Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.
Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.
"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"
"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
Sangkara terbangun ketika matahari sudah berada di atas kepalanya. Saat dirinya melirik ke sebelah, dokter Adit yang malam tadi tidur disana telah menghilang. Sepertinya dokter muda tersebut sudah meninggalkan rumahnya dan mungkin saja sudah berada di puskesmas.
“Dokter Adit…” lirih Sangkara.
Dia merasa ada yang aneh dengan dokter tersebut. Sesuatu yang tidak bisa di jelaskan dengan kata-kata namun dapat di rasakan dengan hatinya.
“Aaaah, bodo amat lah! Selagi dia gak ganggu dan usik apa yang aku lakukan, aku tidak akan mempedulikannya dan tidak akan jadi masalah,” seru Sangkara bicara sendiri.
Sangkara memutuskan untuk bangun. Dia ingin keluar rumah untuk melihat perkembangan mengenai apa yang terjadi dengan kepala desa dan istrinya. Tidak munafik, jika dirinya merasa sangat sakit hati dan marah dengan semua kata-kata yang keluar dari mulut istri pak kades. Andai dia tidak berpikir panjang, mungkin wanita paruh baya itu sudah merasakan apa yang di rasakan oleh keluarganya. Mati mengenaskan dengan beberapa tusukan yang menghantam tubuhnya.
Di saat berjalan menuju kamar mandi, tiba-tiba kaki Sangkara terhenti. Tiba-tiba sebuah bayangan terkelebat di otaknya. Dia teringat akan sesuatu kenangan bersama abahnya.
“Sawah…” lirih Sangkara.
Bayangan yang ada di otaknya memperlihatkan bagaimana dia berjalan berdua dengan abah menuju sawahnya. Dan kemudian abah menunjuk sebuah gundukan tanah yang berada tidak jauh dari gubuk.
“Ya! Aku yakin abah pernah menunjukkan tanah itu. Dia bilang ada sesuatu di balik tanah itu. Ada hal yang harus aku tahu setelah pulang dari negeri,” ujar Sangkara sangat yakin dengan bayangan-bayangan yang berkelebat di kepalanya.
Tanpa berpikir panjang, Sangkara keluar dari rumahnya. Niatnya ingin membersihkan diri atau sekedar mencuci muka, tidak lagi dia ingat. Yang ada di otaknya hanya ada sawah, gubuk dan gundukan tanah yang sepertinya menyimpan sesuatu yang berharga bagi abahnya.
Tiba di sawah, Sangkara memastikan lokasinya. Dia kembali berusaha mengingat. Setelah yakin, dia pun mencari alat yang bisa dia gunakan untuk menggali tanah.
“Kara! Kamu ngapain?”
Kara menoleh sekilas ke sumber suara. Dia melihat seorang laki-laki tua yang bertugas atau mengambil alih dalam menguurus sawah keluarganya.
“Gali tanah, mang. Emang saya lagi ngapain lagi?”
“Lah, itu mah tanah padat. Emang bisa kamu gali dengan kayu kayak gitu? Pakai ini aja, Kara!” ujar mang Dirman memberikan cangkul kepada Sangkara. “Untuk apa sih kamu gali tanah itu? Emang abah kamu nyimpan harta karun?”
“Sepertinya lebih dari harta karun, mang. Makanya saya gali! Siapa tahu saya bisa jadi kaya mendadak!” timpal Sangkara menerima cangkul yang di berikan mang Dirman. Walau tanpa peninggalan dari abahnya, Sangkara sudah kaya. Tapi, dia ingin tahu apa yang di sembunyikan oleh abahnya. Apakah memang berhubungan dengan apa yang di ceritakan oleh dokter Adit. Atau memang sesuatu yang biasa saja.
Cukup dalam Sangkara menggali, hingga cangkul yang dia gunakan menyentuh sesuatu yang keras. Dia menatap mang Dirman dan mang Dirman pun menatapnya.
“Biar mamang yang gali Sangakar! Sini!” seru mang Dirman merebut cangkul yang berada di tangannya. Dia menggali tanah di sekitar lobang yang di gali Sangkara. Sehingga apa yang ada di dalam sana bisa terlihat jelas dan tidak rusak oleh cangkul.
“Itu Kara! Ambiiil!!!” tunjuk mang Dirman pada sebuah kotak besi berukuran cukup besar.
Tanpa kesulitan lagi Sangkara mengambil kotak tersebut. Bibirnya tersenyum lebar, tidak lupa dia mengucapkan terimakasih kepada mang Dirman.
“Ah, akhirnya! Kamu ambil juga! Jadi, mamang tidak perlu setiap hari ke sawah kan?”
“Maksudnya, mang?”
“Abah mu pernah berpesan pada mamang, Kara. Jika sesuatu terjadi pada dirinya, maka mamang harus berjanji merawat sawah ini. Sampai kamu pulang dan ambil sesuatu dari sini. Dan sejak kematian abah kamu, mamang selalu merawat sawah ini. Jujur saja, mamang gak bisa kemana-mana. Untuk kunjungi anak mamang yang berada di kota pun, mamang tidak pernah lakukan!” jawab mang Dirman.
“Berarti mamang tahu kalau abah, emak dan Rara meninggal mengenaskan?”
“Sayangnya gak, Kara. Saat kejadian itu, mamang lagi ngantar anak mamang ke kota. Namun, pesan itu selalu abahmu katakan saat bertemu dengan mamang. Bahkan saat dalam mimpi pun, abah pun selalu berpesan hal yang sama! Mungkin apa yang ada di kotak besi itu sangat penting bagi abah kamu. Atau mungkin juga harta karun yang seperti kamu bilang tadi.”
Kepala Sangkara menggeleng tanda tidak tahu. Di depan mang Dirman, dia mencoba membuka kotak tersebut. Dia menggunakan pisau kecil yang ada dalam gubuk.
“Mang minjam!”
Tanpa menunggu jawaban mang Dirman, Sangkara sudah menggunakan pisau tersebut untuk membuka kotak tersebut. Walau susah dia tidak menyerah. Karena rasa penasaran dan rasa ingin tahunya mengalahkan segala kesulitannya.
“Yeees, berhasil!” serunya senang.
Ketika kotak itu berhasil di buka, mata Sangkara langsung tertuju pada dua buah foto keluarga yang di laminating. Yang pertama dia ambil, foto sebuah keluarga di mana salah satu anggota keluarganya sangat mirip dengan abahnya.
“Ini pasti keluarga abah!” gumam Sangkara. Lalu tangannya mengambil selembar foto lagi. Kali ini matanya melotot sempurna melihat foto tersebut. “Emaaaak…”
‘Jadi, ini arti perasaan aku tadi!’ batin Sangkara.
Setelah melihat dan memperhatian foto tersebut, Sangkara beralih ke semua yang ada di dalam kotak tersebut. Lagi-lagi dia menghela napas panjang. Apa yang di ceritakan oleh dokter Adit ternyata benar. Dan sedikit petunjuk mengenai kematian keluarganya telah dia temukan. Dia yakin, jika orangtua dan adeknya meninggal dikarenakan harta warisan yang di miliki abahnya dan juga surat-surat yang ada di dalam kota tersebut.
“Mang Dirman, boleh aku tanya sesuatu?”
Dahi mang Dirman mengernyit, dari sorot matanya terkandung sebuah ketakutan. “Tanya apa, Kara?”
“Apakah ada orang lain yang tahu alasan mang Dirman mengurus dan menjaga sawah abah?”
Kepala mang Dirman, “gak ada yang tahu. Heeem, kalau pak kades tahunya karena mamang punya hutang sama abah kamu. Selain itu gak ada yang tahu. Apalagi tentang itu!” tunjuk mang Dirman menunjuk kotak yang di pegang Sangkara.
“Mang Dirman masih tetap mau hidup kan?”
“Ya mau lah, Kara. Emang siapa yang mau mati cepat?”
“Ya udah, ikut aku ke rumah!” ajak Sangkara. Dia meminjam karung yang berisi rerumputan untuk makan sapi. Dia masukkan kotak tersebut ke dalam karung tersebut, agar tidak ada yang melihat dan tidak menarik perhatian bagi yang penasaran.
“Maaf, mang! Biar saya yang bawa. Kalau ada yang nanya, bilang aja mamang jatuh kepleset dan pinggang mamang sakit. Gak apa-apa kan mamang berbohong sedikit?”
“Tidak apa-apa atuh Kara!”
Sekali lagi, Sangkara mengucapkan terimakasih. Dia memimpin jalan menuju rumahnya. Dia ingin memberikan sesuatu kepada mang Dirman agar nyawa mang Dirman selamat.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
“Loh, ini apa Kara? Maaf, mamang gak bisa menerimanya!” seru mang Dirman mengembalikan apa yang di berikan Sangkara.
“Terima, mang! Kalau mamang masih mau hidup.”
“Maksud kamu?”
Sangkara menyebutkan alasannya memberikan banyak uang kepada mang Dirman.
“Kara, itu serius?”
“Apakah saya kelihatan bohong, mang?”
“Lah, terus amang harus kemana atuh?”
“Pergi jauh, mang! Kalau uang itu kurang, hubungi saya aja!”
“Sangakara… Aduuh, kenapa jadi seperti ini sih? Dadang – Dadang, kamu mah jebak saya!” sungut mang Dirman benar-benar takut dan gelisah.
Semangat untuk authornya... 💪💪