NovelToon NovelToon
Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Romansa Fantasi / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:704
Nilai: 5
Nama Author: Sibewok

Di balik ketegasan seorang Panglima perang bermata Elysight, mata yang mampu membaca aura dan menyingkap kebenaran, tersimpan ambisi yang tak dapat dibendung.

Dialah Panglima kejam yang ditakuti Empat Wilayah. Zevh Obscura. Pemilik Wilayah Timur Kerajaan Noctis.

Namun takdir mempertemukannya dengan seorang gadis berambut emas, calon istri musuhnya, gadis penunggu Sungai Oxair, pemilik pusaran air kehidupan 4 wilayah yang mampu menyembuhkan sekaligus menghancurkan.
Bagi rakyat, ia adalah cahaya yang menenangkan.
Bagi sang panglima, ia adalah tawanan paling berbahaya dan paling istimewa.

Di antara kekuasaan, pengkhianatan, dan aliran takdir, siapakah yang akan tunduk lebih dulu. Sang panglima yang haus kendali, atau gadis air yang hatinya mengalir bebas seperti sungai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sibewok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14 - Mata Tajam Elysight Zevh

Kuda putih Zevh berlari menembus hutan, menyeberangi perbukitan, hingga menembus desa-desa kecil. Malam makin pekat, obor-obor pengawal berderet mengikuti laju sang panglima.

Hingga akhirnya langkah kuda melambat. Derap berat tapal kaki berhenti di depan kediaman bangsawan Elowen, rumah besar dengan halaman luas, tampak tenang dari luar, namun penuh kegelisahan di dalam.

“Panglima Zevh telah tiba.”

Laporan pengawal membuat Tuan Edric Elowen berdiri dari kursinya. Ia menahan napas, lalu melangkah menyambut tamu paling berkuasa sekaligus paling berbahaya di kerajaan itu.

Zevh Obscura masuk, tinggi, berzirah gelap yang masih berkilat meski berdebu perjalanan. Matanya. Mata Elysight, menyapu ruangan, membaca lebih banyak dari sekadar wajah dan kata.

“Pangeran Arons datang ke rumahmu,” suara Zevh rendah, namun setiap suku katanya membawa ancaman. “Mengapa?”

Edric menunduk sedikit, lalu menjawab dengan tenang, “Hanya soal tanah perbatasan di utara. Kami menolak melepasnya. Tak ada urusan lain.”

Zevh menatapnya dalam. Aura Edric terpancar jelas, hangat, tenang, namun terselubung. Ada ketakutan yang ditekan, kebohongan yang dibungkus perlindungan, kecemasan yang dipendam demi sesuatu yang lebih berharga.

“Kau berbohong dengan baik, Tuan Edric.” Suara Zevh menusuk, dingin.

Istri Edric yang duduk di sampingnya menegang, namun matanya memancarkan cahaya yang sangat dikenali Zevh. Aura itu… mirip. Begitu mirip dengan Elara. Dan seketika ia teringat bagaimana Axten, kudanya, membawa aroma aura serupa saat terakhir disentuh oleh gadis itu.

Zevh menahan desah napas, lalu…

Brak!

Pedangnya membelah meja kecil di sudut ruangan. Suara kayu pecah menggelegar, membuat pelayan menjerit dan dua pengawal Tuan Edric jatuh berlutut ketakutan.

Ketegangan menyesak udara. Tapi Edric Elowen masih duduk tegak. Aura hangat itu tetap menyala, meski rasa takut jelas menempel di pori-porinya.

Zevh akhirnya berbalik. “Lindungi keluarga bangsawan Elowen,” ucapnya pada ajudan. “Perketat pengawalan. Siapa pun yang mendekat ke perbatasan utara... Lenyapkan.”

Ia melangkah keluar. Dan di halaman, ketegangan berubah jadi pembantaian singkat. Pedang Zevh berkelebat, menebas para pengawal rahasia Arons yang menyelinap. Jeritan pecah malam itu, darah membasahi tanah.

“Panglima…” ajudannya tercekat melihat keganasan itu. Namun ia tahu, ini bukan amukan membabi-buta. Zevh hanya menebas mereka yang aura-nya terbaca sebagai lawan. Mata Elysight tak pernah keliru.

Di dalam rumah, Edric menatap istrinya. “Panglima tidak bisa ditipu,” gumamnya lirih.

Melihat kekacauan di kediamannya, Istrinya Tuan Edric gelisah, "Lalu bagaimana nasib kita?” suara istrinya bergetar.

“Kita dalam kuasa Zevh.” Edric mengepalkan tangan. “Tapi Elara… semoga dia tidak jatuh ke tangan pria seperti dia. Terlalu gelap… terlalu berbahaya untuk putri kita.”

Kilau cahaya samar menyala di bahu istrinya. Simbol pusaran air itu bergetar lembut, menandakan Elara masih hidup, masih berjuang. Sang ibu mengangguk, memeluk suaminya erat, berusaha menenangkan diri.

Di luar, Zevh berdiri tegap, menatap para pengawal yang membereskan mayat. Tatapannya beralih pada tanah, pada hawa yang mengalir dari arah Desa Osca.

Bagi Zevh, tanah itu terasa… menolak dirinya. Seperti ada kekuatan yang berbeda, liar, dan menyembunyikan rahasia besar.

“Kenapa tanah Osca terasa menolak langkahku…” bisiknya pelan. “Desa ini milikku. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyentuhnya.”

Ia menatap langit malam, dingin, penuh kecurigaan. “Keluarga Elowen… apa kalian kunci dari semua kekacauan ini?”

Zevh menaiki kudanya. Bayangan hitamnya larut bersama malam. Namun mata Elysight-nya masih menyala, kini ada dua cahaya berbeda saling mendekat. Di kediaman Tuan Edric, Aura biru pusaran air yang lembut bergetar di bahu Istrinya Tuan Edric… dan tatapan emas Elysight yang tak kenal belas kasihan pun berkilat nyala berwarna merah.

Derap langkah kuda Zevh pun menghentak tanah desa Osca. Suara berat derapan itu bergema, memecah kesunyian hutan, meninggalkan kediaman Elowen, suara hentakan sang kuda seakan memberi peringatan kepada siapapun bahwa sang Panglima sedang berkeliling, mengawasi, dan mencari kebenaran lain yang mungkin tersembunyi malam ini.

Dan jauh di sana, di dalam istana, jauh dari suara kuda yang menggelegar, Elara bersandar pada dinding batu yang dingin di ruang tahanannya. Cahaya obor yang redup menari di sela jeruji besi, menciptakan bayangan panjang yang menegaskan kesendiriannya.

“Sudah lama sekali sejak panglima itu pergi…” gumamnya lirih. Jemarinya menyentuh bahu, tempat simbol samar bergetar lembut, seolah menghubungkannya pada sesuatu yang jauh di luar ruangan itu.

“Ibu… aku baik-baik saja. Desa Osca juga masih aman.” Bibirnya melengkung tipis, tersenyum kecil di tengah getirnya keadaan. Namun senyum itu segera memudar.

“Tapi… kabar ini belum cukup untukku,” ucapnya lagi, tatapannya kosong ke arah langit-langit ruangan.

Tiba-tiba.

.

.

.

kling!

Suara pintu besi berderit, mengiris kesunyian. Elara terkejut, lalu cepat-cepat merebahkan diri, pura-pura tertidur. Jantungnya berdetak lebih cepat saat langkah lembut mendekat.

“Dia… tawanan bandit yang panglima bawa?” Suara seorang wanita terdengar lembut, namun berwibawa.

Elara berusaha mengatur napasnya agar tetap teratur, pura-pura lelap. Namun telinganya awas, menunggu setiap kata yang terucap.

“Betul sekali, Putri. Ia tawanan sang panglima,” jawab seorang pengawal dengan nada penuh hormat.

“Kenapa dia diistimewakan?” nada sang wanita terdengar tajam, namun tertahan.

“Panglima lebih berhak menjawab pertanyaan sang Putri,” jawab pengawal cepat, jelas tak berani berspekulasi lebih jauh tentang tuannya sendiri.

Hening sejenak, hanya terdengar helaan napas. Lalu wanita itu berbalik, suara langkahnya perlahan menjauh, meninggalkan ruang tahanan bersama keheningan yang lebih pekat dari sebelumnya.

Elara membuka matanya perlahan, menatap langit-langit batu. Bibirnya bergetar saat sebuah kata lolos lirih.

“Putri…”

Matanya meredup. “Jadi… panglima sudah menikah…” gumamnya, suaranya penuh kebimbangan. Bukan cemburu yang terasa, hanya sebuah hampa yang sulit ia artikan.

Ia menarik napas dalam, mencoba menepis segala rasa. Yang jelas. Ia masih membenci panglima itu. Sombong. Angkuh.

Namun, di balik kebencian itu, ada sesuatu yang tak bisa dipungkiri. Malam ini, hanya dengan mengingat Zevh, ia merasa sedikit tenang. Karena jika keluarga Elara di desa Osca masih baik-baik saja, ia tahu, itu tak lepas dari tangan sang panglima.

Elara berakhir tertidur dalam letih. Namun, dalam tidurnya, bayangan mimpi menyeruak begitu nyata.

Ia berdiri di tepi sungai Oxair, sungai yang selama ini menghidupi desa Osca dengan airnya yang jernih. Namun kini, arusnya berubah buas, meluap liar ke segala arah. Utara, Barat, Selatan, dan Timur. Air hitam pekat itu meluluhlantakkan ladang, rumah, bahkan jalan-jalan berbatu yang menghubungkan desa-desa.

Elara menjerit, berusaha menggapai tangan ibunya di kejauhan, tapi tubuhnya seolah terikat oleh bayangan gelap yang tak bisa ia lepaskan. Sungai Oxair itu membawa suara raungan, bukan lagi gemericik kehidupan.

Di seberang sana, samar-samar terlihat bayangan seorang pria berzirah, berdiri kokoh di atas batu besar di tengah arus. Pedangnya menancap ke tanah, matanya menyala, menatap Elara dengan dingin. Sosok itu...

Zevh Obscura.

Namun, ketika Elara mencoba berlari, bayangan Zevh berubah, pecah menjadi empat bayangan besar yang menyebar ke empat penjuru mata angin, seolah menjadi penguasa tunggal dari setiap wilayah yang airnya kini ditelan Oxair.

Air deras itu lalu mengalir ke arah Osca, namun anehnya berhenti tepat di depan kaki Elara, seakan melindunginya. Ia tertegun.

Dalam keheningan itu, suara lembut ibunya terdengar samar, menyusup lewat desir angin malam.

"Selama sungai masih mengalir, kau tidak sendirian, Elara…"

Elara terbangun dengan peluh dingin di dahinya. Nafasnya terengah, matanya terpejam rapat. Ia berbisik lirih pada dirinya sendiri, meski tak ada seorangpun yang mendengarnya.

“Desa Osca… jangan sampai hilang. Jangan sampai jatuh pada kuasa kegelapan itu.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!