NovelToon NovelToon
JEDA

JEDA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:612
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.

Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

14

Matahari di luar tampak biasa saja, tapi hati Kayla terasa lebih sibuk dari yang terlihat.

Meeting di luar kantor biasanya jadi jeda kecil dari rutinitas ruang sempit dan layar komputer, tapi pagi itu justru terasa berbeda. Entah karena udara hotel yang terlalu dingin, atau karena pikirannya yang terlalu ramai.

Meeting selesai lebih cepat dari yang dijadwalkan. Sekarang Kayla duduk di area lounge sebuah hotel bisnis, tempat pertemuan klien barusan berlangsung. Ruangan itu tidak terlalu ramai, hanya beberapa tamu yang tampak berbincang pelan sambil menyeruput kopi. Di sudut ruangan, sepasang kekasih duduk berdekatan, tertawa kecil, tangan saling menggenggam, meraka benar-benar tenggelam dalam kisah mereka sendiri.

Kayla mengalihkan pandangan. Bukan karena iri, tapi karena ada sesuatu dari pemandangan itu yang terasa... mengganggu. Mungkin karena itu terlalu kontras dengan apa yang ia rasakan akhir-akhir ini.

Sambil menunggu mobil kantor datang menjemput, ia merapikan file presentasi di tabletnya. Tapi fokusnya sudah tak utuh. Perhatiannya tertinggal di tawa si perempuan tadi, tawa yang terdengar seperti prioritas. Yang dibalas dengan tatapan laki-laki di sampingnya, tatapan yang penuh pengertian.

Dalam hati, Kayla menahan sesuatu yang seperti... sesak kecil.

'Lucu ya, hal kecil kayak gini bisa bikin hati terasa penuh... atau kosong. Padahal cuma sepasang kekasih yang tertawa. Tapi kenapa rasanya kayak diperlihatkan sesuatu yang dulu sering aku punya dan sekarang cuma jadi jeda, bukan rutinitas?'

'Nggak-nggak. Nggak boleh gitu, Kayla. Nathan sedang berusaha memperbaiki apa yang rusak. Jangan bandingkan dia dengan orang lain.'

Ia menunduk sebentar, menyamakan napas. Tangannya sibuk menggulir layar tablet, tapi matanya tak membaca apa-apa. Fikirannya sibuk berdialog dengan suara-suara kecil yang tak bisa ia matikan.

Apa aku terlalu cepat ngerasa kurang? Apa karena aku dulu terlalu kenyang sampai sekarang jadi mudah lapar?

Kayla menutup tabletnya perlahan, lalu menyandarkan punggung ke sofa lounge. Matanya menatap ke atas, ke lampu gantung hotel yang bergoyang lembut karena angin dari ventilasi.

'Sebenarnya aku tahu. Ini bukan tentang orang lain. Ini tentang aku yang nggak tahu caranya berhenti berharap Nathan jadi seseorang yang bisa ada setiap saat. Padahal dia lagi belajar. Tapi kadang... capek juga ya, jadi yang selalu menunggu hasil dari proses orang lain.'

Saat masih tenggelam dalam pikirannya, layar ponsel Kayla menyala. Sebuah pesan singkat dari sopir kantor muncul di layar.

[Saya sudah sampai di lobi, Bu.]

Kayla membaca pesan itu sejenak, lalu menarik napas perlahan. Ia meraih tasnya dan berdiri, menyelipkan tablet ke dalam kompartemen dalam, memastikan semua tertata rapi seperti biasa meski hatinya masih belum benar-benar rapi.

Langkahnya pelan menuju pintu keluar lounge. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, matanya sempat kembali melirik ke sudut tadi. Pasangan itu sudah pergi. Tapi sisa-sisa tawa mereka masih terasa menggantung di udara.

Dan entah kenapa, rasanya seperti gema dari sesuatu yang pernah ia miliki... tapi kini terasa agak jauh.

***

Pukul 11.50

Mobil Nathan melaju stabil di bawah terik matahari siang. AC di dalam mobil cukup membuat suasana nyaman, sementara musik lembut mengalun pelan sebagai latar. Kayla duduk di samping, membalas beberapa pesan sambil sesekali melirik keluar jendela.

"Gimana kerjaan hari ini?" tanya Nathan tiba-tiba, nadanya ringan.

Kayla menoleh sebentar, lalu tersenyum kecil. "Seperti biasa, lancar... tapi melelahkan juga."

"Udah mulai capek kerja?" tanyanya lagi sambil meraih tangan Kayla dan menggenggamnya erat.

Kayla menatap tangan itu. Ia menahan senyum, lalu memalingkan wajah, pura-pura melihat ke arah jendela lagi. Entah kenapa, sentuhan sederhana itu terasa jauh lebih dalam dari biasanya. Bukan karena ia belum pernah diperlakukan manis, tapi karena akhir-akhir ini perasaan mereka seperti dipenuhi pertanyaan, dan kini sentuhan itu seolah jadi jawaban kecil yang menenangkan.

"Ya begitulah. Lebih ke bosen aja, sih," jawabnya ringan.

"Sabar, ya." Nathan tersenyum tipis. "Nanti kalau udah jadi istri aku, kamu nggak usah kerja. Cukup duduk manis di rumah, ngurus rumah, ngurus aku… dan anak-anak kita."

Kayla menoleh cepat. Matanya membulat sedikit karena tidak menyangka arah pembicaraan akan sejauh itu.

"Kamu... udah mikirin soal nikah?" tanyanya, suara sedikit mengecil tapi penuh rasa ingin tahu.

Nathan mengangguk, masih menatap ke depan. "Udah. Nggak hari ini atau besok juga, ya. Tapi aku udah mikirin.'

Ia menarik napas sebentar, lalu menambahkan, "Aku pengin pas nanti kita nikah, aku bisa pulang tepat waktu. Nggak lagi begadang di kantor, atau lupa kalau kamu nunggu. Aku pengin hadir utuh sebagai suami. Bukan cuma badan yang pulang, tapi juga hati dan waktu yang utuh buat kamu. Kita siapin diri bareng-bareng, ya."

Setelah mengucapkan itu, Nathan mengangkat tangan kirinya dari setir, lalu meraih pundak Kayla, menariknya pelan ke arahnya. Tanpa suara, ia merangkulnya erat, separuh peluk, separuh penegasan akan niatnya.

Kayla sempat terkejut, tapi tidak menolak. Ia menyandarkan kepala di bahu Nathan, mendengar detak jantungnya dari dekat, meresapi ketenangan yang entah kenapa terasa sangat dalam.

Mobil tetap melaju, tapi waktu seakan melambat. Di antara alunan musik dan deru AC, ada satu jeda yang tidak perlu diisi dengan kata-kata. Dan di situlah Kayla merasa sesuatu yang penting.

'Nathan benar-benar sedang berusaha. Bukan cuma bicara, tapi juga bergerak. Sedikit demi sedikit, tapi nyata. Aku jadi merasa bersalah karena bandingin dia sama orang lain tadi.'

Restoran itu tidak terlalu ramai siang itu. Mereka memilih tempat duduk di pojok, agak jauh dari jendela, tapi cukup nyaman. Cahaya matahari masuk samar lewat kaca buram, menciptakan suasana hangat yang tenang.

"Tumben kamu ajak aku makan makanan rumahan," komentar Kayla, menyendok nasi ke piringnya sebelum memasukkannya ke mulut.

"Lagi pengin aja, sih," jawab Nathan santai. "Kangen masakan Mama sebenarnya."

Kayla menoleh dengan ekspresi lembut. "Kalau kamu mau, kamu tinggal bilang aja mau dimasakin apa. Nanti aku bisa masak di apartemen. Kamu bawa ke kantor buat makan siang."

Nathan menoleh cepat, ekspresinya terkejut. "Kamu bisa masak?"

"Makanya, jangan terlalu sibuk sama diri sendiri," sahut Kayla, nadanya sedikit tajam tapi tidak benar-benar marah. "Biar tahu apa aja yang aku bisa dan enggak. Apa aja yang aku suka dan enggak.'

Nathan terkekeh. "Eleuh-eleuh. Bisa galak juga calon istriku ini."

Kayla spontan menoleh, wajahnya memerah. "Ih, apaan sih, Nat. Nggak jelas banget."

Ia langsung menunduk, menyibukkan diri dengan nasi di piring. Tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. Wajahnya yang biasanya tenang sekarang terlihat salah tingkah, seperti anak remaja yang baru digoda gebetannya.

Obrolan dan makan siang itu berlanjut dengan ringan. Mereka membahas hal-hal sepele. Kantor, berita viral, makanan masa kecil. Gelak tawa kecil sesekali pecah dari meja mereka. Tidak ada pembahasan berat, tidak ada drama.

Untuk sesaat, keduanya seolah lupa bahwa hubungan mereka sempat berada di titik rawan. Yang tersisa hanya dua orang yang sedang saling berusaha. Satu mencoba memberi kesempatan, satu lagi mencoba menebus waktu yang dulu terlewatkan.

Hingga ponsel Nathan bergetar di atas meja.

Nama Alea muncul di layar.

Ia menoleh ke Kayla sejenak, lalu kembali menatap ponselnya. Jemarinya ragu-ragu sebelum akhirnya menyentuh layar.

"Halo?"

Suaranya pelan, nyaris tertelan denting sendok dan alunan musik restoran. Tapi dari nada bicaranya yang berubah, Kayla tahu… itu bukan panggilan biasa.

Nathan diam sejenak, hanya mengangguk-angguk kecil sambil mendengarkan. Sesekali matanya melirik ke arah Kayla. Sekilas, cepat, tapi cukup untuk terbaca. Ragu. Berat. Seperti sedang memilih di antara dua ruang yang sama pentingnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!