Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Dona masih duduk di bangku kecil itu, angin sore menyisir ujung rambut panjangnya, dari kejauhan suara kaki itu semakin mendekat, hatinya semakin berdesir matanya melotot sempurna, dia melihat para tetangga keluar satu persatu mengikuti langkah beberapa orang berkemeja putih itu.
Dona langsung berdiri lututnya bergetar, hati kecilnya bertanya. "Kenapa?
Matanya membesar ketika firasat aneh mulai menekan dadanya, ia tidak tahu apa yang sedang orang-orang itu lakukan, namun sayup-sayup suara tetangga membuat jantungnya berdegup ketakutan.
"Bu-Ibu, apa benar ini rumah Dona Ardina?" tanya salah satu petugas.
"Iya Pak benar ini rumah Dona, itu anaknya sedang duduk," sahut Bu Minten.
Para tetangga mulai menjalankan perannya masing-masing. Ada yang bergerumun, ada juga yang berdiri dari kejauhan, ada yang berpura-pura menyiram tanaman, ada pula yang mengintip dari balik jendela. Mereka semua tahu apa yang terjadi, namun mereka semua memilih untuk diam.
Karena amplop-amplop itu sudah lebih dulu singgah di rumah mereka.
"Bu, apa benar dia tidak ada yang ngurus?" tanya petugas itu lagi.
"Gak ada Pak, dia hidup luntang-lantung tanpa orang tua, ibunya gila ayahnya kabur," sahut Minten.
Petugas dinas sosial itu langsung menganggukkan kepala pelan, seolah membenarkan laporan tentang anak yang bernama Dona Ardina yang tercatat sebagai anak terlantar.
"Kabar sudah valid dari salah satu tetangga berkata sesuai dengan apa yang di laporkan," ucap petugas itu kepada rekannya.
Mereka saling mengangguk lalu kemudian para petugas melangkah ke halaman rumah Dona, salah satu dari mereka ada yang mendekat dan berjongkok di hadapannya.
“Nama kamu Dona ya?”
Dona mengangguk pelan.
“Kami mau ajak kamu ke tempat yang aman dulu, Nak.”
“Aman?” Dona bergeming kepalanya langsung menggeleng dengan cepat. “Tidak Ini rumah Dona…”
Petugas perempuan membuka map, untuk menjelaskan laporan yang sudah di terima oleh pihak mereka.
“Ibumu tidak bisa merawatmu dan kamu tinggal sendiri. Sesuai laporan… kamu masuk kategori anak terlantar.”
Dona seperti tak mengerti. “Anak… terlantar?” suaranya tercekat. “Dona gak terlantar… Dona punya rumah, Dona bisa urus diri sendiri di sini Dona sedang menunggu Om ..." perkataan Dona menggantung.
“Om siapa?” potong salah satu petugas dengan nada datar.
Dona terdiam. Ia tidak pernah tahu nama lengkap Regi.
“Yang ganteng… pakai mobil… suka beliin Dona makan…” ucapnya terbata, menahan tangis.
Para petugas saling pandang. “Tidak ada wali sah yang tercatat untukmu Adek, jadi susah tugas kami untuk membawamu ke tempat yang lebih aman.”
Seketika Dona mundur, punggungnya menempel ke dinding rumah.
“Nggak boleh!” teriaknya kecil. “Om janji balik! Dona disuruh nunggu disini!"
Tangannya mencengkeram kusen pintu rapuh rumah itu. Kuku kecilnya memutih menahan beban rasa takut.
Para tetangga hanya menunduk, tak satupun yang bergerak ataupun berbicara, mereka seolah bungkam dan membiarkan kabar yang beredar itu seolah benar.
"Bapak Ibu tolong jangan bawa Dona, di sini Dona masih sekolah dan mengaji, Dona bisa jaga diri sendiri," ucap Dona ketika petugas perempuan itu mulai mendekat.
"Dek, di sini gak aman, kamu harus ikut kita," ucap petugas itu.
Di antara obrolan mereka seorang RT datang menyibak kerumunan dengan tegas, seolah tidak mau Dona dipaksa ikut dinas sosial.
“Tunggu dulu!” serunya lantang. “Anak ini bukan anak terlantar. Ada yang mengurus dia!”
Petugas perempuan menoleh tajam. “Bapak punya bukti?”
“Dia sering dikunjungi seorang pria. Setiap hari dibelikan makan, sekolahnya diurus!”
Salah satu petugas pria menyela dingin. “Ada surat wali? Akta pengakuan? Bukti hukum?”
Pak RT terdiam, ia hanya tahu apa yang dilihat mata, bukan apa yang tercatat negara, apalagi memang bukti yang tidak terlalu kuat, Ardina sakit hakim ayah sambung yang kabur, dan Regi ayah yang baru hendak menebus namun sayang semuanya ini merupakan rencana jahat dari kedua orang tuanya.
"Pak saya mohon, anak ini anak baik-baik dia mendapat amanah dari ibunya untuk tetap tinggal di rumah ini," ucap Pak RT tapi sayang tak satu orang pun mengindahkan kemauannya.
"Tidak bisa Pak, lagian kami semua bertindak demi kebaikan anak-anak yang terlantar seperti Dona ini,"
Sementara di belakangnya, beberapa tetangga menunduk lebih dalam, menghindari tatapan. Beberapa lainnya berpura-pura sibuk mengusap mata, padahal bukan karena menangis, melainkan malu.
“Pak RT, jangan ikut campur…” bisik salah satu tetangga.
Amplop itu masih melekat di ingatan mereka. Pak RT menggertakkan gigi, seolah tidak terima dengan diamnya para warga.
“Kalian tega… anak sekecil ini—”
“Cukup Pak,” potong petugas tegas. “Kami jalankan prosedur.”
Dua petugas mendekat.
Dona menjerit.
“Jangan ambil Dona!” Ia memeluk tiang rumah sekuat tenaga. “Tunggu Om dulu! Dona janji nurut! Dona gak nakal!”
Tangisnya pecah. Air mata membanjiri pipi kecil yang sejak pagi menanti. "Aku sudah janji sama Om mau tunggu dia di sini!"
Petugas berusaha merenggangkan jemarinya satu per satu.
“Om…” pekiknya nyaring. “Om jangan tinggalin Dona!”
Tangannya terlepas.Tubuh kecil itu terangkat, memberontak dalam dekapan dingin seragam ketentuan negara. "Tidak ... Dona gak mau ikut kalian Dona ingin menunggu Ibu dan Om!"
Sebisa mungkin Dona memberontak namun tidak bisa melawan tenaga para petugas yang lebih kuat darinya.
Pak RT maju mencoba mendekat, tapi salah satu petugas menghalanginya. “Bapak hanya memperkeruh suasana!"
Ia kalah, mau menentang seperti apa satu melawan puluhan mata yang memilih bungkam. Ia hanya bisa melihat para petugas membawa tubuh Dona, anak kecil itu berteriak dan menangis.
Mobil dinas mulai bergerak. Dona menempel di kaca belakang, wajahnya dibasahi air mata.
“Om! Dona nunggu di sini! Dona nunggu!”
Rumah kayu itu makin menjauh. Gang sempit makin mengecil. Dan tidak satu pun wajah tetangga yang berani membalas tatapan putus asa itu.
Janji pagi hari… resmi direnggut oleh sore ini, padahal baru sehari tapi janji itu sudah sirna terlebih dahulu.
☘️☘️☘️☘️☘️
Sementara di tempat lain di ruang perawatan RSJ lengang oleh senja. Bau obat menyatu dengan aroma kain seprai bersih. Ardina terbaring memeluk bantal usang, tertidur gelisah.
Keningnya berkerut, kepalanya menggeleng cepat seolah mimpi buruk tengah menerpa dirinya nafasnya memburu naik turun, di dalam mimpinya ia melihat gelap mencengkam, namun di dalamnya tangis Dona mencengkam kuat si telinganya.
“Dona!” teriaknya tiba-tiba.
Ia duduk tegak. Napasnya terengah, air mata mengalir tanpa sebab iavtidak bisa menafsirkan tentang mimpinya namun ia tahu jika di dalam mimpinya itu separuh jiwanya sedang tidak baik-baik saja.
“Dona… kenapa sakit… kenapa sepi… kenapa gelap,” gumamnya terputus-putus.
Seorang suster membuka pintu.
“Bu Ardina, kenapa teriak?”
Ardina memegangi dada. “Anak saya…” ujarnya terbata. “Hati saya sakit… Dona butuh saya…”
Suster tertegun. “Bu, ibu sedang delusi lagi. Dona sudah aman.”
Aman…
Kata itu justru menghantam hati Ardina wanita itu langsung menggeleng kuat seolah tidak terima dengan perkataan aman yang dilontarkan oleh suster itu.
“Tidak,” bisiknya. “Anakku menangis menjerit, pasti dia sedang sakit," ucapnya kembali dengan tatapan kosong tapi menyentuh.
Tangan Ardina meremas seprai. “Dona… tunggu Ibu… Ibu akan secepat mungkin keluar dari sini Nak," ujarnya kembali sedikit memberontak.
"Keluarkan aku dari sini!" teriaknya menggema, namun sayang mereka hanya mengira jika wanita itu sedang delusi.
Suster segera bertindak dan memberikan obat penenang untuk Ardina.
Air matanya jatuh bercampur senyum kosong yang kembali mengembang di wajah rapuh itu pertanda obat mulai bekerja, memadamkan firasat yang terlalu jujur.
Namun di balik kegilaan yang dianggap dunia, insting seorang ibu bekerja tanpa perlu waras.
Dan sore itu, benar adanya, Dona sedang direnggut dari bahagia yang baru saja anak itu rasakan, seseorang mencoba untuk memisahkan dadi seseorang yang seharusnya menjadi pelindung utamanya.
Bersambung ....
Gimana masih sanggup kak temani perjalanan Dona??? Pastinya sanggup ya ... Hehe ... Ya sudah kalau gitu selamat membaca bay bay ...🥰🥰🥰♥️♥️♥️
pergi jauh... ke LN barangkali setelah sukses baru kembali,,tunjukkan kemampuanmu.
semangat......