novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Riak dari Dimensi yang Retak
Tidak ada suara di Dimensi Air, hanya gema lembut dari aliran yang mengalun seperti napas alam itu sendiri. Cai berdiri di tepi Sungai Lensa, sungai bening tanpa dasar yang memantulkan langit cair berwarna perak. Di dimensi itu, langit tidak pernah diam; ia berdenyut seperti jantung raksasa yang terbuat dari kabut. Cai menatap permukaan air yang bergetar ringan, mencoba membaca riak-riak yang muncul tanpa alasan. Riak itu bukan dari angin, karena angin tidak pernah ada di wilayah air murni. Itu tanda perubahan—tanda yang jarang terjadi dalam seribu tahun.
Cai bukan sekadar penghuni biasa Dimensi Air. Ia berasal dari klan Lysan, salah satu klan biru murni yang terkenal dengan kemampuan mengendalikan bentuk air hingga menjadi struktur padat atau kabut tipis seperti sutra. Namun berbeda dari kebanyakan Lysan, warna auranya tidak sepenuhnya biru. Ada semburat perak yang berdenyut di tubuhnya, membuat beberapa tetua percaya bahwa ia membawa jejak dimensi lain—sesuatu yang mustahil, sesuatu yang tabu. Dimensi Air bukan hanya satu wilayah, melainkan pecahan-pecahan besar: Air Biru Murni, Air Pualam Perak, Air Pekat yang berwarna gelap seperti tinta, dan Air Asin yang dihuni makhluk-makhluk yang tidak pernah bersatu dengan yang lain. Sama seperti dunia api, seperti yang sering diceritakan dalam legenda, keberagaman dimensi air itu membuat mereka tidak sepenuhnya damai.
Hari ini adalah hari upacara “Aliran Takdir”, upacara yang menentukan arah hidup setiap pemuda dari Dimensi Air ketika mencapai usia dewasa. Cai sudah mempersiapkan diri sepanjang malam. Ia membasuh tubuhnya dengan kabut perak, menenangkan pikirannya, dan berdiri menghadapi Sungai Lensa dengan gemetar halus yang ia tutupi dengan keberanian. Biasanya upacara ini berjalan damai, namun riak yang terus berubah-ubah sejak subuh membuat sebagian besar warga bertanya-tanya apakah sungai itu sedang menunjukkan tanda buruk.
Ketika permukaan air semakin bergetar, sosok besar keluar dari kabut perak—Tetua Rhen, penjaga Sungai Lensa. Rambutnya terurai seperti aliran air, dan matanya dalam seperti palung yang tak pernah terlihat oleh siapa pun. “Cai dari klan Lysan,” panggil Tetua Rhen dengan suara yang terdengar seperti dua arus bertemu. “Hari ini sungai berbicara lebih keras dari biasanya. Apakah kau siap menghadapi takdirmu?”
Cai menarik napas panjang. Suaranya bergetar namun mantap. “Saya siap, Tetua.”
Rhen memejamkan mata, lalu mengangkat tongkat yang terbuat dari pecahan es abadi. Ketika ujung tongkat menyentuh permukaan sungai, air langsung membentuk pusaran besar yang menjulang seperti pilar cair. Di dalamnya, potongan-potongan kisah masa depan biasanya akan terlihat, namun kali ini pusarannya justru mengeluarkan cahaya merah—warna yang tidak seharusnya ada di Dimensi Air.
Suara desahan kaget terdengar dari kerumunan warga. Cai sendiri terlonjak ke belakang, merasakan panas yang aneh menyambar wajahnya meski ia berdiri di tengah wilayah air dingin. Warna merah itu berkedip seperti nyala api, sesuatu yang seharusnya mustahil. Api adalah musuh alami mereka, makhluk dari dimensi lain yang telah lama hilang dari hubungan apa pun sejak Perpecahan Besar ratusan tahun lalu.
“Ini… tak mungkin,” desis Tetua Rhen, wajahnya yang biasanya tenang tiba-tiba berubah pias. “Dimensi Air tidak pernah menerima pengaruh dari Api. Tidak sejak—”
Sebelum Rhen menyelesaikan kalimatnya, pusaran itu meledak dalam percikan air yang memercik seperti kristal pecah. Cai mengangkat tangannya untuk melindungi wajahnya, merasakan panas dan dingin bercampur dalam satu hembusan. Dan sesaat kemudian, ia melihatnya: sebuah bayangan samar, sosok siluet dengan rambut seperti bara dan mata yang menyala.
Sosok itu mengatakan satu kata. Tidak berteriak, tidak berbisik—namun terdengar jelas di kepala Cai.
“Datang.”
Cai mundur beberapa langkah, napasnya tersengal. Sosok dalam pusaran air itu hilang sebelum ia bisa memahami bentuknya. Hanya satu hal yang ia tahu: itu bukan makhluk dari Dimensi Air. Itu adalah… Api. Sesuatu yang seharusnya tidak dapat menembus batas.
Rhen menatap Cai lama, lalu menepuk pundaknya. “Anak ini… membawa jejak yang tidak seharusnya.” Ia menarik napas panjang, lalu menatap para tetua yang lain. “Mulai hari ini, Cai diberi tugas sebagai Penelusur Retak. Ia harus mencari sumber dari gangguan antar-dimensi ini.”
Warga bergumam, beberapa terdengar panik. Penelusur Retak adalah gelar yang jarang diberikan—hanya saat dunia air mengalami celah atau gangguan. Cai tidak tahu apakah ia harus bangga atau takut.
Tetua Rhen mendekatinya, menatap langsung ke matanya. “Apa yang kaulihat tadi bukan hanya penglihatan masa depan. Itu panggilan dari dimensi yang telah hilang kontak dengan kita. Jika benar itu berasal dari Api…” Rhen menghela napas berat. “Maka dunia kita mungkin akan menghadapi sesuatu yang tak pernah kita bayangkan.”
Cai ingin bertanya, namun tiba-tiba Sungai Lensa kembali beriak. Putaran kecil terbentuk, mengerucut seperti pintu tipis yang bergetar—seolah sedang menunggu seseorang melintasinya. Tetua Rhen melangkah mundur.
“Pergilah, Cai,” ucapnya dengan suara rendah. “Pintu itu terbuka untukmu.”
Cai menatap pusaran itu, dadanya berdebar tanpa irama. Ia tidak tahu apa yang menunggunya. Ia tidak tahu makhluk apa yang memanggilnya. Ia bahkan tidak tahu apakah ia akan kembali.
Namun ada sesuatu dalam dirinya—sebuah dorongan halus, suatu rasa seperti panggilan yang lahir dari dalam air maupun api—yang membuatnya melangkah maju. Ia merentangkan tangannya dan menyentuh pusaran itu. Sentuhan itu dingin, namun di balik dingin ia merasakan percikan panas yang menusuk.
Begitu Ia melangkah masuk, dunia di sekitarnya pecah menjadi serpihan cahaya. Suara gemuruh terdengar seperti pertarungan antara petir dan ombak. Tubuhnya seolah ditarik ke dua arah sekaligus. Tetapi akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti berabad-abad, Cai terjatuh di permukaan tanah keras.
Tanah.
Di Dimensi Air, tidak ada tanah. Semua berdiri di atas platform air padat atau kabut tebal. Namun kali ini ia merasakan permukaan hangat, kasar, dan keras. Ia membuka mata perlahan.
Langit di atasnya merah tua, berlapis-lapis seperti bara yang ditiup angin. Udara panas menyentuh wajahnya, membuat kulitnya yang terbiasa dingin berdenyut tidak nyaman. Di sekitarnya, batu-batu hitam bersinar kemerahan, seperti baru saja keluar dari kawah.
Cai merangkak perlahan, matanya menelusuri tempat asing itu. Baru beberapa langkah, ia mendengar suara langkah dari belakangnya—ringan, namun berenergi. Ia berbalik, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya ia melihat makhluk dari Dimensi Api.
Sosok itu berdiri dengan rambut merah menyala, seperti lilin yang hidup. Matanya berwarna emas cair, dan kulitnya bersinar seperti logam panas. Ia mengenakan pakaian yang tampak seperti kain yang dibuat dari serpihan bara. Cahaya tubuhnya memantul di batu hitam di sekitarnya.
“Jadi kau datang,” ucapnya, suaranya nyaring namun tidak membakar.
Cai menelan ludah. “Ka—kau yang memanggilku?”
Sosok itu tersenyum kecil. “Namaku Sena.” Ia melangkah mendekat, dan setiap langkahnya meninggalkan jejak panas di tanah. “Dan aku sudah menunggumu sejak riak pertama muncul.”
Cai mengernyit. “Bagaimana kau… memanggil dari dimensi lain? Itu mustahil.”
Sena menatap langit merah sebelum kembali menatap Cai, matanya tampak lebih dalam. “Tidak ada yang mustahil saat dimensi mulai retak. Air dan api pernah hidup berdampingan sebelum perpecahan. Tapi kini batas itu melemah.” Ia mendekat lagi, lalu mengetuk dada Cai dengan satu jari—lembut, namun terasa panas. “Kau punya sesuatu yang tidak dimiliki siapapun di dunia air.”
Cai terdiam, merasakan debar jantungnya semakin cepat.
“Kau adalah penghubung,” lanjut Sena, suaranya menjadi lebih rendah. “Dan jika kita tidak menemukan penyebab retakan ini, bukan hanya dimensi kita yang akan musnah—tapi seluruh keseimbangan antara elemen.”
Cai memandang Sena lama, mencoba memahami maknanya.
“Kenapa aku?” bisiknya.
Sena tersenyum, mata emasnya berkilat. “Karena kau adalah satu-satunya air yang tidak padam oleh apiku.”