"Kamu harus ingat ya, Maira, posisi kamu di rumah ini nggak lebih dari seorang pengasuh. Kamu nggak punya hak buat merubah apa pun di rumah ini!"
Sebuah kalimat yang membuat hati seorang Maira hancur berkeping-keping. Ucapan Arka seperti agar Maira tahu posisinya. Ia bukan istri yang diinginkan. Ia hanya istri yang dibutuhkan untuk merawat putrinya yang telah kehilangan ibu sejak lahir.
Tidak ada cinta untuknya di hati Arka untuk Maira. Semua hubungan ini hanya transaksional. Ia menikah karena ia butuh uang, dan Arka memberikan itu.
Akankah selamanya pernikahan transaksional ini bejalan sedingin ini, ataukah akan ada cinta seiring waktu berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon annin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 14 Tamu Menyebalkan
"Lo liat Edo, nggak?"
"Enggak, mungkin nongkrong ama gengnya di kantin," jawab seorang cowok, yang merupakan mahasiswa fakultas ekonomi, yang notabene satu fakultas dengan Edo—pacar Syafa.
"Thank's, ya." Syafa setengah berlari menuju kantin. Ia harus segera bertemu dengan kekasihnya itu.
Sampai di tempat makan tersebut Syafa segera mengedarkan pandang. Mencari pria yang sudah membuatnya dalam masalah besar.
Pandangannya tertuju pada lima orang yang sedang duduk santai di bangku kayu di ujung tempat. Kelima orang itu nampak sedang bersenda gurau. Sampai Syafa datang dan membuat tawa mereka semua berhenti seketika.
"Hai," sapa Syafa pada kelima teman Edo.
Kelima pria itu hanya menjawab malas. Pasalnya sejak berpacaran dengan wanita ini, Edo bukan lagi teman yang asik untuk diajak nongkrong. Ada saja alasannya. Dan semua alasan itu pasti soal Syafa.
"Kalian liat Edo, nggak?"
Kelima pria itu saling pandang. Seolah bertanya satu sama lain.
"Enggak. Edo udah seminggu nggak ngampus," jawab salah seorang yang bernama Jodi.
"Seminggu?" tanya Syafa heran. Bagaimana mungkin Edo nggak ke kampus seminggu, orang setiap hari Edo menjemputnya untuk berangkat bareng ke kampus.
Memang sih pulangnya tidak bersama, karena Edo selalu ada alasan. Entah lagi banyak tugas sama teman, atau memang jadwal kuliah pulang yang nggak sama. Dan Syafa memaklumi hal itu. Baginya dijemput saja sudah membuatnya diperhatikan.
Semua mengangguk.
"Bukannya dia lagi sibuk ngurusin pernikahan kakak lo?" tanya yang lain. Namanya Toni.
"Pernikahan? Kakak gue?" Syafa makin heran.
Toni mengangguk. "Iya, dia bilangnya gitu ke kita. Minta tolong buat ijin ke dosen kalau dia lagi ada acara, bantuin lo ngurus nikahan kakak lo."
Syafa mulai merasa semakin aneh. Dan kecurigaan mulai muncul dalam benaknya.
Bagaimana mungkin Edo membantu dia mengurus pernikahan kakaknya, sementara kakaknya saja sudah menikah tiga bulan lalu. Terus, buat apa juga Edo mengurus pernikahan kakaknya, sementara dia belum pernah memperkenalkan Edo pada Ibu ataupun kakaknya.
Tak mau lebih lama lagi di tempat ini karena tak ada hasil, Syafa berlalu pergi begitu saja. Tanpa terima kasih atau pamit pada teman-teman Edo.
Ia sampai di depan fakultas ekonomi. Mengambil ponsel dari dalam tas dan mencoba menghubungi Edo.
Syafa kesal karena ponsel Edo tidak aktif. "Ke mana sih, lo, Do?" gumam Syafa.
Ia mulai berpikir untuk mencari Edo ke kosan. Ia harus menemukan Edo. Meminta pria itu untuk segera bertanggung jawab.
Syafa tidak mau lebih lama lagi tidak diajak bicara oleh ibunya. Tiga bulan, itu waktu yang sangat lama. Ia rindu ibunya yang dulu, tapi semua hancur karena perbuatan dirinya dan Edo.
Dengan menggunakan ojek, Syafa menuju kosan Edo.
*****
Maira tak bisa berbuat apa pun pada ibu mertua Arka ini meski ia sangat kesal. Sejak datang, wanita tua ini bersikap seolah dia adalah pemilik rumah. Mengatur dan memerintah seenaknya.
Maira tahu Arka tak menganggapnya istri, tapi bukan berarti orang lain juga boleh menganggapnya hanya pengasuh, kan.
"Kamu, sebenarnya kamu itu bisa kerja nggak, sih. Siapin makanan buat Zara aja lelet banget!" ujar Sinta menunjuk Maira.
"Ma, jangan kayak gitu. Dia itu istrinya Kak Arka. Bukan pengasuhnya." Shela mencoba mengingatkan ibunya.
"Biar aja, biar dia tahu tugasnya sebagai istri Arka itu ya ngurus Zara!" jawab Santi dengan keras agar Maira mendengar.
"Ma, udah dong. Ini rumah orang jangan bikin ribut lah." Jujur Shela sejak awal menolak diajak bertamu ke rumah kakak iparnya ini, sebab pasti mamanya akan cari banyak masalah.
"Ini bukan rumah orang lain. Ini rumah anak Mama. Ini rumah Raswa. Kamu jangan lupa itu. Arka memberikan rumah ini sebagai hadiah pernikahan. Rumah ini bahkan atas nama Raswa. Sekarang Raswa sudah nggak ada, sebagai keluarga Raswa, kita lebih berhak dari siapa pun, termasuk dari istri baru Arka."
"Ma, udah!" Shela memotong ucapan Santi agar ibunya itu berhenti bicara, karena pasti akan membuat istri baru Arka sakit hati.
"Kak, maaf, ya. Mama emang lagi nggak stabil emosinya," ujar Shela menatap Maira.
"Shela, apa maksud omongan kamu. Emosi Mama nggak stabil, kamu pikir Mama punya gangguan jiwa?" Santi bertambah marah. Tak terima dengan ucapan anaknya sendiri.
"Bukan gitu, Ma. Tapi Mama udah kelewatan."
"Mana ada Mama kelewatan. Mama ini benar, Mama cuma mau orang ini tahu siapa pemilik sebenarnya rumah ini. Biar dia nggak merasa ____"
"Ayo Zara, sudah waktunya tidur siang." Maira tak mau menanggapi apa pun tentang ucapan ibu mertua suaminya ini. Ia lebih memilih untuk menyelamatkan Zara dari ucapan-ucapan yang tak patut didengar oleh anak itu.
"Mbak, Mbak Iis," panggil Maira.
"Iya, Bu."
"Mbak, tolong tamunya disuruh pulang, ya. Ini udah jam tidur siang Zara. Ayo Sayang." Maira menggendong Zara dan pergi meninggalkan Santi juga Shela begitu saja.
"Heh, apa maksud kamu? Kamu ngusir kita, gitu?" teriak Santi tak terima.
"Kamu pikir kamu siapa, hah?" Santi benar-benar marah oleh sikap Maira.
"Lihat saja, ya, aku akan telepon Arka dan bilang kalau kamu udah kurang ajar sama ibu mertuanya. Aku yakin Arka pasti akan marah dengar semua ini." Santi mengeluarkan ponselnya. Menekan nomor sang menantu.
Meski diancam demikian, Maira tak takut sama sekali. Ia terus melangkah menuju kamar Zara.
Mbak Iis yang mendapat tugas untuk menyuruh tamu pulang, malah bingung sendiri.
"Lihat apa, kamu?" sentak Santi saat Mbak Iis menatapnya. Ia tak jadi menelepon Arka.
"Kamu mau kurang ajar juga, iya? Biar kamu dipecat!" ancaman untuk Maira tak mempan, kini ia lampiaskan pada pembantu.
"Eng-enggak, Bu. Saya nggak berani." Iis memilih kabur. Ia tidak mau berurusan dengan orang kaya, karena pasti akan repot. Lebih baik ia cari aman, sebab ia masih butuh pekerjaan.
"Ma, udah, ayo pulang." Kali ini Shela menarik tangan Santi.
"Lepasin, Shel. Mama masih mau buat perhitungan sama istri Arka itu. Biar dia tahu siapa sebenarnya yang berhak ada di rumah ini."
"Itu nggak penting lagi, Ma. Sekarang istri Kak Arka itu ya, Maira. Jangan bikin masalah deh. Udah, ayo pulang." Sekuat tenaga Shela menarik ibunya hingga keluar dari rumah kakak iparnya.
Di kamar, Maira sudah berhasil menidurkan Zara. Ia mulai memikirkan apa yang tadi Santi katakan. Bagaimana jika Arka benar-benar marah karena sikapnya tadi pada ibu mertua suaminya itu. Apa yang harus Maira katakan untuk membela diri?