Erick yang dominan dan kaku, Melina menemukan sisi pria itu yang haus akan kasih sayang, seseorang yang selalu memastikan Melina makan dengan baik dan merasa aman.
Erick pun sama. Baginya, Melina bukan lagi sekadar pelarian atau obsesi sesaat. Gadis itu adalah ketenangan yang selama ini ia cari. Melihat Melina tersenyum saat mencicipi hidangan baru atau melihat binar matanya saat mereka berdiskusi tentang buku, membuat Erick merasa hidup kembali.
Malam itu, tepat satu bulan satu minggu masa liburan berjalan, ponsel Melina bergetar di atas meja rias.
@Erickfrag: "Pakai dress hitam yang saya belikan minggu lalu, Melina. Aku akan menjemputmu dua puluh menit lagi. Aku ingin kita pergi ke tempat yang spesial malam ini."
Melina menarik napas panjang. Ia membuka lemari dan mengambil sebuah kotak besar berpita perak. Di dalamnya terdapat sebuah dress satin berwarna hitam pekat dengan bermodel sabrina, potongan bodycon yang sangat mengikuti lekuk tubuh. Gaun itu memiliki desain backless yang berani, memperlihatkan belahan dada, punggung, serta paha namun tetap terlihat sangat elegan dan berkelas.
Melina melangkah pelan menuju cermin besar di sudut kamar.
Saat jemarinya menarik ritsleting di bagian belakang, kain satin dingin itu membalut kulitnya seperti kulit kedua. Melina tertegun menatap pantulannya sendiri. Ia berdiri mematung, menatap bayangan seorang gadis yang hampir tidak ia kenali.
"Apakah ini benar-benar aku?" bisiknya pelan, suaranya bergetar di tengah kesunyian apartemen.
Di dalam cermin itu, tidak ada lagi Melina si mahasiswi polos yang selalu memakai kemeja kebesaran atau jaket organisasi. Gaun pilihan Erick itu sangat terbuka memamerkan bahunya yang putih mulus, lekuk pinggangnya yang ramping, hingga punggungnya yang terekspos jelas. Melina merasa sangat telanjang meski ia berpakaian.
"Gaun ini benar-benar seksi. Aku kurang suka." ujarnya sendiri
Ada rasa kalut yang mendadak muncul. Ia merasa gaun ini terlalu "aneh" dan terlalu berani untuk dirinya yang lugu. Bagaimana mungkin seorang mahasiswi tingkat awal pergi berkencan dengan dosennya sendiri memakai pakaian seperti ini? Pikirannya berkecamuk antara rasa malu yang luar biasa dan keinginan untuk menyenangkan hati Erick.
"Ini salah... tapi kenapa aku tidak bisa menolak?" gumamnya lagi. Melina menyentuh permukaan cermin, memperhatikan wajahnya yang tampak jauh lebih dewasa dengan riasan tipis. Ia merasa seperti sedang mengenakan topeng untuk masuk ke dunia Erick yang penuh kendali. Di balik keraguannya, ada perasaan aneh yang tumbuh, ia mulai terbiasa dengan cara Erick mendikte penampilannya, seolah ia adalah milik pria itu sepenuhnya.
Tepat saat bercermin, Bunga menelpon Melina dengan Video Call, Melina langsung panik dan mengambil selimutnya lalu menutupi tubuhnya.
"Halo, Bunga... ada apa?" Melina membuka pembicaraan.
"Mel... MEL..? Mel, kamu pakai make up? Serius? Kamu mau kemana Mel?" sontak Bunga terkejut melihat Melina yang memakai make up
Melina pun tercengang, Ia lupa kalau Video Call Ia tak sempat lagi untuk membersihkan wajahnya.
"Hehe iya Bunga, aku kepo caranya bermake up. Kadang, aku iri sama kamu yang bisa make up." ujarnya supaya Bunga tak curiga
"Malam-malam begini? Ya ampun Mel, kamu ada-ada aja." balas Bunga sambil tertawa kecil
"Tapi cantik kok. Kamu baik-baik aja kan Mel disana?" sambungnya
"Iya Bunga. Kadang aku menonton film atau membaca novel, intinya aku enggak kesepian kok. Kalau kita telponan, aku merasa kamu ada disini." ujar Melina
"Ya udah deh, kalau gitu udah dulu, ya. Aku ada kerjaan dikit. Bye Mel."
"Bye." Melina mengakhiri telepon.
Jantung Melina berdegup kencang, Ia ceroboh, Ia harusnya mengalihkan Video Call tadi menjadi telepon biasa saja. Untung saja Bunga tidak curiga.
Tepat waktu, suara klakson mobil Erick terdengar dari bawah, membuyarkan lamunan Melina. Ia menarik napas dalam, membuka hati, lalu melangkah keluar dengan langkah anggun yang dipaksakan, meski hatinya masih bergejolak hebat.
Saat pintu mobil dibuka, Erick tertegun. Ia yang biasanya selalu sigap, sempat terdiam beberapa detik menatap mahasiswinya, kekasihnya itu. Jas hitam yang dikenakan Erick tampak sangat serasi dengan penampilan Melina malam ini.
"Kamu... luar biasa, Melina," suara Erick terdengar lebih rendah dan serak dari biasanya.
Matanya menelusuri setiap inci penampilan Melina dengan tatapan yang sangat intens, seolah ingin memastikan bahwa mahakarya di depannya ini hanya miliknya.
Melina tersipu, wajahnya merona merah.
"Apa ini tidak terlalu berlebihan, Pak... eh, Erick? Aku merasa... aku merasa bukan diriku sendiri dengan baju ini."
Erick meraih tangan Melina, mengecup punggung tangannya dengan lembut sebelum melajukan mobil.
"Justru ini adalah dirimu yang sebenarnya di mataku, Melina. Sempurna. Tidak ada kata berlebihan untuk kecantikanmu malam ini." ujarnya
Melina lalu masuk ke dalam mobil, hingga Erick menyetir sampai pada restaurant. Tempat itu jauh berjarak satu jam dari kampus dan tempat tinggal mereka. Restaurant mewah itu hanya ditempati oleh orang-orang dewasa yang pacaran, bertunangan maupun suami istri. Disana, semua wajah manusia terasa asing dan bagusnya satu pun tak ada yang mengenal Erick dan Melina.
"Restaurant yang berbeda?" tanya Melina
"Iya Melina, aku ingin kamu merasakan restaurant yang berbeda-beda. Aku ingin kamu senang. Aku pastikan kamu makan enak disini."
Erick lalu memarkirkan mobilnya dan menunggu Melina keluar dari mobil. Ia lalu menggandeng tangan Melina dan masuk ke restaurant itu.
Pria itu telah memesan dua meja khusus untuknya dengan Melina tanpa gangguan siapapun.
"Melina, kamu mau pesan apa? Silakan apa yang kau mau." ujarnya
"Aku... aku tidak tahu." jawab Melina gugup
Ia baru kali ini memakai pakain terbuka seperti itu. Ia gugup dan tidak pede, membiarkan dosennya sendiri melihat sebagian tubuhnya.
"Mel, aku tahu kamu belum terbiasa. Tapi lama-lama kamu akan terbiasa kok. Aku pesan menu yang sama saja, ya."
Erick lalu memesan pasta yang harganya sangat mahal dengan minuman lemon dingin. Setelah beberapa menit, pesanan itu lalu sampai dan mereka memakannya. Melina menyantap pasta itu dengan pelan, rasanya enak. Ia tak pernah makan semewah dan seenak ini.
"Kamu suka kan?" tanya Erick
Melina lalu mengangguk, tidak. Melina belum terbiasa dengan momen intim ini.