Menikah? Yeah!
Berumah tangga? Nanti dulu.
Begitulah kisah Inara Nuha (21 tahun) dan Rui Naru (25 tahun). Setelah malam pertama pernikahan mereka, kedatangan Soora Naomi mengguncang segalanya. Menghancurkan ketenangan dan kepercayaan di hati Nuha.
Amarah dan luka yang tak tertahankan membuat gadis itu mengalami amnesia selektif. Ia melupakan segalanya tentang Naru dan Naomi.
Nama, kenangan, bahkan rasa cinta yang dulu begitu kuat semuanya lenyap, tersapu bersama rasa sakit yang mendalam.
Kini, Nuha berjuang menata hidupnya kembali, mengejar studi dan impiannya. Sementara Naru, di sisi ia harus memperjuangkan cintanya kembali, ia harus bekerja keras membangun istana surga impikan meski sang ratu telah melupakan dirinya.
Mampukah cinta yang patah itu bertaut kembali?
Ataukah takdir justru membawa mereka ke arah yang tak pernah terbayangkan?
Ikuti kisah penuh romansa, luka, dan penuh intrik ini bersama-sama 🤗😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14 Nuha melangkah ringan
Nuha melangkah ringan bersama Pak Syarif. Obrolan mereka mengalir seirama dengan angin yang membelai langkah mereka. Pak Syarif terkekeh pelan, “Kalo kamu ingin bermain di area ini, cobalah temui Wisnu. Dia biasa ada di sini kalo nggak ada kerjaan."
"Em?"
“Sembilan tahun lulus kuliah dia lebih ngurusin olshop-nya ketimbang cari kerjaan tetap. Tapi, seenggaknya tenaganya berguna buat bantu-bantu bapak di sini untuk ngajar karawitan."
Belum sempat Nuha merenspon, sebuah suara lantang menggema, “Pak! Tangkap!” Satu mangga meluncur cepat dari atas pohon.
Hap!
Tangkapan mulus dari Pak Syarif yang ternyata masih cukup sigap untuk usianya. Ia menoleh ke arah Nuha. “Lihat? Masih jago bapak, kan?” katanya bangga. “Kalau gitu, bapak tinggal dulu, ya…”
Nuha tak sempat membalas, pak tua itu sudah pergi santai. Meninggalkannya demi niat mengantarkan Nuha ke tempat Wisnu, jalan-jalan itu tak sekedar jalan-jalan ternyata.
“Eeihhh…” Nuha bingung.
Lalu ia mendongak mencari keberadaan Wisnu di atas pohon. Tiba-tiba matanya membola. Sekelebat kenangan menembus pikirannya. Dirinya yang dulu memanjat pohon di belakang sekolah, sementara Naru mengomel panik di bawah karena takut ia jatuh.
"Aku... punya kenangan itu?"
“Dek, tangkap!”
Suara itu membuyarkan lamunannya.
“Ap-- apa?” Nuha langsung salting.
Wisnu terkekeh, “Tenang aja, aku nggak bakal lempar. Cuma jatuhin pelan-pelan. Gampang kok. Tangkap ya.”
“Em.” Nuha menunduk.
Alih-alih menjatuhkan mangga, dalam satu lompatan ringan, Wisnu turun dari pohon dan mendarat di hadapan Nuha. “Ba!” serunya sambil menepuk kedua lengan wanita itu.
"Uwa!" Nuha terhenyak.
Tiba-tiba sedekat ini…
Dulu, selama di ekspedisi, jarak mereka selalu dijaga meja counter. Obrolan hanya seputar nama paket, alamat, dan total tagihan. Sekalinya Wisnu menyentuh privasi Nuha dengan candaan, ia lebih memilih diam dan menunduk.
“Dek, mau mangga?” tanya Wisnu.
Nuha membatin, "Astaga… tiap dia manggil ‘Dek’, rasanya adem. Tapi… apa aku sekecil itu harus dipanggil dek?"
“Akuu…”
Seperti biasa, Nuha susah respon.
“Kamu bilang kamu suka kucing, kan?” Wisnu menunjuk ke arah semak di belakang. “Di sini aku sering kasih makan kucing liar. Mau lihat?”
“Kucing?” ulang Nuha, alisnya terangkat.
Dan kenangan itu kembali. Dirinya tertawa lepas saat mengerjai Naru dengan menyodorkan seekor kucing kecil, sementara pria itu panik karena alerginya. Tawa, kehangatan, dan pandangan lembut Naru berbaur dalam kepalanya…
Lalu tergantikan oleh senyum Wisnu yang menatapnya sekarang. Pikirannya bertabrakan antara masa lalu dan masa kini, antara kenangan dan kemungkinan. "What’s wrong with me?" batinnya bingung sambil mengerjap berkali-kali.
Wisnu menyentuh bahunya dengan tatapan penuh kelembutan, “Aku rindu tulisan tanganmu di resi manual, Dek… juga caramu ngetik data di komputer. Iramanya nenangin banget,” katanya setengah bercanda, setengah jujur.
Nuha membalas tatapan itu tanpa banyak reaksi, matanya sedikit membulat karena tak menyangka akan diingat sedetail itu. "Aku jadi kayak komputer jadul yang ngehenk mulu kalo di depan dia..." pikirnya.
Setelah jeda canggung, Wisnu menarik napas. “Gimana kalau…” ia menggantung kalimatnya sejenak, "Kita..." ragu-ragu sambil melirik, “Makan mangga bareng? Sambil main sama kucing, gitu.”
Alisnya terangkat pelan, bukan untuk menggoda, tapi untuk meyakinkan lawan bicaranya kalau ajakan itu tulus. Ada sedikit gugup di wajahnya, seperti seseorang yang takut tawarannya ditolak tapi tetap berusaha terlihat santai.
Di sisi lain, ia berusaha tetap kalem padahal jantungnya berdetak cepat seperti habis lari maraton. "Gila… ngobrol sama dia aja udah kayak ujian masuk perusahaan. Tapi, gue nggak mau kehilangan kesempatan ini."
Ada sensasi hangat antara canggung dan bahagia yang anehnya justru membuatnya ingin mendengar kata 'iya' dari wanita muda yang ia anggap masih gadis itu.
Nuha menggigit bibir, sedikit ragu. “Apa ini nggak papa?” batinnya. “Kupikir... kalau aku anggap Kak Wisnu seperti Kak Muha, nggak apa-apa kan? Lagian dia cuma panggil aku ‘Dek’. Hubungan ini... nggak perlu kuanggap serius.”
Ia mengembuskan napas pelan dan tersenyum kecil, "Bo-- boleh..." angguknya canggung.
Waktu berjalan lambat di bawah rindangnya pohon mangga. Nuha duduk bersandar pohon, mendengarkan Wisnu bercerita sambil memberi makan kucing-kucing liar yang ia rawat.
Suaranya tenang, iramanya lembut, seperti angin sore yang menenangkan dada. Tak ada godaan, tak ada celetukan usil. Hanya kehangatan sederhana yang membuat Nuha merasa nyaman.
Berbeda dengan Naru, yang selalu tahu cara membuatnya kesal tapi rindu di saat bersamaan. Kalau bersama Naru, jantungnya sering berpacu. Kalau bersama Wisnu, hatinya terasa diam, tenteram seperti air di permukaan telaga.
Namun waktu yang terasa berjalan lambat itu ternyata hanya sekejap. Wisnu menatap layar ponselnya, lalu tersenyum kecil dengan nada menyesal. “Kayaknya aku harus cabut dulu, Dek. Ada orderan masuk,” ujarnya.
Nuha mengangguk pelan. “Oh… kerja, ya?”
"Iya... Begitulah," Wisnu beranjak sambil menggaruk tengkuknya, lalu melambaikan tangan. “Maaf ya, lain kali kita lanjut makan mangganya.”
Di tempat Naru berada...
Naru terpaksa mengakhiri urusannya dengan Dilan dan Naomi. Dia memacu mobil keluar basement. Tidak ia kira, hujan turun dengan lebatnya.
“Nara, hujan turun lebat. Tolong tunggu sebentar, berteduhlah di dalam gedung. Aku akan menjemputmu segera,” tulisnya.
Yang tidak ia tahu...
Wanita yang ia khawatirkan sedang menggigil di atas pohon, sendirian di antara hujan dan gemuruh langit. Ya, setelah ditinggal Wisnu, Nuha malah memanjat pohon. Tahu cuaca tak bersahabat dia pun kebingungan.
Ketika melihat ke bawah, bayangan dan kedalaman jarak membuat perutnya mual. “Kan begini jadinya… khilaf naik, tapi nggak berani turun,” keluhnya. “Apa aku harus korbankan lagi lututku--”
“JEDERRR!!”
Petir menyambar tak jauh dari sana.
“KYAAA!!”
Ia spontan menutup telinganya, dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel di saku. Menelepon suaminya, tapi tak kunjung diangkat. “Naru, bisakah kamu menjemputku?” tulisnya cepat.
“Lama banget sih…” Nuha mendecak kesal sambil menggigil, mengetik lagi dengan jari gemetaran. “Naru, cepatlah! Aku menggigil di atas pohon.”
Begitu pesan terkirim, Naru bergetar membaca isinya, ia hampir menjatuhkan ponsel. “Apaaa?! Di atas pohon?!” Mobil langsung ia pacu tanpa pikir panjang.
Sesampainya di lokasi, hujan turun semakin deras. Langkah Naru berat menembus genangan air. Saat melihat Nuha di atas pohon, ia tak tahu harus marah atau tertawa.
“Kamu ngapain manjat pohon, Naraa?! Astagaaa, hujan-hujan begini!” serunya, separuh cemas, separuh tak percaya, sambil memegang payung yang hampir terbalik kena angin.
“Berisik! Kamu lama!” Nuha kesal.
“Lompat! Biar aku tangkap!” Naru merentangkan kedua tangan, nadanya mulai serius melihat bibir Nuha membiru dengan tubuh gemetar hebat.
“Hemphh!!”
Dengan napas tertahan, Nuha akhirnya melompat dan langsung disambut oleh pelukan Naru yang erat. Nuha spontan melingkarkan tangan di leher suaminya, mencari kehangatan.
“Astaga, dingin sekali kamu…” Naru segera membopongnya menuju parkiran. Tas Nuha ia sampirkan ke bahu, sepatunya ia selipkan di pangkuan wanita itu. Di tengah langkah terburu, ia sempat memungut ponsel Nuha yang terjatuh di tanah becek.
Di dalam mobil, Naru mengambil handuk dan mulai menyeka tubuh istrinya yang menggigil. “Kamu ini, apa-apaan sih… ceroboh banget. Naik pohon segala, hujan pula. Ngapain heh?”
Nuha menunduk. “Aku nggak tau kalau bakal hujan… Kupikir aku akan ingat kalau manjat pohon.”
Gerakan Naru berhenti sejenak. Matanya menatap wajah istrinya yang pucat, tapi di baliknya ada sorot lembut yang sulit disembunyikan. “Ingat?” tanyanya pelan. “Ingat apa, Nara?”
Nuha terdiam, tak sadar kalau kalimat spontan itu baru saja mengusik sesuatu. Kenangan lama yang mungkin ia sendiri belum siap untuk diungkit. “Nggak. Nggak ada,” Nuha berkilah cepat, matanya menghindar.
“Naraaa…” suara Naru menurun.
“Stop! Diam!” potong Nuha tiba-tiba, nada suaranya tajam lebih karena gugup daripada marah.
Naru tertegun. Ia menghela napas berat, mencoba menahan yang tertahan di dada. Hati siapa yang tak sakit? Ia selalu berusaha melindungi, tapi yang ia dapat hanya dinding dingin yang tak bisa ia tembus.
Handuk di tangannya jatuh begitu saja. Ia menunduk, menatap lantai mobil yang mulai basah oleh jejak air hujan. “Ya sudah,” katanya pelan tapi getir. “Kamu lakuin aja sendiri.”
Tangannya terulur ke pintu, tapi belum sempat dibuka, sesuatu membungkus tubuhnya erat. “Aku takut…” bisik Nuha lirih di belakangnya.
Naru membeku.
Pelukan itu hangat, tapi tubuh di belakangnya gemetar hebat. “Aku takut… aku takut kalau aku ingat, aku akan kembali jadi diriku yang lemah. Tapi kalau aku nggak ingat… aku akan terus mengecewakanmu.”
.
.
.
. ~Bersambung...
kanaya tau kebusukan suami & sahabatnya, gak ya?
itu baru emak singa betina yang classy banget!! Bicaranya lembut, tapi nancep kayak belati dari sutra.
“Aku ada bersama mereka.”
langsung pengen slow clap di meja makan
👏👏👏
Pas diserang dari segala penjuru masih bisa bilang “Aku percaya sama Naru.” Uuuuhh, emak langsung pengen peluk dia sambil bilang, “Nak, sabar ya… dunia emang keras, tapi jangan kasih Naomi menang!” 😤😤😤
chill naik sampe ubun-ubun, sumpah 🔥😱
“She said: don’t mess with my daughter-in-law,, mother-in-law supremacy era!!! 👊👊👊