"Jangan lagi kau mencintaiku,cinta mu tidak pantas untuk hatiku yang rusak"
Devan,mengatakannya kepada istrinya Nadira... tepat di hari anniversary mereka yang ke tiga
bagaimana reaksi Nadira? dan alasan apa yang membuat Devan berkata seperti itu?
simak cerita lengkapnya,di sini. Sebuah novel yang menceritakan sepasang suami istri yang tadinya hangat menjadi dingin hingga tak tersentuh
Jangan lupa subscribe dan like kalo kamu suka alur ceritanya🤍
Salam hangat dari penulis💕
ig:FahZa
tikt*k:Catatan FahZa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tulisan_nic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pacar istri orang
Udara siang di kafe itu terasa lembut, dengan musik instrumental mengalun pelan dari sudut ruangan.Cahaya matahari menembus tirai linen, jatuh di meja tempat Nadira dan Henry duduk berhadapan.
“Anggap ini awal pertemanan kita” kata Nadira, matanya berbinar saat pelayan meletakkan dua piring pasta dan es lemon tea di depan mereka.“Untuk teman baru yang,entah bagaimana rasanya sudah lama dikenal.”
Henry tersenyum kecil, menatap wajahnya yang tampak teduh di bawah cahaya sore.“Teman baru, ya?” katanya pelan, suaranya seolah ingin memastikan sesuatu yang tak seharusnya ia harapkan.Ia mengangkat gelasnya, “Baiklah, untuk pertemanan yang baru mulai.”
Nadira ikut mengangkat gelasnya, menyentuhnya perlahan.
“Untuk pertemanan yang mudah dan tidak rumit.”
Mereka tertawa kecil.Percakapan mengalir ringan tentang buku, musik, tentang warna cat dinding kafe yang menurut Nadira terlalu pucat dan menurut Henry “justru melengkapi rasa kopi yang pahit.”
Sesekali Henry memperhatikan caranya berbicara, tawa lembutnya, dan cara Nadira mengibaskan rambut dari wajahnya.Ia tahu, di hadapan perempuan ini, ia harus menahan ribuan hal yang tak boleh keluar dari bibirnya.
Tentang masa lalu. Tentang lukisan pertamanya. Tentang perasaan yang dulu sempat hidup,dan kini tumbuh lagi tanpa izin.
Namun di balik senyum hangat itu, ada tatapan yang nyaris tak bisa ia sembunyikan.Tatapan seseorang yang sedang menikmati kebersamaan."Nadira,kamu cantik hari ini.Aku bisa menikmati wajahmu dengan jarak dekat hari ini.Suatu saat aku ingin lebih dari ini". Hati yang jujur milik Henry yang tak bisa di pungkiri.
***
Cahaya senja menembus tirai kaca tinggi ruang direktur utama membentuk pantulan keemasan di lantai marmer.
Devan menutup laptopnya,terdengar suara pintu diketuk pelan.
Sekretaris Ken masuk, sedikit membungkuk.
“Maaf mengganggu, Tuan. Ada tamu mengatasnamakan Mr. Henry Callen.”
Devan mengangkat alisnya.Nama itu membuat suasana seketika berubah tipis.
“Henry Callen?” gumamnya pelan.
“Baik, persilakan masuk.”
Seorang pria berpenampilan rapi masuk. Jas abu muda membungkus tubuh tegapnya, dan di tangannya terdapat kotak undangan berwarna ivory dengan segel lilin elegan.Ia tersenyum sopan.
“Selamat sore, Tuan Devan.”
Devan berdiri, menjabat tangannya dengan tegas namun sopan.
“Silakan duduk. Apa Henry baik-baik saja?”
Luca tersenyum samar, “Beliau... baik, meski akhir-akhir ini banyak melukis karya baru dengan tema yang cukup personal.”
Ada jeda singkat sebelum Luca melanjutkan, menyerahkan kotak undangan itu ke meja Devan.
“Saya datang membawa undangan khusus ini, Mr. Callen meminta untuk undangan ini di berikan kepada istri anda,Nyonya Nadira.”
Nada suaranya tenang, tapi pandangannya menyiratkan sesuatu yang sulit diartikan,seperti seseorang yang tahu rahasia kecil di balik senyum yang dipaksakan.
Hening memenuhi ruangan.Devan menatap undangan itu lama, lalu tersenyum tipis .
“Terima kasih, Luca. Sebenarnya istri saya tidak perlu undangan khusus ini,karna dia pasti hadir di acara Gala Estetika' untuk mendampingi saya.Tapi,karena ini adalah permintaan khusus darinya akan saya sampaikan pada istri saya.”
Luca berdiri, membungkuk sopan.Namun sebelum keluar, ia menatap Devan sejenak,kemudian berlalu menuju pintu.
Devan menatap undangan itu,"Ada-ada saja,apa karena kecelakaan kemarin membuatnya jadi begini".
Devan merasakan nyeri lagi di kepalanya,cepat ia mengambil botol kecil berisi obat penahan nyeri yang di resepkan Rafika kemarin.Sebutir pil sudah di tangannya,beberapa detik saja pil itu sudah masuk ke kerongkongan nya.
"Dosisnya sudah Rafika naikkan rupanyanya.Obat ini jadi lebih cepat bereaksi,baguslah.Setidaknya ini bisa menolongku sampai bertemu dengan Profesor Jepang itu".
Devan kembali tenggelam dengan perkerjaan,semua persiapan 'Gala Estetika' sudah terstruktur.Tidak ada lagi yang perlu di khawatirkan,semua sudah di pastikan berjalan sesuai yang di rencanakan.
Hasil kerja sekertaris Ken,memang sudah tidak bisa di ragukan lagi.Sejak dia bekerja di perusahaan itu,Devan mengakui dia sangat disiplin dan teliti.Lebih dari itu, Sekertaris Ken bisa di percaya jika di beri amanah,kesetiaannya terhadap Devan membuatnya spesial sebagai karyawan.
Di luar ruangan,suara denting sepatu hak tinggi terdengar pelan tapi tegas di balik pintu kaca.Suara yang langsung membuat suasana berubah hening.
Devan mendongak, menatap sosok wanita anggun memakai setelan blazer krem yang kini berdiri di ambang pintu.Di kawal oleh sekertaris Ken.Perhiasan berkilau di pergelangan tangannya, riasan sempurna, dan tatapan mata yang tajam namun nyaris tak menampakkan emosi.
“Silahkan Nyonya Maria,” sapa sekretaris Ken.Devan hanya menghela napas, “Masuklah, Ma.”
Wanita itu melangkah masuk, setiap langkahnya tampak seperti simbol kuasa.Ia menatap sekeliling ruangan sejenak sebelum akhirnya duduk di sofa tamu,menyilangkan kaki dengan anggun.
“Jadi benar,” katanya tanpa basa-basi.“Nadira... sedang hamil?”
Devan diam sesaat, mencoba menenangkan napasnya.“Iya, Ma. Dua minggu.”
Nyonya Maria mengangguk pelan.Senyum tipis terbit di wajahnya.Senyuman sebagai bentuk kontrol halus dari seorang wanita yang terbiasa mengatur segalanya.
“Sudah saatnya kau mulai menjaga garis keturunan keluarga kita dengan benar,” katanya datar.“Nadira sebaiknya tinggal di mansion. Rumahmu terlalu sempit untuk perempuan yang sedang mengandung pewaris Alveron.”Nada suaranya dingin tapi sopan, seperti pisau tajam yang dibungkus dengan sutra.
“Ma, Nadira nyaman di rumah sekarang. Aku bisa menjaganya,” ucap Devan dengan nada tenang tapi tegas.
Nyonya Maria menatapnya lama, bibirnya melengkung tipis.
“Devan,apa kau bisa berada di dekatnya 24jam?”
Kalimat itu meluncur lembut, tapi rasanya seperti tamparan yang tak terdengar.Devan menunduk sejenak, menahan getaran kecil di rahangnya.“Ini bukan soal aku, Ma. Ini soal Nadira. Aku tidak ingin dia merasa dikontrol.”
“Dikontrol?”Nyonya Maria berdiri perlahan, merapikan tas tangan mahalnya.“Anak itu sedang mengandung darah keluarga Alveron. Dan di rumahku, tidak ada yang tidak bisa dikontrol.”
Ia menatap putranya dalam-dalam, lalu berbalik menuju pintu.
Sebelum keluar, ia menambahkan dengan nada lembut namun mengintimidasi,“Pastikan dia siap pindah dalam dua hari. Aku tidak suka mengulangi perintah.”
Pintu tertutup perlahan.Devan memejamkan mata, menggenggam meja kerjanya kuat-kuat.Hanya suara detak jam yang terdengar di ruangan, seakan menghitung waktu menuju badai berikutnya.
"Apa lagi yang akan di lakukan oleh Mama,kenapa semua harus di atur olehnya?".Devan menghela napas panjang.
Ia menatap jemarinya sendiri, menelusuri garis halus di telapak tangannya seperti mencari sesuatu yang hilang di sana,barangkali kebebasan, barangkali kendali atas hidupnya sendiri.
Sejak kecil, ia terbiasa hidup di bawah bayangan keputusan orang lain.Apa yang harus ia pelajari, siapa yang harus ia temui, bahkan bagaimana cara ia tersenyum di depan publik semuanya diatur dengan presisi seperti skenario keluarga kaya yang terlalu sering dipuja.
Dan kini, ibunya ingin melakukan hal yang sama pada Nadira.
Perempuan yang justru membuatnya merasa menjadi manusia, bukan pewaris.Bukan alat keluarga.
Devan bersandar di kursi, menatap langit-langit.Ia ingin marah, tapi yang muncul justru rasa takut,takut pada bayangan masa kecil yang penuh perintah, takut jika Nadira harus melewati dinginnya dunia yang sama seperti dirinya.
“Aku tidak ingin dia menjadi boneka!”
“Nadira bukan barang warisan. Dia satu-satunya hal nyata yang aku punya.”
*
*
*
~Salam hangat dari penulis 🤍