Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji yang kutunggu
Suara pukulan bertubi-tubi menggema di lorong sempit belakang rumah sakit lama.
Bugh! Bugh!
Tubuh beberapa preman terhuyung, jatuh berserakan setelah menerima serangan brutal dari Xavier. Wajahnya tetap dingin, seolah tak terguncang sedikit pun oleh keributan yang baru saja ia selesaikan.
"Pergi kalian!" ucap Xavier datar, namun sorot matanya tajam menusuk.
Dengan napas tersengal, para preman itu bangkit buru-buru. Tanpa berani menoleh, mereka lari tergopoh-gopoh meninggalkan tempat itu.
Xavier menghembuskan napas berat. "Hahh..." Tatapannya segera beralih pada sosok Alvaro tergeletak di tanah, lengan dan wajahnya penuh luka lebam.
"Kita ke rumah sakit," ujar Xavier, nadanya dingin penuh tegas.
Alvaro buru-buru menggeleng. "Gak usah, Vier.
Xavier menatapnya tajam, tidak setuju dengan jawabannya. Tapi sebelum ia bisa berkata lagi, Alvaro tersenyum tipis meski menahan sakit.
"Sekarang temui Calista. Gue yakin dia udah nunggu lo dari tadi."
Kata-kata itu membuat Xavier terdiam sejenak. Janjinya pada Calista kembali teringat, rasa bersalah menggerayangi hatinya.
"Keadaan lo gimana?" tanya pelan.
"Aman," jawab Alvaro singkat. "Bentar lagi anak buah Daddy gue datang. Thanks ya, bro."
"Hmm..." Xavier hanya bergumam, lalu menepuk bahu Alvaro sebagai tanda percaya.
"Lo cepat temui Calista, jangan bikin dia nunggu lebih lama," tambah Alvaro.
Tanpa banyak kata, Xavier berdiri, melangkah ke arah motor sportnya. Dalam sekejap ia sudah menyalakan mesin dan meleset meninggalkan tempat itu menuju perpustakaan kota.
♡♡○♡♡
"Dek... bangun, dek," suara lembut pegawai perpustakaan membuyarkan tidur Calista yang terlelap dengan sebuah buku menutupi wajahnya.
Perlahan, kelopak matanya terbuka. Calista mengedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan pandangan. Ia menoleh ke sekitar—sunyi. Perpustakaan yang tadinya ramai kini mulai lengang. Tatapannya langsung tertuju pada pintu masuk. Kosong, Xavier belum juga datang.
Pandangan Calista beralih pada jam dinding. Jarum pendek sudah menunjukkan angka tujuh. Itu artinya, ia tertidur cukup lama.
"Maaf, Kak... Calista ketiduran," ucapnya seraya menunduk merasa bersalah.
"Iya, Dek. Nggak apa-apa. Tapi... tiga puluh menit lagi perpustakaan akan tutup ya," jawab pegawai itu ramah sebelum beranjak pergi.
Calista menghela napas panjang. Wajahnya jelas menyimpan kekecewaan. "Iya, Kak... saya paham kok," balasnya pelan.
Kini, ia kembali sendirian. Tatapannya tak lepas dari pintu masuk yang tetap tak bergeming. "Apa Xavier lupa..." bisiknya lirih.
Tiba-tiba—tes! Setetes cairan hangat mengalir dari hidungnya. Ia terkejut, segera meraba wajah. Darah. Sekejap kepalanya terus berdenyut sakit.
Dengan buru-buru Calista meraih tisu, menekapkannya di hidung. Satu lembar, dua, tiga... hingga beberapa lembar telah ia gunakan, tapi darah kental itu masih terus mengalir deras.
'Oh tidak... aku telat minum obat," pikirnya panik. Padahal ia sudah menyiapkan obat di dalam tas.
Dengan langkah tergesa, Calista membereskan barang-barangnya. Tisu-tisu bekas bercak merah ia masukkan begitu saja ke dalam tas—tempat sampah terlalu jauh dari mejanya. Tanpa menoleh lagi, ia segera keluar meninggalkan perpustakaan.
♡♡
Brum!
Xavier menghentikan motornya di depan perpustakaan kota. Pandangannya jatuh pada bangunan klasik itu sebelum ia melangkah masuk.
Begitu pintu terbuka, matanya langsung mencari sosok Calista. Namun, hasilnya nihil—Calista sudah tak ada. Ia melirik jam di pergelangan tangan dan menghela napas berat.
"Dia pasti sudah pulang..." gumamnya sambil mengusap wajah kasar dengan tangannya.
"Dek, cari siapa" tanya seorang pegawai perpustakaan yang menghampiri, melihat Xavier kebingungan.
Alih-alih menjawab, Xavier mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan foto Calista yang diam-diam pernah ia ambil. "Gadis ini... apa dia tadi ke perpustakaan?"
Pegawai itu memperhatikan sebentar, lalu mengangguk. "Iya, benar. Dia sempat ketiduran di kursi baca."
"K-ketiduran?" dahi Xavier berkerut.
Pegawai itu kembali mengangguk. "Mungkin terlalu lama baca. Sepertinya dia nunggu seseorang deh, soalnya saya lihat beberapa kali dia terus menatap pintu.
Xavier meremas tengkuknya, napasnya berat. Bayangan Calista menunggunya berjam-jam membuat dadanya terasa sesak. "Sekarang dia di mana?"
"Mungkin saja sudah pulang."
Jawaban itu membuat hati Xavier semakin tidak tenang. Ia melangkah keluar dengan wajah penuh rasa bersalah. Baru saja hendak membuka pintu, suara lembut menghentikannya.
"Xavier."
Matanya melebar. Ia menoleh dan di sana, Calista berdiri dan tersenyum. Tanpa pikir panjang, Xavier segera menghampirinya dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Calista terkejut, tubuhnya sempat kaku.
"Maafin gue..." bisik Xavier penuh penyesalan.
"I-iya... aku tahu kamu pasti akan datang," jawab Calista gugup. Ini pertama kalinya ia di peluk lelaki lain selain ayahnya.
Xavier melepaskan pelukan, menatap wajah Calista yang polos. "Tadi Alvaro ada masalah... jadi gue bantuin dia."
Alih-alih marah, Calista tersenyum tulus. "Iya, gak apa-apa kok. Sudah seharusnya kamu nolongin sahabatmu."
Xavier terdiam, tercengang oleh sikap gadis itu. "Lo... gak marah?"
Calista menggeleng pelan. "Marah? Nggak, kok."
"Tapi lo udah nunggu gue lama banget..."
"Aku yakin Vier gak akan pernah ingkar janji. Walaupun telat, hehe." Calista terkekeh kecil, gigi putihnya berjejer rapi.
Xavier kembali terpukau. Gadis ini... benar-benar berbeda.
"Ayo belajar, kamu mau kan?" tanya Calista penuh harap.
Xavier hanya mengangguk. Namun sebelum mereka sempat masuk lagi, pegawai perpustakaan menghampiri. "Dek, maaf ya. Perpustakaan sebentar lagi tutup."
Calista mendesah kecewa. "Yah... gimana dong." Ia menatap Xavier, seolah minta solusi.
"Tenang, kita bisa belajar di tempat lain," jawab Xavier sambil menggandeng tangannya keluar dari perpustakaan.
Xavier menggandeng Calista masuk ke dalam sebuah Kafe. Namun, bukannya duduk di area utama, ia justru membawanya menyusuri sebuah lorong kecil tersembunyi di dalam kafe. Anehnya, para pegawai kafe hanya melirik sekilas lalu kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing, seolah sudah terbiasa melihat Xavier masuk ke sana.
"Kita mau ke mana, Vier? Kenapa nggak belajar di depan aja?" tanya Calista, nada suaranya bergetar. Ada sedikit rasa takut yang tidak bisa ia sembunyikan.
Langkah Xavier terheni. Ia menoleh, menatap Calista yang tampak ragu dan cemas. Tanpa sadar, tangannya terangkat, menyentuh pipi bulat gadis itu dengan lembut. "Gue nggak akan macam-macam sama lo, Calista," ucapnya, suara dingin khas Xavier tapi terdengar lebih tenang. "Gue cuman butuh tempat yang tenang untuk belajar. Percaya, ada tempat bagus di sini."
Calista menatap matanya dalam-dalam. Ada sesuatu di sorot mata Xavier yang membuatnya yakin. Meski wajahnya masih menyimpan ketakutan, ia mengangkat kelingking kecilnya. "Janji."
Xavier menatap kelingking itu sebentar, lalu tersenyum samar. Ia kaitkan jari kelingkingnya dengan milik Calista. "Janji."
Dua tangan yang berbeda ukuran—satu mungil, satu berotot—bersatu dalam janji sederhana, namun terasa begitu berarti.
Klik! Pintu itu terbuka lebar, dan angin malam langsung menyapa wajah mereka. Calista tertegun, tak menyangka Xavier membawanya ke rooftop kafe.
Lampu-lampu kota berkelip dari kejauhan, berpadu dengan langit malam yang dihiasi bintang-bintang sama. Di sudut rooftop, ada beberapa meja kayu sederhana, diterangi lampu gantung kecil yang memancarkan cahaya temaram. Suasana begitu tenang, berbeda dengan hiruk pikuk-kafe di bawah sana.
"Ini tempat belajar kamu?" tanya Calista pelan, masih terpesona dengan pemandangan di depannya.
Xavier berjalan duluan, meletakkan tasnya di salah satu meja. "Iya. Sepi nggak ada yang ganggu. Gue sering ke sini kalau butuh fokus." Nada suaranya tetap dingin, tapi ada sedikit kehangatan yang sulit disembunyikan.
Calista melangkah mendekat, menaruh bukunya di meja. Ia sempat menoleh ke arah Xavier, lalu tersenyum tipis. "Aku kira kamu bawa aku ke tempat aneh-aneh."
"Kalau gue niat macam-macam, pasti dari tadi udah kelihatan," ucapnya singkat dengan nada setengah bercanda.
Calista terdiam, pipinya memanas mendengar jawaban itu. Ia buru-buru duduk, menunduk agar Xavier tak melihat wajahnya yang memerah.
Xavier menarik kursi di seberang Calista, lalu duduk dengan tenang. Angin malam kembali berhembus, membuat suasana terasa damai. Untuk pertama kalinya, Calista merasa mereka berdua sedang benar-benar terhubung—bukan sebagai dua orang asing, tapi sebagai teman yang mulai saling percaya.