Sepuluh bulan lalu, Anna dijebak suaminya sendiri demi ambisi untuk perempuan lain. Tanpa sadar, ia dilemparkan ke kamar seorang pria asing, Kapten Dirga Lakshmana, komandan muda yang terkenal dingin dan mematikan. Aroma memabukkan yang disebarkan Dimas menggiring takdir gelap, malam itu, Anna yang tak sadarkan diri digagahi oleh pria yang bahkan tak pernah mengetahui siapa dirinya.
Pagi harinya, Dirga pergi tanpa jejak.
Sepuluh bulan kemudian, Anna melahirkan dan kehilangan segalanya.
Dimas dan selingkuhannya membuang dua bayi kembar yang baru lahir itu ke sebuah panti, lalu membohongi Anna bahwa bayinya meninggal. Hancur dan sendirian, Anna berusaha bangkit tanpa tahu bahwa anak-anaknya masih hidup. Dimas menceraikan Anna, lalu menikahi selingkuhan. Anna yang merasa dikhianati pergi meninggalkan Dimas, namun takdir mempertemukannya dengan Kapten Dirga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Terima kasih, Kapten
Anna masih duduk di tepi ranjang kecil ruang perawat panti, kedua bayinya terlelap di pangkuannya. Napasnya masih tersendat-sendat, wajahnya masih basah oleh air mata, tapi tatapannya jauh lebih hidup daripada beberapa jam sebelumnya.
Dirga berdiri beberapa langkah dari mereka, tidak ingin terlihat menguasai, namun tetap ingin memastikan Anna aman.
“Kalau kau mau waktu sendiri…” ucap Dirga pelan, suaranya dalam tapi lembut. Anna mengangkat wajahnya, memandang Dirga sebentar, ada rasa terima kasih, ada kebingungan, dan ada rasa takut kehilangan lagi.
Dirga membaca semuanya tanpa Anna harus bicara.
“Aku akan menunggu di luar ruangan.”
Dia menundukkan kepala sedikit, sesuatu yang jarang dilakukan seorang Kapten sekeras dirinya. “Gunakan waktu ini, mereka … butuh ibunya. Dan kau … butuh mereka.”
Anna menatap kedua bayinya. Mereka tidur begitu damai, seolah dunia tidak pernah mengkhianati mereka.
Dirga melangkah mundur, pelan. Sebelum keluar, ia sempat melihat Anna menunduk, menciumi kening dua bayi itu satu per satu sambil berbisik, “Mama di sini … mama nggak akan pergi lagi…”
Dirga menutup pintu perlahan.Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan dada sesak bukan karena peperangan atau tugas militer, tetapi karena seorang perempuan muda yang hatinya remuk dan dua anak kecil yang kini menjadi tanggung jawabnya.
Dia bersandar di dinding luar, menarik napas panjang, berusaha meredam amarahnya pada orang-orang yang merampas kebahagian Anna sebelumnya.
“Ini belum selesai,” gumamnya pelan, tatapannya mengeras. “Mereka akan membayar semuanya.”
Keesokan harinya.
Ruangan kecil itu dipenuhi cahaya pagi yang hangat. Anna duduk di kursi goyang sederhana milik panti, kedua bayinya berada dalam pelukannya. Mereka mulai menggeliat, mencari kenyamanan dan ASI yang sudah mereka kenal sejak Anna mulai menjadi ibu susu.
Namun kali ini berbeda, kali ini Anna tahu, bahwa kedua malaikat itu benar-benar darah dagingnya. Tangan Anna gemetar saat membaringkan bayi laki-laki ke bantal kecil. Dirga berdiri di belakangnya, kedua tangan bersedekap, seperti hendak berjaga dari bahaya yang mungkin muncul kapan saja.
“Pelan saja,” ucap Dirga, suaranya tidak seperti kapten, lebih seperti seseorang yang takut Anna kembali goyah.
“Kau tidak harus terburu-buru.”
Anna mengangguk, menelan air mata yang hampir jatuh lagi.
“Aku takut … Kapten. Takut salah, takut mereka sakit. Takut … kehilangan lagi.”
Dirga menundukkan badan, berlutut di sampingnya.
“Kau tidak akan kehilangan apa pun lagi,” ucapnya pelan, mantap.
“Aku ada di sini. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyentuh kalian.”
Anna menatapnya, mata merah, tetapi lebih stabil. Ia menghela napas, mencoba menenangkan diri. Dengan hati-hati ia mengambil botol kecil, menguji suhu susu, Asi yang dia simpan sebelumnya, lalu menyuapi bayi perempuan yang mulai menangis. Dirga memperhatikan setiap gerakan Anna seolah itu operasi militer yang paling penting dalam hidupnya.
“Kau cepat belajar,” katanya lirih.
Anna tersenyum tipis, senyum pertama setelah seluruh dunia runtuh dan dibangun kembali dalam sehari.
“Aku beberapa hari … merawat bayi di panti ini, Kapten,” jawab Anna, suaranya masih bergetar namun lebih hangat.
“Hanya saja … hari ini pertama kalinya aku benar-benar merasa menjadi ibu.”
Dirga terdiam, wajah kerasnya melunak untuk sesaat. Seketika bayi laki-laki itu mulai menangis, suara kecil itu memenuhi ruangan. Anna hendak mengambilnya tetapi Dirga cepat mengangkat tangannya.
“Biar aku saja,” katanya.
Anna terkejut.
“Kapten … kamu yakin?”
Dirga mengangguk. “Aku ingin belajar.”
Dirga mengangkat bayi laki-laki itu perlahan, gerakannya hati-hati, seolah bayi itu senjata paling rapuh yang pernah ia sentuh. Padahal di medan perang ia memegang senjata dengan tangan kokoh, tanpa ragu.
Tapi di hadapan bayi mungilnya sendiri, tangannya sedikit bergetar. Anna melihatnya, tersenyum kecil, menyentuh lengannya.
“Lepaskan bahumu, Kapten. Dia bukan bom.”
Dirga mendengus pelan, tetapi jelas gugup. Bayi itu meringkuk di dadanya, mencari kehangatan. Dirga menahan napas ketika tangan mungil itu menarik kerah seragam militernya.
“Dia … mencengkeramku,” gumam Dirga, suaranya heran sekaligus bangga.
Anna tertawa pelan. “Dia hafal wangi ayahnya.” bisik Anna pelan, dan kehangatan dalam diri Dirga saat mendengar kata-kata itu.
Dirga menatap bayi itu lama sekali. Napasnya berubah lebih pelan, lebih dalam. Untuk pertama kalinya sejak kejadian 10 bulan lalu, ia menyadari sesuatu, ada bagian dirinya yang hilang dan kini kembali dalam bentuk dua makhluk kecil.
“Tuhan…” bisiknya.
“Aku … benar-benar seorang ayah.”
Anna menunduk, perasaannya campur aduk hangat, takut, dan bahagia. Bayi perempuan yang di pangkuannya mulai menggeliat. Anna mengusap pipinya. Dirga menatap Anna dan bayi perempuan itu.
“Kemari,” ujarnya.
Anna ragu. “Kapten?”
Dirga mengangguk ke arahnya.
“Berikan padaku. Biar aku pegang dua-duanya.”
Anna terkejut. “Kamu … yakin kapten?”
Dirga menjawab tanpa keraguan, “Mereka anakku. Aku akan belajar memegang dunia sekaligus kalau perlu.”
Anna menyerahkan bayi perempuan itu. Dirga mengatur posisi kedua bayi tidur dalam lengannya, satu di kanan, satu di kiri.
Pemandangan itu membuat Anna tertegun. Seorang kapten yang biasanya berdiri gagah, tegas, dan dingin kini duduk dengan dua bayi di pelukannya, wajahnya penuh kebanggaan yang tidak bisa disembunyikan. Dirga menatap kedua bayinya, lalu menatap Anna.
“Kau tidak sendirian lagi, Anna.”
“Kita … bertiga ada di sini.”
“Dan aku akan menjaga kalian sampai napas terakhirku.”
Anna menutup mulutnya, menahan tangis haru.
"Terima kasih, Kapten." Katanya pelan.
ayo basmi habis semuanya , biar kapten dirga dan anna bahagia
aamirandah ksh balasan yg setimpal dan berat 🙏💪
kejahatan jangan dibiarkan terlalu lama thor , 🙏🙏🙏
tiap jam berapa ya kak??
cerita nya aku suka banget🥰🥰🙏
berharap update nya jangan lama2 🤭🙏💕