Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 Aroma Teh dan Rahasia Pagi
Udara pagi di Lawang begitu sejuk hingga setiap embusan napas meninggalkan jejak kabut tipis di udara. Kesejukannya menggigit lembut kulit, seperti sapaan pertama dari alam yang baru bangun. Langit membentang dalam warna biru pucat, bergradasi lembut menuju keemasan di ufuk timur. Awan-awan putih bergulung pelan, berarak seperti kapas tipis yang melayang di atas hamparan kebun teh seluas mata memandang.
Daun-daun hijau muda berkilau basah oleh sisa embun malam, menampakkan butiran air yang memantulkan cahaya matahari pagi pertama. Kilauannya seperti serpihan kaca kecil yang menari setiap kali angin gunung berembus. Dari kejauhan, sinar mentari menembus sela pepohonan pinus di tepi bukit, menorehkan garis-garis cahaya keemasan di antara kabut tipis yang masih menggantung.
Suara alam pun perlahan hidup: burung-burung kecil mulai berkicau dari dahan tinggi, disusul gemerisik lembut daun teh yang bergesekan diterpa angin. Dari lembah, terdengar samar gemericik air sungai kecil yang mengalir di antara batu-batu, dan aroma tanah basah bercampur dengan wangi khas daun teh muda yang baru tersentuh sinar matahari.
Semua terasa segar, murni, dan damai — seakan waktu di tempat ini bergerak lebih pelan, memberi ruang bagi siapa pun yang datang untuk bernapas, untuk diam, dan mungkin… untuk merasa hidup lagi.
Di tengah barisan tanaman teh yang rapi seperti karpet hijau, dua sosok pria berjalan berdampingan
Bhumi Jayendra, mengenakan kemeja flanel dan celana kerja hitam, langkahnya mantap tapi santai. Di sebelahnya, Papa Bagas berjalan dengan cangkul di tangan, topi bundar menutupi sebagian wajahnya. Mereka berdua tampak kontras — satu dengan aura korporat yang elegan, satunya lagi dengan ketenangan petani yang bijak. Tapi dalam diam mereka, terasa kesamaan: ketenangan yang sama-sama lahir dari kerja keras dan tanggung jawab.
“Udara pagi di sini masih sama,” ucap Bhumi pelan, menatap hamparan kebun di depan mereka.
Papa Bagas tersenyum tanpa menoleh. “Makanya kamu harus sering pulang. Teh di sini rasanya beda kalau kamu minum langsung dari sumbernya.”
Bhumi menunduk, tersenyum kecil. “Saya gak bisa sering-sering, Pa. Perusahaan…”
“Perusahaan gak akan ke mana-mana,” potong Papa Bagas lembut, “tapi waktu yang bisa kamu luangin buat keluarga, itu yang paling cepat hilang.”
Bhumi terdiam. Suara daun yang bergesekan diterpa angin menjadi satu-satunya irama di antara mereka.
Setelah beberapa saat, Papa Bagas kembali bicara, kali ini lebih ringan.
“Kamu masih inget waktu kecil sering ikut Papa ke sini?”
“Inget,” jawab Bhumi sambil menatap jauh. “Waktu itu, saya cuma bisa bawa ember kecil dan ngeluh tiap lima menit.”
Papa Bagas tertawa kecil. “Tapi kamu tetap ikut tiap minggu. Katanya biar bisa jagain Mama yang suka bawa bekal ke kebun.”
Bhumi ikut tertawa, suaranya rendah tapi hangat. “Mama dulu suka bawain nasi liwet sama teh manis dingin. Rasanya gak pernah bisa saya lupakan.”
“Dan sekarang,” ujar Papa Bagas sambil menepuk bahunya, “kamu yang jagain semuanya. Papa gak bisa minta lebih dari itu.”
Bhumi menatap ayahnya sebentar, ada kebanggaan dan rindu dalam satu pandangan itu.
“Terima kasih, Pa.”
“Yang Papa mau cuma satu, Bhumi.”
“Apa?”
“Jangan cuma jagain perusahaan. Jagain juga dirimu sendiri.”
Bhumi menunduk sedikit, suaranya nyaris seperti bisikan. “Saya lagi belajar, Pa.”
Papa Bagas hanya tersenyum. Ia tidak bertanya lebih jauh.
Dari teras belakang rumah, Mama Sinta memandangi mereka berdua dengan segelas teh melati di tangan. Udara pagi membuat rambut pendeknya sedikit berkibar, dan di wajahnya terlukis senyum yang lembut tapi sarat makna.
Di sampingnya, Dara duduk di ayunan rotan, mengenakan sweater abu dan celana panjang, menatap ke arah yang sama.
“Mama,” katanya pelan, “lihat Kak Bhumi deh. Kok sekarang beda ya?”
Mama Sinta menoleh kecil, matanya berkilau geli. “Beda gimana?”
“Gak tahu… kayak… lebih hidup aja.”
Mama Sinta tertawa pelan. “Mama juga lihat itu.”
Dara memiringkan kepala. “Mama tau kenapa?”
Mama menyesap tehnya dulu sebelum menjawab. “Kayaknya, Kakakmu itu lagi jatuh cinta.”
Dara langsung menegakkan tubuh. “Serius, Ma?!”
“Hmm,” sahut Mama Sinta ringan, senyum kecilnya makin lebar. “Tatapannya pagi ini gak kayak biasanya. Ada yang lebih hangat.”
“Wah! Wah! Jadi beneran ada ceweknya!”
“Ssstt...” Mama Sinta menahan tawa sambil meletakkan jarinya di bibir. “Jangan keras-keras, nanti Papa sama Kakakmu dengar.”
Dara mencondongkan badan ke arah ibunya, berbisik cepat, “Mama udah tau siapa ceweknya?”
“Belum,” jawab Mama dengan nada menggoda. “Tapi Mama rasa… gak lama lagi Bhumi bakal ngenalin dia ke rumah ini.”
Dara tersenyum lebar, matanya berbinar. “Dara sih harapannya cuma satu, Ma.”
“Apa?” tanya Mama Sinta.
“Semoga dia gak kayak cewek-cewek yang suka nempel cuma karena Kak Bhumi Pengusaha.”
Mama Sinta terkekeh. “Iya, semoga bukan yang matre dan ribet.”
“Dan gak ganjen!” tambah Dara cepat, membuat Mama Sinta tertawa sampai hampir menumpahkan teh di tangannya.
“Ya Tuhan, Dara,” ucap Mama sambil mengusap matanya yang berair karena tawa, “kamu tuh lucu banget.”
“Tapi bener, Ma! Calon kakak ipar harus lolos seleksi Dara dulu.”
Mama Sinta mengelus kepala anak gadisnya lembut. “Boleh. Tapi kalau kamu lihat tatapan Kak Bhumi sekarang, Mama rasa siapa pun yang dia pilih… pasti perempuan yang baik.”
Dara memandang ke arah kebun lagi — tempat Bhumi dan Papa-nya masih berjalan perlahan di antara barisan teh, terlihat kecil dari jauh tapi memancarkan kehangatan yang nyata.
“Kalau gitu,” kata Dara pelan, “Dara doain aja semoga Kak Bhumi gak sendirian lagi.”
Mama Sinta tersenyum. “Amin, Nak.”
Matahari mulai naik sedikit lebih tinggi, memantulkan cahaya keemasan di hamparan kebun teh. Bhumi menatap sekeliling — udara dingin, aroma segar, dan suara lembut alam seperti menghapus seluruh penat di pikirannya. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa damai.
Dan entah kenapa, di tengah udara pagi yang jernih itu, ada satu wajah yang muncul lagi di benaknya — suara lembut, senyum kecil, dan nama yang terus berputar dalam pikirannya.
**
Pagi di Batu juga datang dengan udara yang masih dingin dan aroma kopi yang baru diseduh. Cahaya matahari menembus tirai dapur, menciptakan bayangan keemasan di lantai kayu rumah keluarga Liora. Dari dapur, suara alat pemanggang roti, aroma butter, dan wangi teh hangat memenuhi udara — semuanya terasa tenang, seperti potongan kecil dari pagi yang sempurna.
Bulan duduk di teras, mengenakan sweater abu muda, rambutnya diikat sederhana. Tablet kecil di tangannya menampilkan tumpukan e-mail dari tim Surabaya dan Jakarta, tapi pikirannya melayang pada suasana damai di sekelilingnya. Kabut tipis di halaman belakang mulai naik, dan burung-burung di pohon jambu tetangga berkicau seperti orkestra kecil.
Dari arah tangga, langkah kaki terdengar ringan tapi malas. Liora Larasmita, dengan rambut bob yang diikat asal, muncul masih pakai sweater putih kebesaran. Ia membawa secangkir teh melati dan ekspresi wajah orang yang belum sepenuhnya bangun.
“Eh, Bulan…” panggilnya setengah serak.
Bulan tidak menoleh. “Hmm?”
Liora berhenti di depan teras, menyeruput tehnya dulu sebelum bicara.
“Kita staycation yuk hari ini.”
Bulan menatapnya dari balik layar tablet. “Sekarang?”
“Iya, sekarang,” jawab Liora santai banget. “Aku butuh udara segar sebelum otakku beneran korslet gara-gara coding seminggu kemarin. Kita ke Lawang, atau ke kebun teh Wonosari. Sekalian nyari inspirasi.”
Bulan mendengus pelan. “Lo sadar gak sih, jam segini lo baru bangun, terus tiba-tiba ngajak healing ke Lawang?”
“Yup. Tapi ide spontan tuh biasanya yang paling berkesan,” kata Liora enteng sambil nyengir.
Bulan menatapnya lama, lalu menyerah. “Lo emang selalu dadakan, Li.”
“Dan lo selalu kebanyakan mikir.” balas Liora cepat.
“Gue realistis.”
“Dan gue spontan. Kombinasi kita tuh kayak kopi susu—beda tapi nyatu.”
Bulan akhirnya tertawa kecil. “Oke, terus?”
“Kita siapin tas kecil, kamera, jaket, terus langsung berangkat. Aku yang nyetir.”
Bulan menutup tabletnya. “Kita bahkan belum booking hotel.”
“Tenang aja,” jawab Liora santai, matanya berbinar penuh keyakinan, “Gue udah booking barusan.”
Begitu kata “berangkat” terucap, suasana rumah langsung berubah jadi lebih hidup. Bulan dan Liora naik ke kamar buat ganti baju, sementara Liora lari ke kamar mandi dengan langkah tergesa. “Sepuluh menit aja, Bul!” teriaknya dari dalam kamar mandi.
Bulan lalu memasukkan pakaian ganti untuk semalam kedalam ransel kecil, tidak lupa juga tablet yang selalu dibawa bawa kemanapun bulan pergi serta carger ponsel yang tidak boleh ketinggalan.
Sepuluh menit kemudian, dua-duanya udah siap turun. Liora pakai kaos dengan jaket denim, celana jeans plus kamera tergantung di leher. Bulan dengan kemeja putih santai, celana jeans dan tote bag hitam.
Tapi sebelum mereka keluar rumah, suara lembut memanggil dari dapur.
“Liora?”
Bunda Rena muncul sambil membawa nampan berisi dua gelas jus jeruk segar.
“Kalian mau ke mana pagi-pagi begini?”
Liora langsung pasang senyum andalan. “Staycation, Bun. Cuma satu malam, ke Lawang. Refreshing!”
Bunda Rena menaikkan satu alis. “Dadakan lagi?”
“Kayak tahu bulat dong Bun, di goreng dadakan,” jawab Liora sambil nyengir.
“Kamu tuh, udah bilang Ayah belum? Nanti dikira kamu kabur lagi.”
Dari ruang keluarga terdengar suara berat Ayah Saka, yang rupanya udah duduk di sofa sambil baca koran.
“Siapa yang kabur?” tanyanya tanpa menoleh.
Liora langsung berlari kecil ke ruang tamu. “Enggak kabur, Yah. Aku cuma mau refreshing ke Lawang. Sama Bulan.”
Ayah Saka menurunkan korannya, menatap Liora dari balik kacamata baca.
“Lawang? Perkebunan teh?”
“Iyaaa,” jawab Liora, kali ini lebih lembut, sadar bahwa ayahnya mulai mode serius.
“Berangkat jam segini? Belum sarapan?”
“Udah kok,” sahut Bunda Rena dari dapur. “Rawon tadi habis separuh panci.”
Ayah Saka menghela napas, tapi bibirnya tersenyum kecil.
“Oke. Tapi jangan pulang malam. Udara Lawang cepat dingin.”
“Tapi, aku mau nginep semalem, Yah.”
“Oke, tapi jangan ngebut.”
“Yah, aku nyetir kayak supir taksi paling sabar se-Jawa Timur,” jawab Liora cepat, lalu melirik ke Bulan. “Tanya aja sama Bulan.”
Bulan hanya tersenyum kecil. “Yah, dia nyetirnya pelan… kalau jalanan macet.”
Bunda Rena tertawa sampai menepuk bahu suaminya. “Udah, biarin aja mereka. Anak muda perlu healing juga.”
Liora langsung memeluk Bundanya erat. “Makasih, Bun. Doain cuacanya bagus, ya.”
“Doain juga biar gak nyasar,” sahut Ayah Saka dengan nada datar tapi penuh kasih.
Beberapa menit kemudian, mobil milik Ayah Saka meluncur pelan keluar dari pekarangan rumah. Dari teras, Bunda Rena dan Ayah Saka berdiri berdampingan, melambaikan tangan.
“Bulan, tolong jagain anak Bunda, ya!” teriak Bunda Rena.
Bulan melambaikan tangan dari jendela. “Siap, Bun!”
Liora membuka jendela, melambai. “Bun, Yah! Jangan kangen, ya!”
“Kalo kamu gak nelpon, kita langsung laporin polisi!” sahut Ayah setengah bercanda.
Tawa mereka menggema sampai suara mobil perlahan menjauh ke jalan utama dan berbelok keluar perumahan hingga mobil sudah tidak terlihat.
Di dalam mobil, Liora bersenandung pelan mengikuti lagu dari radio. Udara pagi mulai hangat, tapi angin yang masuk dari jendela tetap dingin. Bulan menatap keluar, melihat kabut perlahan terangkat dari lereng bukit dan cahaya matahari mulai menembus pohon-pohon pinus.
“Gue suka udara kayak gini,” katanya lirih.
“Kan apa gue bilang,” jawab Liora tanpa menoleh, “Pagi di Batu tuh kayak .. pelukan dingin yang gak mau lepas.”
Bulan tersenyum. “Puitis banget, Li.”
Liora menjawab ringan, “Efek diseduh cinta dan teh melati, mungkin.”
Keduanya tertawa pelan, membiarkan keheningan nyaman mengambil alih. Mobil terus melaju menuju arah Lawang, melewati sawah hijau, ladang stroberi, dan jalan berliku yang menanjak.
Setiap tikungan membawa aroma tanah, udara segar, dan—entah kenapa—rasa damai yang sulit dijelaskan.
**
Perjalanan satu jam dari Batu ke Lawang terasa cepat sekali. Mobil yang mereka tumpangi menembus kabut tipis pagi itu, meluncur di antara jalan berliku yang dikelilingi pepohonan pinus menjulang tinggi. Udara terasa semakin segar tiap menit, menusuk lembut ke paru-paru dengan aroma khas tanah lembab dan dedaunan yang baru tersentuh embun.
Begitu memasuki kawasan perkebunan teh Wonosari, pemandangan berubah drastis — seolah dunia terbuka lebar hanya untuk mereka. Hamparan kebun teh terentang luas sejauh mata memandang; hijau muda, hijau tua, berpadu dalam gradasi warna yang menenangkan. Barisan semak teh tersusun rapi dalam barisan miring mengikuti kontur bukit, seperti lukisan hidup yang terus berganti warna seiring sinar matahari naik dari timur.
Kabut tipis menari di atas pucuk daun, mengaburkan sebagian lereng bukit yang berundak-undak. Sesekali, burung-burung kecil melintas rendah, hinggap di antara ranting teh muda, sementara di kejauhan terdengar samar suara gemericik air dari saluran irigasi yang membelah lahaLangit pagi itu bersih, birunya nyaris sempurna tanpa selembar awan pun. Cahaya matahari jatuh lembut di permukaan daun teh, memantulkan kilau keperakan setiap kali angin berhembus. Udara di dalam mobil terasa lebih sejuk, menembus kaca jendela yang sedikit terbuka. Aroma teh muda menyeruak samar — segar, lembut, dan menenangkan, seolah alam sendiri sedang menyambut mereka dengan pelukan hijau yang luas.
Di beberapa titik, tampak para pemetik teh berjalan di antara barisan semak, topi lebar menutupi wajah mereka dari cahaya. Gerakan tangan mereka teratur, perlahan tapi pasti, seperti ritme alami yang sudah menyatu dengan tanah dan waktu.
Jalan mulai menurun, membawa mobil melewati jembatan kecil dari batu yang di bawahnya mengalir sungai bening berkilau diterpa cahaya pagi. Di kejauhan, bukit-bukit Lawang berdiri anggun, separuh diselimuti kabut putih yang bergerak malas di antara lembah.
Perkebunan teh Wonosari pagi itu tak hanya hijau dan indah — tapi juga hidup, bernafas.
Setiap hembusan angin membawa ketenangan yang sulit dijelaskan, seolah seluruh tempat ini menyimpan kedamaian yang tak bisa ditemukan di mana pun selain di sini.
“Wah…” Liora berseru sambil membuka jendela. “Gila, Bul! Ini kayak screensaver hidup!”
Bulan tersenyum kecil, matanya menatap keluar. “Udara di sini bersih banget. Rasanya semua stres hilang.”
Liora mengangguk, lalu dengan gaya khasnya menambahkan, “Dan foto gue nanti bakal viral banget kalau angle-nya pas.”
Bulan terkekeh. “Tentu. Prioritasnya jelas.”
Mereka akhirnya sampai di gerbang besar bertuliskan Arjuno Resort & Glamping Estate, sebuah tempat yang terletak di jantung perkebunan teh Wonosari. Bangunannya bergaya modern tropis, dengan kaca besar, kayu hangat, dan sentuhan batu alam. Udara di sini terasa lembab tapi segar, setiap tarikan napas seperti terapi alami.
Di lobi resort, aroma teh melati menyambut. Lantai kayunya mengilap, dan dari langit-langit tergantung lampu rotan besar yang memantulkan cahaya lembut.
Seekor kucing oranye tidur malas di dekat meja resepsionis — seolah tahu semua orang di sini datang untuk istirahat, bukan terburu-buru.
“Selamat datang di Arjuno Resort,” sapa resepsionis dengan senyum ramah. “Atas nama siapa, Bu?”
“Liora Larasmita,” jawab Liora cepat, lalu melirik Bulan sambil tersenyum.
“Baik, kami sudah siapkan kamar di unit Lakeview 02, menghadap langsung ke danau buatan.”
“Perfect!” seru Liora. “Kayak semesta beneran denger doa aku!”
Mereka diantar menggunakan mobil golf kecil menyusuri jalan berkelok yang diapit kebun teh.
Udara lembut berembus, menebar aroma segar daun muda. Dari kejauhan, terlihat danau buatan berwarna kehijauan, memantulkan bayangan langit dan pepohonan di sekitarnya.
Bulan menatap pemandangan itu lama. “Indah banget…” gumamnya pelan.
Liora ikut menatap tapi dengan versi lebih dramatis. “Gila, ini beneran Instagram paradise.”
Mobil berhenti di depan unit resort kayu berarsitektur modern minimalis. Bangunannya dua lantai, berdinding kaca besar dengan balkon yang langsung menghadap danau. Suara air dan semilir angin membuat tempat itu terasa seperti potongan kecil surga yang jatuh di bumi.
Begitu pintu terbuka, aroma pinus dan linen bersih memenuhi ruangan. Liora langsung menjatuhkan diri di sofa empuk, sementara Bulan membuka gorden besar di depan jendela.
Pemandangan luar membuatnya terpaku sejenak — cahaya matahari yang jatuh di atas permukaan danau, embun yang masih menempel di pucuk daun teh, dan angin yang mengibaskan tirai lembut.
“Kalau tiap pagi gue bisa bangun lihat ini, gue gak bakal stres kerja lagi,” kata Bulan, setengah berbisik.
Liora menoleh dari sofa. “Gue udah bilang kan, spontanitas itu selalu bener.”
Bulan hanya menggeleng sambil tersenyum. “Lo dan pikiran lo emang punya koneksi aneh.”
Mereka menaruh tas, istirahat sebentar, lalu hampir bersamaan berdiri lagi.
“Jalan-jalan dulu?” tanya Liora.
Bulan menatap ke luar. “Kapan lagi.”
“Yuk. Kamera, kacamata hitam, dan semangat healing 100% aktif!”
Bulan sudah mengambil tablet dan jaketnya ketika Liora tiba-tiba berseru, “Eh, Bul—lo tau gak resort ini punya siapa?”
Bulan berhenti di depan pintu, menoleh. “Siapa?”
Liora memutar badan dengan gaya dramatis, tangannya di pinggang. “Arjuno Group. Alias... Bhumi Jayendra.”
Bulan menatapnya sejenak, keningnya berkerut. “Yang bener?”
Liora mengangguk mantap. “Yup. Si CEO dingin yang dua kali ngajak makan siang lo itu. Ternyata resort ini salah satu asetnya.”
Bulan menghela napas, lalu tertawa kecil. “Astaga, ternyata takdir suka bercanda ya. Healing ke tempat kerja orang.”
Liora menepuk bahu sahabatnya sambil terkekeh. “Healing versi lo tuh emang gak jauh-jauh dari urusan karier atau cowok berjas.”
Bulan memutar mata. “Li, tolong. Gue di sini buat udara segar, bukan buat bicarain hubungan baru.”
“Terserah, tapi kalo tiba-tiba lo lihat dia nongol di tengah kebun teh—gue gak bakal kaget.”
Bulan menatap Liora geli, tapi dalam hati, entah kenapa, dada kecilnya terasa hangat — seolah takdir memang lagi main-main dengan rencananya sendiri.
Di luar, suasana resort begitu syahdu. Pepohonan tinggi berayun lembut diterpa angin, dan suara gemericik air dari danau menenangkan hati. Langit biru cerah memantulkan warna hijau kebun teh, menciptakan gradasi alam yang nyaris sempurna.
Dan seperti biasa, begitu kaki Liora menyentuh tanah, dunia langsung lebih hidup.
“Bulan! Cepet sini! Latar belakangnya bagus banget! Lihat, di sini ada spot kursi kayu!”
Bulan yang baru berjalan dua langkah hanya bisa tersenyum. “Lo mau healing atau jadi influencer, Li?”
“Dua-duanya, dong,” jawab Liora sambil menenteng kamera, pose seperti model majalah.
Klik. Klik. Klik.
Ia pindah dari satu spot ke spot lain — di samping pagar teh, di tepi danau, bahkan di bawah pohon pinus. Setiap angle dianggapnya karya seni. Sementara itu, Bulan berdiri agak jauh, membuka tablet kecil dari tasnya. Jemarinya bergerak cepat di layar, mencatat ide sistem digital untuk resort.
“Kalau sistem reservasi mereka bisa terhubung langsung ke guest data hospitality… hmm…”
Bulan menggumam, matanya fokus penuh, sambil sesekali menatap pemandangan yang membuat pikirannya terasa lebih jernih dari biasanya.
Liora mendekat pelan dari belakang, melihat sahabatnya yang serius sambil tersenyum geli.
“Bahkan di tengah kebun teh, otak lo masih mikirin sistem, Bul.”
Bulan mendongak. “Eh, ide gak datang dua kali, Li.”
“Ya ampun. Gue healing, lo debugging.”
Mereka tertawa. Angin pagi berhembus membawa tawa itu jauh ke tengah kebun.
**
tbc