NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21 GARA-GARA ARASH

Hari-hari berlalu seperti itu—datar, melelahkan, dan penuh pertengkaran kecil yang bahkan Ava sendiri sudah tak bisa hitung jumlahnya. Dua minggu hidup satu atap dengan Arash terasa seperti dua bulan penuh ujian kesabaran. Setiap pagi dimulai dengan tatapan dingin dan makian, setiap sore berakhir dengan kalimat pendek yang nadanya seperti peringatan, dan setiap malam… ya, ia harus menahan diri agar tidak melempar sesuatu ke kepala Arash.

Namun Ava bertahan. Entah karena ia sudah terlanjur berada di sana, atau karena bagian dirinya menunggu sesuatu dari pria itu—sesuatu yang ia sendiri tak tahu apa.

“Jadi dia masih sering marah-marah? Bahkan setelah kau baik padanya?” Bella hampir tak percaya, alisnya terangkat tinggi seolah tak sanggup menerima kenyataan bahwa ada manusia dengan hati sedingin batu es Greenland.

Ava terkekeh hambar. “Setidaknya tadi dia tidak lagi marah karena aku menyentuh barangnya.” ujarnya, nada mengejek untuk dirinya sendiri maupun Arash.

Bella meraih tangan Ava, hangat dan kuat sekaligus. “Kau memang bodoh kalau soal menaklukkan hati pria… tapi aku yakin suatu saat dia luluh.”

Ava menghembuskan napas panjang. Ia menatap trotoar, melihat pantulan lampu jalan di aspal yang sedikit basah. “Aku tidak berharap dia luluh. Aku hanya ingin dihargai. Karena bukan cuma dia yang terpaksa dalam hubungan ini... aku juga.” ucapnya jujur.

Ada sedikit perih yang merayap di dadanya setiap kali ia mengingat bahwa pernikahan itu terjadi bukan karena cinta, bukan karena kedewasaan, tetapi karena impuls dan keputusan pendek yang menciptakan rantai konsekuensi panjang.

Mereka berdua terdiam. Angin malam menyapu rambut Ava dan Bella, membuat ujung jaket mereka berkibar pelan. Kota di sekitar mereka hidup, tetapi terasa jauh—bunyi mobil berlalu, lampu toko yang mulai padam, aroma roti dari kedai yang sudah tutup, semuanya melebur menjadi latar keheningan keduanya yang menunggu taksi.

Hingga suara raungan motor memecah udara. Bising, berat, seperti suara mesin yang sengaja dipacu keras. Ava dan Bella menoleh bersamaan, mata mereka menyipit menembus gelap. Motor itu mendekat, lampu depannya menyilaukan beberapa detik sebelum akhirnya berhenti tepat di depan mereka.

Helm hitam pekat, jaket gelap, posisi tubuh yang tegap—tidak memberi petunjuk jelas apakah pengendaranya pria atau wanita.

Keduanya saling pandang. Bella mengangkat satu alis, bertanya tanpa suara. Ava hanya menggeleng. Kemudian pengendara itu melepaskan helmnya. Rambut gelap tersibak angin, menampakkan wajah tampan yang terlalu familiar.

Bella langsung mematung lalu menyentuh lengan Ava cepat-cepat. “Ava… lihat!”

Ava menoleh. “Arash?” gumamnya, terkejut.

Pria itu menatapnya tanpa ekspresi, sorot matanya dingin tapi fokus, seperti seseorang yang datang untuk menjemput masalah, bukan istri.

“Ayo, pulang.” ucap Arash datar. Suaranya terdengar berat, jelas tidak berniat untuk berbasa-basi.

Bella yang tadinya siap ikut campur langsung mundur setengah langkah. “Ava, aku pulang duluan, ya. Bye!” serunya sembari melambai dan kabur secepat angin. Ia tidak mau berada di tengah ketegangan suami-istri itu.

“Eh… hati-hati!” balas Ava sambil melambaikan tangan.

Kini hanya ada mereka berdua. Ava memandang Arash dengan campuran bingung dan curiga. “Kenapa kau datang ke sini?” tanyanya, nadanya bukan marah, hanya… ingin mengerti.

“Mama menyuruh kita datang untuk makan malam bersama.” jawab Arash singkat, seolah menjelaskan hal paling sederhana di dunia.

“Oh.” Ava mengangguk pelan. “Kau pergi duluan saja, aku naik taksi.”

Arash menatapnya lama—tatapan yang bisa membuat orang lain merasa disindir tanpa kata. “Kau mau mereka tahu hubungan kita tidak normal?”

Ava memutar bola matanya dalam hati. Itu karena kau yang tidak normal… emosional, pemarah, keras kepala, batinnya.

“Aku tidak mau naik motor tanpa helm.” ucap Ava, mencoba mempertahankan nada tegas, padahal hatinya lebih kepada mencari alasan apa pun untuk menolak ajakan itu.

Tanpa diduga, Arash membuka boks samping motor dan mengeluarkan helm lain—hitam mengilap, seperti baru dibeli atau jarang tersentuh. Ava melotot, tidak percaya. Sejak kapan pria itu memikirkan hal semacam ini? Arash tidak berkata apa-apa, hanya menyerahkan salah satu helm itu kepadanya dengan ekspresi datar yang menyebalkan.

“Jangan banyak alasan, cepat naik!” perintah Arash sambil merapikan rambutnya secara refleks sebelum mengenakan kembali helmnya. Gerakan kecil itu membuat Ava sadar betapa tenangnya pria itu dalam situasi apa pun—bahkan ketika ia sendiri sedang gelisah setengah mati.

“Tunggu apa lagi? Ayo naik!” lanjut Arash, nada suaranya tidak meninggi, justru sangat stabil, seolah ini bukan permintaan melainkan instruksi.

Ava menelan ludah. Ia memegang helm itu beberapa detik, merasakannya dingin di ujung jari sebelum akhirnya ia memasangnya. Dengan langkah ragu, ia naik ke motor sport hitam yang terlihat mahal sekaligus mengintimidasi. Begitu duduk, jantungnya langsung berdetak lebih cepat, terasa seluruh tubuhnya menegang tanpa sebab yang jelas—apakah karena motor itu? Atau karena pria yang duduk tepat di depannya?

Ia belum sempat menarik napas ketika Arash secara tiba-tiba memasukkan gigi. Motor bergerak maju dalam satu hentakan halus namun mengejutkan. Ava tersedak napas dan refleks memeluk pinggang Arash, tubuhnya mendekap erat karena panik.

“Maaf…” Ava buru-buru menarik tubuhnya menjauh, pipinya memanas di balik helm.

“Kalau kau tidak mau jatuh, pegangan.” ucap Arash, suaranya terdengar berat dan teredam oleh bisingnya suara knalpot. Kata-katanya sederhana, tetapi intonasinya menunjukkan ia benar-benar tidak suka mengulangi dirinya.

“Apa?” Ava condong ke depan, mendekatkan kepala pada bahu Arash, berusaha mendengar di antara suara mesin yang meraung.

Arash mendadak memutar kunci, mematikan mesin. Suasana langsung berubah hening—hening yang janggal, seolah malam itu menahan napasnya. Helm Arash terbuka, dan ia menoleh ke belakang. Cahaya lampu jalan memantulkan bayangan lembut pada wajahnya.

Beberapa detik itu terasa lebih panjang dari seharusnya. Arash terdiam ketika melihat Ava memiringkan kepalanya, mencoba mencari suara. Lewat visor helmnya, mata mereka bertemu. Ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan—kesan lembut, bingung, dan… terlalu dekat.

Ava mengangkat kedua alisnya. “Kau bilang apa?”

Arash balik menarik dirinya dari trance itu. “Kalau kau tidak mau jatuh, pegangan.” ulangnya dengan cepat, kembali menutup kaca helm. Suaranya sedikit lebih pendek, seolah ingin menghapus momen kecil yang tadi terjadi.

Ava menelan gugupnya. Ia mengangkat tangan perlahan dan meletakkannya di pundak Arash, mencengkeram kain jaketnya seperti pegangan darurat.

Arash menggeleng, gerakan kecil yang menunjukkan ketidaksabarannya. Ia meraih kedua tangan Ava, hangat telapaknya terasa meski lewat sarung tangan, lalu meletakkannya di pinggangnya sendiri. Lebih dekat, lebih erat.

Ava membeku sesaat. Sentuhan itu terjadi begitu cepat, namun cukup membuat jantungnya kembali memburuk—bukan karena takut jatuh, tetapi karena ia bisa merasakan detak halus dari tubuh pria itu.

Meskipun terlihat risih, Arash membiarkan tangan itu tetap di sana. Bukan karena ia ingin… tetapi karena sesuatu dalam dirinya menolak membiarkan Ava terluka. Dan ia tahu—kalau ada apa-apa dengan Ava, mama dan papanya akan menjadi badai yang bahkan ia sendiri tidak ingin hadapi.

“Pegangan yang benar.” suaranya terdengar samar dari balik helm. Lalu mesin kembali hidup. Dan mereka pun pergi menuju kediaman Alder.

...----------------...

Malam yang semula tenang seketika pecah oleh raungan motor yang memasuki halaman rumah keluarga Margaret. Suara mesin itu menggema di antara dinding-dinding batu, memantul seperti dentuman yang memecah keheningan. Bahkan sebelum motor benar-benar berhenti, Ava sudah melepas pegangan dan turun terburu-buru. Kakinya nyaris terpeleset karena ia tidak melihat pijakan, napasnya kacau, wajahnya pucat.

Helm ia lepaskan begitu saja ke tanah menimbulkan suara gedebuk pelan sebelum ia menutup mulutnya dengan panik dan langsung berlari menuju pintu masuk.

Esther, yang baru saja melangkah untuk menyambutnya, hanya bisa terpaku ketika Ava melewatinya tanpa menoleh. “K—kenapa kak Ava?” gumamnya, heran sekaligus bingung melihat kakak iparnya melintas dengan langkah terhuyung.

Arash datang menyusul beberapa detik kemudian. Cahaya lampu teras jatuh pada wajahnya—dingin, nyaris tanpa ekspresi, namun ada kegelisahan samar yang sulit disembunyikan. Esther hampir membuka mulut untuk bertanya, tetapi sebelum itu terjadi, Mama Margaret muncul dengan langkah terburu, raut wajah penuh kecemasan.

“Kenapa dengan Ava?” tanya Mama Margaret, menatap ke arah lorong tempat Ava menghilang.

Esther menggeleng. “Entahlah, Mama. Esther tidak tahu. Tanya saja kak Arash.” Ia menunjuk pria itu yang baru turun dari motor, helm masih di tangannya.

“Arash—”

“Arash tidak tahu, Ma. Dia tiba-tiba begitu.” potong Arash cepat, nada suaranya tenang, seolah tidak acuh. Padahal ia tahu persis penyebabnya—dan itu adalah dirinya sendiri.

Ava tidak siap dengan cara berkendaranya. Kecepatan tinggi, manuver mendadak, tikungan tajam—baginya itu adalah hal biasa. Bagi Ava… jelas bukan.

Mama Margaret langsung bergegas menyusul ke kamar mandi, langkahnya tergesa dan sarung kakinya sampai terseret. Esther pun mengikuti dari belakang. Keduanya sontak terbelalak ketika mendengar suara muntah dari dalam. Tanpa pikir panjang, mereka masuk—kebetulan pintunya tidak terkunci.

“Ava, sayang, kau kenapa?” Mama Margaret berjongkok dan menyentuh pundak menantunya. Suaranya lembut, namun dipenuhi kekhawatiran yang nyata.

Ava tidak bisa menjawab. Seluruh fokus tubuhnya masih tertahan di perut yang mual hebat. Pundaknya naik-turun secara tidak teratur, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia menggenggam tepi wastafel erat-erat seakan itu satu-satunya pegangan supaya ia tidak jatuh pingsan.

“Sayang, cepat panggil Bibi untuk ambilkan air hangat!” perintah Mama Margaret. Esther mengangguk cepat dan berlari keluar.

Beberapa menit kemudian, setelah seluruh isi perutnya keluar, Ava akhirnya mengangkat tubuhnya perlahan. Tangannya bergetar saat ia membilas mulutnya. Wajahnya masih redup, garis rahang tegang karena efek mual yang belum sepenuhnya hilang.

Esther kembali sambil membawa segelas air hangat. “Mama, ini airnya.”

Mama Margaret menerima gelas itu dan mengangsurkannya kepada Ava. “Minum ini dulu, sayang.” Tangan yang satu mengelus rambut Ava dengan gerakan keibuan yang lembut, seakan mencoba menenangkan tubuh yang masih gemetar itu.

Ava mengambil gelas dengan tangan dingin. Baru dua teguk air masuk ke kerongkongan, Mama Margaret mendadak berkata dengan suara yang pelan namun berbunga-bunga:

“Ava… jangan-jangan kau sedang mengandung cucu Mama.”

Ava langsung tersedak keras. Air hangat itu memercik ke hidungnya, membuatnya memejamkan mata sambil mengibaskan tangan ke udara. Parfum lembut Mama Margaret bercampur aroma sabun kamar mandi seolah menutup ruang geraknya.

“Ava, sayang, kau tidak apa-apa?” Mama Margaret memiringkan tubuh Ava, khawatir kalau ia sampai jatuh.

“Hamil? Ini bukan hamil…” Ava membatin kesal dan frustasi. Aku mual karena anak itu membawa motor seperti orang yang sudah bosan untuk hidup. Ia bahkan masih bisa merasakan angin malam yang menampar wajahnya, suara mesin yang meraung, dan bagaimana ia tak berani membuka mata sepanjang perjalanan.

Ia memeluk Arash begitu erat sampai bahunya pegal—dan itu pun tidak membuat pria itu memperlambat laju motor.

Ava menelan napas dan mencoba bersuara. “I-itu tidak mungkin, Ma. Lagipula… Ava sekarang sedang datang bulan.”

Mama Margaret berhenti. Esther pun membeku. Keduanya saling menatap—rasa antusias yang barusan muncul langsung meredup seperti lilin yang hampir padam.

“Begitu, ya…” suara Mama Margaret melembut, namun terselip kecewa yang sangat kentara.

Ia berdiri sambil menepuk pelan bahu Ava. “Kalau begitu… kita makan malam sekarang, ya. Jangan dipaksakan kalau masih tidak enak badan.”

Mama Margaret tersenyum kecil, menyembunyikan harapannya yang menguap begitu cepat. Dan Ava hanya bisa mengangguk pelan—masih merasa mual, masih merasa kesal… dan masih merasa ingin memukul Arash karena hampir membuatnya mati di jalan.

.

.

.

.

.

.

.

📌Jangan lupa like dan komen 😉

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!