Kala Azure adalah seorang kapten agen rahasia legendaris yang ditakuti musuh dan dihormati.
Namun, karier cemerlangnya berakhir tragis, saat menjalankan operasi penting, ia dikhianati oleh orang terdekatnya dan terbunuh secara mengenaskan, membawa serta dendam yang membara.
Ajaibnya, Kala tiba-tiba terbangun dan mendapati jiwanya berada dalam tubuh Keira, seorang siswi SMA yang lemah dan merupakan korban bullying kronis di sekolahnya.
Berbekal keahlian agen rahasia yang tak tertandingi, Kala segera beradaptasi dengan identitas barunya. Ia mulai membersihkan lingkungan Keira, dengan cepat mengatasi para pembuli dan secara bertahap membasmi jaringan kriminal mafia yang ternyata menyusup dan beroperasi di sekolah-sekolah.
Namun, tujuan utamanya tetap pembalasan. Saat Kala menyelidiki kematiannya, ia menemukan kaitan yang mengejutkan, para pengkhianat yang membunuhnya ternyata merupakan bagian dari faksi penjahat yang selama ini menjadi target perburuannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memilih Pergi
Di luar ruang rapat komite Larisa tengah menunggu dengan perasaan cemas dan was-was. Ia yang mengaku tahu cerita sebenarnya bahkan tak di berikan kesempatan untuk masuk dan menjelaskan. Bahkan Javier yang ada di tempat kejadian waktu itu juga di ancam hingga membuatnya terpaksa harus menutup mulut.
Siang itu udara di luar ruangan tampak sejuk, angin berhembus kencang, bertiup membelai dedaunan. Namun, suasana di dalam ruang rapat sebaliknya. Udara terasa semakin menipis, setipis kesabaran Marvin yang kini telah mencapai titik didih.
Ia tak pernah membayangkan, putri yang selalu ia anggap ‘bayi kecilnya’ harus menghadapi ketidakadilan yang mengerikan ini.
"Kalian tidak bisa seenaknya memperlakukan putiku seperti ini. Setidaknya berikan bukti akurat," tegasnya, sambil menatap lurus ke mata Nicholas. "Jika memang putriku bersalah aku akan menerima semua ini dengan lapang dada."
Nicholas tampak tenang, ia seperti tak menanggapi protes Marvin. Punggungnya melemas bersandar di sandaran kursi yang keras. "Ini sudah keputusan kami semua. Mulai besok Keira bukan lagi siswi Internatioan School."
"Benar," timpal Jordan. "Mulai besok kau tidak perlu lagi datang ke sekolah Keira, kau resmi di keluarkan dari sekolah ini. Ini sudah jadi keputusan komite."
Keira bangkit, tubuhnya menegang. "Apa kalian benar-benar akan melakukan ini? Baiklah gak masalah, lagi pula sekolah ini juga sudah rusak, bukan bangunannya, tapi sistem penataannya. Para guru dan semua pengurusnya pun sama!"
"Keira, lancang mulutmu!" sentak Jordan. "Bocah kurang ajar."
Jordan berdiri tegak, tangannya terulur menunjuk ke arah Keira.
Secepat kilat, Marvin menarik putrinya, memaksanya berdiri di belakang tubuhnya yang besar, "mau apa, kau? Jangan berani acungkan tanganmu ke arah putriku. Jika kau berani aku pastikan akan mematahkan jari-jarimu."
Ucapan Marvin tajam mengintimidasi, hingga membuat Jordan spontan menurunkan tangannya. Marvin yang sudah muak berada di ruangan itu segera menarik tangan Keira dan membawanya keluar.
Semua orang segara berdiri saat melihat Marvin keluar begitu saja. Seolah mereka tahu dari mana sifat kurang ajar Keira berasal.
Di luar ruangan, Marvin masih menggenggam tangan putrinya erat-erat, langkah kakinya dipercepat. Wajahnya merah padam, menahan gejolak amarah yang siap meledak kapan saja. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri demi putrinya.
"Cepat!" perintahnya dengan nada yang mendesak dan tak sabar. "Kemasi semua barangmu, kita pergi dari sekolah bobrok ini. Ayah akan tunggu di parkiran."
Marvin melepas genggaman tangannya. Keira mengangguk patuh, segera berbalik menuju kelasnya.
Keira bergegas menuju kelas mengambil tas dan bukunya yang ada di loker. Saat ia hendak melangkah keluar Violeta dan gengnya menghadang.
"Dasar pembunuh. Akhirnya lo di depak juga dari sini," cibir Violeta, ia terlihat sangat puas.
Keira tak merasa kecil sedikit pun karena ia tahu itu memang bukan salahnya. Ia justru menatap Violeta tajam menusuk, ia melangkah mendekati Violeta.
"Pembunuh? tapi seharusnya kau tau betul apa yang sebenarnya terjadi. Aku sudah salah karena memberimu kesempatan, aku kira orang seperti mu bisa berubah, tapi aku salah. Kali ini aku tidak akan biarkan hal ini terjadi lagi," ujar Keira, kini ia yang mendominasi membuat Violeta tersentak mundur.
"Awas, jangan halangi jalanku," sentak Keira menepis tubuh Violeta.
Violeta yang terhuyung segera di tangkap gengnya yang lain hingga tubuhnya tak sampai menyentuh lantai.
Sentakan kaki Violeta menggema dalam ruangan kelas yang tampak sepi menyisakan pengapnya ketegangan.
Di koridor semua tatapan tertuju ke arah Keira. Kali ini bukan tatapan menghakimi, tapi mereka sedih karna kebohongan lah yang akhirnya menang.
Setelah Larisa mencoba mengatakan pada semua orang, barulah mereka percaya jika Keira tak mungkin melakukan itu.
Semua juga tahu bahwa Violeta dan Audrey memang terkenal suka membuli. Bahkan mengharuskan mereka untuk membayar setiap harinya.
Keira mempercepat langkahnya di koridor, tas sekolahnya tersampir di bahu. Setiap langkah menjauhi ruang kelas terasa seperti membuang beban berat yang menyesakkan dada. Tatapan sendu dari teman-teman sekelasnya yang kini tahu kebenaran tidak lagi memengaruhi tekadnya. Ia sudah muak dengan drama dan sandiwara ketidakadilan ini.
Tepat sebelum ia mencapai pintu utama, sebuah tangan menyentuh lengannya, menahannya.
"Keira, tunggu!" Itu Larisa, napasnya terengah-engah. Wajahnya dipenuhi air mata yang belum sempat ia seka, matanya memohon. "Kau tidak bisa pergi seperti ini. Tolong, jangan menyerah!"
Keira berbalik, menatap Larisa dengan sorot mata yang dingin namun tanpa kebencian. Ia melihat kesedihan tulus di mata Larisa, tapi itu tidak cukup untuk mengubah keputusannya.
"Sudah berakhir, Larisa," ujar Keira, suaranya tenang, mengandung kepastian yang menolak dibantah. "Ini bukan tentang menyerah. Ini tentang memilih pertempuran yang layak diperjuangkan."
Larisa menggeleng, menggenggam lengan Keira semakin erat. "Tapi aku sudah mencoba bicara pada semua orang! Mereka sekarang tahu Violeta dan Audrey berbohong. Kita bisa berjuang, kita bisa meminta komite meninjau ulang!"
Keira menarik napas dalam, pandangannya menyapu sekeliling, pada lorong-lorong mewah sekolah yang terasa busuk dari dalam.
"Kau gak ngerti, Larisa. Mereka tidak ingin mendengar kebenaran. Sejak awal, aku adalah target mereka. Keputusan ini bukan tentang bukti, tapi tentang kekuatan yang ingin menyingkirkan aku. Mereka sengaja menargetkanku, menjadikanku pelaku, agar sistem bobrok ini tetap aman. Aku tidak akan lagi membiarkan diriku berada di bawah tekanan dan permainan kotor mereka."
Keira dengan lembut melepaskan genggaman Larisa. "Aku berterima kasih atas keberanianmu. Tapi aku harus pergi. Sekolah ini sudah merusak terlalu banyak hal. Aku perlu udara yang berbeda."
Larisa hanya bisa terdiam, air matanya menetes. Ia tahu tekad di mata Keira tak mungkin bisa di ubah.
Keira melangkah keluar, menghirup udara luar yang lebih segar, meninggalkan Larisa yang berdiri membeku di ambang pintu. Ia menemukan ayahnya, Marvin, yang sudah menunggu di area parkir, menyandarkan tubuh besarnya ke motor tua miliknya dengan wajah yang masih tegang dan marah.
"Ayah," panggil Keira pelan.
Marvin segera menegakkan tubuh, kemarahan di matanya mereda saat melihat putrinya. "Kau sudah siap? Cepat naik, kita akan pergi sekarang."
Keira tidak segera naik. Ia berdiri di hadapan ayahnya, menggenggam tali tasnya erat-erat.
"Ayah, aku mau minta izin," kata Keira, sedikit ragu namun tetap tegas. "Aku ingin pergi ke suatu tempat."
"Kamu mau kemana, sayang? Kita harus pulang, ayah gak mau terjadi apa-apa denganmu," ujar Marvin.
Namun, Keira yang memang tengah membuat janji harus tetap pergi, Ini semua juga demi keselamatan semua orang. "Maaf Yah. Tapi aku benar-benar harus pergi. Tenanglah Ayah gak perlu khawatir, oke."
Keira berpamitan pada Marvin dan segera menaiki ojek online yang sebelumnya ia pesan. Kini tujuannya adalah Cafe Avenue 77, cafe yang terletak tak jauh dari sekarang tempatnya berada.
Di sepanjang jalan Keira terlihat gelisah. Ini kali pertamanya bertemu dengan seseorang yang ia percayai, namun ia takut jika orang itu tak bisa percaya dengan apa yang telah ia alami.
btw gimana kabar sekolah lama keira thor, penasaran sama gebrakan keira membuka aib sekolah lamanya😂
apakah dia ketemuan sama pahlawan merah