NovelToon NovelToon
Under The Same Sky

Under The Same Sky

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Playboy / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Model / Mantan / Orang Disabilitas
Popularitas:667
Nilai: 5
Nama Author: CHRESTEA

Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.

Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tidak ingin berpisah

Luna sedang menggantung cucian di belakang rumah, sementara Orion duduk di teras, memperhatikan diam-diam.

“Aku nggak nyangka kamu bisa betah di sini,” kata Luna dari jauh.

“Kenapa? Kamu pikir aku nggak bisa hidup tanpa tempat mewah?”

“Bukan. Aku cuma pikir kamu bakal bosan.”

Orion tertawa kecil. “Aku nggak butuh tempat besar. Aku cuma butuh tempat di mana aku bisa tenang.”

“Dan kamu tenang di sini?”

Orion mengangguk. “Tentu saja, bahkan lebih dari tenang, disini hangat, terasa memang seperti rumah."

Luna tersenyum, tapi dalam hati dia sedikit takut.

Beberapa blok dari rumah kecil itu, di seberang jalan, sebuah mobil hitam berhenti di antara bayangan pepohonan. Jendela mobil terbuka sedikit, dan dari sana, lensa kamera panjang menyorot ke arah rumah mereka.

Suara klik terdengar berulang kali.

Satu… dua… tiga…

Gambar demi gambar tertangkap jelas:

Luna sedang tertawa di dapur. Orion memegang pundaknya dari belakang. Mereka menonton film di sofa kecil. Saling tersenyum. Sebuah foto terakhir memperlihatkan keduanya di jendela kamar berdua, tampak begitu dekat, begitu pribadi.

Sosok di dalam mobil menurunkan kameranya, tersenyum kecil, lalu menatap layar.

“Perfect,” gumamnya.

Dia menyalakan mesin mobil, lalu menekan tombol kirim di ponselnya. Foto-foto itu terkirim ke sebuah alamat email tanpa nama.

Di layar ponsel muncul balasan otomatis:

From: S.MediaProject@confidential.net

Message: Good job. Publish secepatnya.

Di rumah kecil itu, Luna dan Orion masih tidak tahu apa pun. Mereka hanya tahu bahwa hari itu berakhir dengan tawa, hangat dan rasa damai yang jarang mereka punya.

Mereka tidak tahu, bahwa mulai malam itu, dunia luar kembali menatap mereka.

Mereka berdua kembali kedalam rumah, Luna menyiapkan sarapan, sementara Orion duduk di kursi dekat jendela, membaca berita di ponsel.

“Ada yang aneh,” gumamnya tiba-tiba.

Luna menoleh sambil menata piring. “Apa?”

Orion tidak menjawab. Dia menatap layar ponselnya lama, ekspresinya berubah tegang.

Luna berjalan mendekat. “Kenapa, Rion?”

Orion menyerahkan ponselnya pelan.

Di layar, muncul halaman berita dengan judul besar:

“Skandal Baru Luna Carter: Bersama Mantan Pembalap Orion Delvano di New York.”

Tangan Luna refleks gemetar.

Di bawah judul itu, terpampang serangkaian foto mereka berdua di rumah kecil itu.

Tertawa di dapur. Menonton film bersama.

Dan satu foto yang paling mematikan,mereka berdua di jendela kamar, terlihat sangatdekat.

“Tidak…” Luna berbisik lirih, suaranya bergetar. “Itu… itu privasi kita.”

Orion menatap layar itu dengan rahang mengeras. Dia tahu persis apa arti ini.

Dan yang lebih buruk, dia tahu siapa yang mungkin ada di balik semua ini.

Selene.

“Rion…” Luna mulai panik, suaranya gemetar. “Aku—aku nggak bisa lagi…”

Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Air mata jatuh begitu saja, bukan hanya karena takut, tapi karena kenyataan bahwa mimpi kecil mereka untuk hidup tenang kini hancur lagi tepat di depan mata.

Orion bangkit dari kursinya, menahan rasa nyeri di kaki kirinya. Dia mendekati Luna, lalu duduk di depannya, memegang bahunya dengan hati-hati.

“Lihat aku,” katanya pelan.

Tapi Luna tidak berani mengangkat wajah.

“Luna…” suaranya lebih lembut. “Kita nggak salah. Dengar aku,kita nggak salah.”

“Tapi dunia nggak peduli siapa yang salah!” bentak Luna akhirnya, suaranya pecah di ujung tangis.

“Mereka cuma butuh berita, dan aku,aku cuma bahan gosip lagi, Rion!”

Orion tidak membalas. Dia hanya menarik Luna ke dalam pelukannya, memeluknya erat.

Dadanya terasa sesak saat mendengar isak gadis itu di bahunya. Tapi di antara kekacauan itu, tekad di matanya perlahan mengeras.

“Kali ini,” katanya pelan, “aku nggak akan biarkan mereka ngambil apa pun dari kamu lagi.”

Beberapa jam kemudian, telepon Damian berdering di tengah rapat di Jakarta.

Begitu melihat nama Luna di layar, ia langsung keluar dari ruangan.

“Luna? Ada apa?”

Suara Luna di seberang sana parau. “Kak Dami, mereka… mereka nyebarin foto kami.”

Damian membeku. “Foto apa maksudmu?”

“Foto aku sama Rion. Di rumah. Semuanya, Kak…”

Damian menatap kosong ke depan.

Di pikirannya, satu nama langsung muncul — Selene.

“Dengar aku, Luna,” katanya pelan tapi tegas. “Kamu jangan ke mana-mana dulu. Aku akan cari tahu siapa yang di balik ini.”

“Aku takut, Kak,” suara Luna nyaris bergetar.

“Kalau Papa lihat berita ini…”

Damian terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang.

“Aku tahu, tapi kamu nggak sendiri kali ini. Dengar, ya? Kamu nggak sendiri.”

Setelah sambungan ditutup, Damian langsung menghubungi seseorang.

“Rafa, tolong cari tahu siapa yang pertama kali nyebarin artikel soal Luna Carter dan Orion Delvano. Aku mau tahu nama medianya, redakturnya, dan siapa yang kirim foto itu.”

“Siap, Dok.”

Damian menatap layar ponselnya lama.

Matanya dingin, bukan karena marah—tapi karena kecewa.

Semuanya mulai jelas sekarang.

Selene sudah bergerak terlalu jauh.

Di New York, hari terasa berjalan lebih lambat dari biasanya.

Rumah kecil itu kini terasa asing.

Luna duduk di kursi, menatap kosong ponselnya yang terus berbunyi notifikasi.

Puluhan pesan masuk: wartawan, manajer lamanya, bahkan beberapa haters yang kembali muncul dari masa lalu.

Orion keluar dari kamarnya, berjalan pelan menghampiri. “Kamu udah makan?”

Luna menggeleng. “Aku nggak lapar.”

“Luna…” suaranya lembut, nyaris seperti bisikan. “Jangan biarkan mereka menang. Kamu pernah jatuh, tapi kamu juga pernah bangkit. Jangan biarkan mereka hancurin kamu lagi.”

Luna menatapnya, matanya merah. “Tapi kali ini, kamu ikut kena.”

Orion tersenyum kecil. “Kalau itu harga yang harus kubayar buat lindungin kamu, aku terima.”

Luna menunduk, suaranya gemetar. “Kenapa kamu baik banget, Rion…”

“Karena kamu satu-satunya orang yang bikin aku pengen sembuh.”

Hening.

Tapi hening itu bukan kosong.

Ada sesuatu di sana—janji tanpa kata, perlindungan tanpa syarat.

Beberapa hari kemudian, berita itu masih memenuhi media.

Foto mereka jadi topik di acara talkshow, headline di majalah gosip, dan trending di media sosial.

Tapi di balik layar, seseorang sedang memperhatikan semuanya dengan tatapan puas.

Selene.

Ia menatap layar laptopnya yang menampilkan berita itu, lalu tersenyum tipis.

“Kamu kira kamu bisa nyembunyiin dia dariku, Luna Carter?”

“Kamu cuma mempercepat permainan.”

Ia menutup laptopnya pelan, lalu berdiri, menatap bayangannya di cermin.

“Sekarang… giliran aku yang nentuin siapa yang pantas berdiri di sisinya.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!