NovelToon NovelToon
Fajar Kedua Sang Sayyidah

Fajar Kedua Sang Sayyidah

Status: sedang berlangsung
Genre:Kontras Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Fantasi Wanita / Balas Dendam / Mengubah Takdir
Popularitas:6.6k
Nilai: 5
Nama Author: INeeTha

Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.

Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.

Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.

Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sedingin Baja

Utusan itu akan tiba... tiga jam lagi, sebelum matahari mencapai puncak kepala. Dan dia tidak datang sendiri!

Umm Shalimah menjerit histeris, suaranya memecah keheningan Ruang Audiensi yang tadinya penuh kemenangan.

Wazir Khalid sampai menjatuhkan perkamen yang sedang dibacanya. Bunyi 'plak' kertas itu sukses membuat semua orang terdiam.

Khalī Tariq langsung bergerak mendekati Yasmeen, naluri militernya otomatis siaga melindungi sang Sayyidah dari ancaman—walaupun ancaman kali ini baru berupa tinta di atas perkamen.

"Utusan... pribadi?" ulang Yasmeen, suaranya dingin. Jauh lebih tenang dari siapapun di ruangan itu. Tapi di dalam hatinya, palu godam trauma menghantam ulu hatinya. Terlalu cepat. Harith tidak menunggu.

Yasmeen sudah menduga reaksi dari Kota Agung akan datang setelah kabar pengasingan Sayyid Zahir sampai ke telinga mereka. Namun, dia memperkirakan setidaknya ada jeda dua minggu untuk surat resmi dari Permaisuri Hazarah.

Harith melompat jauh ke depan. Tipikal. Emir muda itu memang dikenal dingin, tidak sabaran, dan cepat bertindak. Ini bukan surat dari Biro Protokol, tapi peringatan langsung dari medan perang politik. Harith tidak lagi menganggap Nayyirah sebagai masalah yang bisa diselesaikan ayahnya atau istrinya. Ini urusan pribadinya.

"Apa isi suratnya, Shalimah?" tanya Yasmeen, langkahnya cepat menghampiri dayangnya yang masih terengah-engah.

Umm Shalimah menyodorkan gulungan perkamen yang disegel dengan lilin kerajaan. "Tidak banyak, Sayyidah. Hanya perintah. Katanya, 'Aku ingin melihat apakah permata di gurun ini benar-benar ada. Utusanku akan datang untuk memeriksamu. Persiapkan perayaan kecil yang layak bagi pengantin Emirat.'"

Yasmeen meremas perkamen itu. Matanya menyipit membaca tulisan tangan yang tegar dan arogan. Kata 'memeriksamu' terasa seperti penghinaan. Seolah dia hanya benda mati, bukan penguasa.

"Pemeriksaan," gumam Tariq pahit. "Setelah kita berhasil menahan Zahir, mereka mengirim seseorang untuk menilai apakah kita masih layak diperbudak?"

"Bukan hanya itu, Khalī," potong Yasmeen, berbalik. Ekspresi kekanak-kanakannya lenyap. Sekarang, arsitek taktik berusia tiga puluh tahun yang terperangkap dalam tubuh anak kecil mengambil alih kendali. "Utusan Harith bukan diplomat atau birokrat istana. Di masa lalu, dia dikenal sebagai 'Pedang Timur'. Tugasnya membersihkan pengkhianat dan faksi-faksi kecil di pinggiran Kekaisaran. Mereka tidak datang untuk berdiskusi tentang Oasis Azhar atau aset Zahir."

Khalid menelan ludah. "Mereka datang untuk... menguji kekuatan kita?"

"Tidak, Khalid. Mereka datang untuk mencari alasan." Yasmeen kembali ke kursi tahtanya, tapi tidak duduk. Dia berdiri di depan kursi itu, tangannya bertumpu pada sandaran lengan berukir kayu kurma.

"Zahir telah gagal. Sekarang mereka harus memutuskan apakah Nayyirah harus sepenuhnya diserap, atau dibiarkan sebagai benteng pertahanan di gurun. Jika aku terlihat lemah, jika Emirat ini tampak rapuh, mereka akan merebut Nayyirah. Utusan itu akan memastikan aku cocok sebagai pengantin Emir, bukan hanya untuk menyatukan darah, tapi untuk menjadi perisai bagi kekuatan istana. Harith tidak pernah menikahi kelemahan."

Tariq mengangguk. Loyalitasnya mutlak. "Apa rencana kita, Penasihat Militer Utama yang baru? Apa yang harus saya persiapkan?"

Yasmeen menyadari pentingnya gelar barunya. Tariq harus bertindak sebagai otoritas militer sejati. Membuktikan bahwa Nayyirah sudah pulih dari kekacauan yang disebabkan Zahir.

"Kau harus bergerak sekarang, Tariq. Kita tidak punya waktu untuk drama diplomatik yang panjang," kata Yasmeen, suaranya tajam. Seolah mengukir perintah di batu.

"Pertama, seluruh kabilah Al-Jarrah yang ada di kompleks ini harus bersiaga. Bukan bersembunyi. Tampilkan mereka. Pastikan setiap sudut istana dijaga oleh loyalis Kabilah yang dipimpin Sayyid Faiq. Utusan itu harus melihat bahwa istana ini dijaga oleh militer yang loyal pada Darah Emirat, bukan sekadar pengawal bayaran."

Tariq memberi hormat dengan kepalan tangan ke dada. "Saya akan menempatkan Kabilah di pintu gerbang utama. Apa yang harus saya katakan pada Sayyid Faiq?"

"Katakan pada mereka: Ini bukan sambutan, ini demonstrasi kedaulatan. Tidak ada yang boleh menunjukkan kelelahan atau ketakutan akibat sidang Zahir. Semua harus bergerak dengan presisi militer," instruksi Yasmeen.

"Aku tidak mau utusan itu kembali dan mengatakan pada Emir Harith bahwa Nayyirah adalah kekacauan yang dipimpin oleh seorang gadis yang ketakutan."

Khalid, Wazir Administrasi, memberanikan diri untuk bicara. "Sayyidah, tiga jam terlalu singkat. Apa yang harus kita siapkan di Ruang Sambutan? Apakah kita akan menggunakan ruang Audiensi yang baru saja kita bersihkan?"

Yasmeen menggeleng. "Tidak. Ruang Audiensi berbau darah Zahir. Baik secara kiasan maupun fisik. Itu menunjukkan masalah internal. Aku ingin pertemuan itu diadakan di Aula Tarian Tua."

Khalid mengerutkan kening. Aula Tarian adalah ruang resepsi besar yang jarang digunakan dan lebih terbuka. Tidak ideal untuk pertemuan diplomatik rahasia.

"Aula Tarian, Sayyidah?" tanya Khalid hati-hati. "Bukankah itu terlalu terbuka?"

"Justru itu intinya, Khalid. Ruangan itu dikelilingi banyak jendela yang menghadap ke kebun kurma dan alun-alun utama. Harith ingin memeriksaku? Biar saja. Dan di saat yang sama, aku akan memastikan utusannya melihat kemakmuran Nayyirah—dan bahwa kita tidak menyembunyikan apapun." Yasmeen mendikte dengan cepat. "Pastikan perhiasan perak terbaik peninggalan Jaddī diletakkan di Aula Tarian. Aku ingin kemakmuran, keindahan, dan yang paling penting, sebuah singgasana. Hanya satu."

Khalid mengangguk. Dia mengerti pesannya: Tidak ada negosiasi setara. Hanya ada aku yang duduk, dan kalian yang berdiri.

Umm Shalimah, yang sudah sedikit tenang, bertanya, "Lalu, bagaimana dengan penampilanmu, Sayyidah? Apakah Anda akan mengenakan pakaian hijau gurun dari kemarin?"

"Pakaian itu bagus, tapi itu pakaian untuk berhadapan dengan Wazir loyalis. Ini Istana Kekaisaran. Ini harus menunjukkan kelas, kematangan, dan sedikit ketidakmampuan untuk didekati," jawab Yasmeen, melirik Umm Shalimah. "Siapkan jubah ungu tua milik ibuku. Yang ada bordir benang emas dan kerah tinggi."

"Tapi itu akan membuat Anda terlihat sangat serius dan... jauh dari Harith. Pakaian itu terlalu berat untuk anak seusia Anda," bantah Shalimah pelan.

Yasmeen tersenyum dingin. Senyum yang tidak sampai ke mata. Melainkan mengunci kekejaman taktis yang tak terhindarkan. "Justru itu. Aku harus memastikan Harith berpikir aku adalah beban yang serius, wanita tua sebelum waktunya, dan ratu yang kaku, yang akan merusak reputasinya di antara para Emir yang lebih muda. Utusan itu akan melapor kembali bahwa aku bukan pengantin yang bisa ia mainkan. Aku adalah gumpalan batu mulia yang tidak bisa ia ukir."

Khalid dan Tariq saling pandang. Diam-diam mengakui kecerdasan strategis gadis kecil itu yang luar biasa. Dia secara aktif mencoba menggagalkan daya tariknya, baik secara politik maupun pribadi, demi kebebasan Emiratnya.

"Bagaimana dengan pengawal di Aula Tarian, Sayyidah?" tanya Tariq.

"Aku hanya ingin kau, Khalī Tariq, dan Wazir Khalid. Tidak ada yang lain. Tidak ada dayang. Tidak ada penjaga istana biasa. Tiga lawan—berapapun utusan yang ia bawa. Itu menunjukkan bahwa aku percaya diri dan tidak takut pada mereka."

Yasmeen menutup matanya sejenak. Ini tes pertamaku di hadapan Kekaisaran. Jika aku gagal membuat Harith tidak tertarik sekarang, aku akan menjadi pengantin yang rapuh lagi. Dan jika itu terjadi, seluruh Nayyirah akan menjadi budaknya, seperti di masa lalu.

Yasmeen membuka mata dan mengunci pandangannya pada Tariq. "Aku harus memberitahumu satu hal, Khalī. Utusan ini... dia ahli strategi licik yang sering menggunakan kekerasan psikologis. Jangan pernah lengah. Apapun yang mereka katakan atau tanyakan padaku, kau hanya perlu mengangguk. Loyalitasmu adalah satu-satunya benteng pertahananku yang terlihat. Tunjukkan kekuatan yang tak tergoyahkan, dan itu akan menjadi sinyal bagi Harith bahwa menggulingkanku tidak akan mudah."

Tariq menunduk. Matanya menunjukkan pengakuan yang berat. "Aku akan menjadi perisaimu, Sayyidah. Penasihat Militer Utama ini akan berdiri tegak di samping singgasanamu. Tidak ada yang akan melewati jalanku."

"Bagus. Sekarang, pergi, cepat! Aku akan menghabiskan dua jam untuk menyiapkan mental dan fisikku. Umm Shalimah, segera siapkan pakaian. Khalid, segera koordinasikan dengan gudang perak."

Ketiga loyalis itu segera bubar, meninggalkan Yasmeen sendirian di tengah Ruangan Audiensi. Yasmeen berjalan pelan menuju salah satu jendela yang terbuka. Membiarkan angin gurun menyentuh pipinya yang lelah.

Malik, aku ingat desakan Zahir di akhir. Harith Al-Qaim akan tetap datang! Kau akan dipaksa menikah dan diinjak-injak di Kota Agung!

Kini, Harith tidak mengirim pasukan untuk menginjak-injak. Tapi mata dan telinganya. Dan yang jauh lebih berbahaya: Utusan itu datang untuk membawa kabar kepada Emir. Kabar yang akan menentukan takdir Emiratnya, dan takdir emosional Yasmeen di masa depan.

"Biarkan mereka datang," bisik Yasmeen. Membiarkan udara gurun yang panas mengeringkan kelelahan dari jiwanya. "Aku sudah mengalahkan pengkhianat internal. Sekarang saatnya berhadapan dengan penguasa eksternal."

Dua jam kemudian, Yasmeen sudah siap. Jubah ungu tua dengan bordiran emas tampak sedikit kebesaran di tubuh kecilnya. Memaksanya bergerak dengan postur yang kaku dan anggun—persis seperti yang dia inginkan.

Dia duduk di meja rias, Zahiya menyanggul rambutnya yang tebal, menjauhkannya dari wajah. Wajahnya polos, tanpa kosmetik. Semakin menonjolkan fitur tegas dan dinginnya.

"Kau terlihat seperti perwujudan ketegasan Jaddīmu, Sayyidah," puji Umm Shalimah, merapikan bahu Yasmeen.

"Aku harus menjadi dirinya. Jika aku gagal sekarang, maka Zahir akan menjadi lelucon pahit yang membunuh Emirat ini dari dalam," balas Yasmeen, pandangannya tertuju pada cermin. Dia melihat wajah kecil yang tenang itu. Tapi dia tahu, di bawah permukaan itu, kalkulator politik sedang bekerja keras.

Tiba-tiba, suara kuda meringkik keras terdengar dari luar istana. Sangat dekat. Itu bukan suara kuda kabilah. Itu suara pasukan kuda Kota Agung. Terawat dengan baik dan terlatih.

Umm Shalimah dan Zahiya tersentak. Mereka tidak menyangka Utusan itu datang secepat ini. Jam tangan menunjukkan, masih ada lima belas menit lagi dari batas waktu yang disebutkan dalam surat.

Yasmeen bangkit dari bangku rias. Tenang dan tanpa panik.

"Tariq pasti sudah siap," gumam Yasmeen.

Tiba-tiba, suara derap kaki Tariq terdengar cepat. Menuju pintu kamar Yasmeen. Dia tidak mengetuk, tapi langsung masuk. Wajahnya serius, dan bahkan ketenangannya terlihat tertekan.

"Sayyidah," lapor Tariq, "mereka datang. Tepat di batas waktu yang diperingatkan. Utusan itu tidak datang sendiri. Dia membawa kontingen penuh. Dan mereka... mereka tampak seperti pasukan invasi, bukan rombongan diplomatik."

Yasmeen hanya mengangguk, berjalan melewatinya. "Aula Tarian."

Saat mereka berjalan menuju Aula Tarian yang sudah dihiasi dengan perhiasan perak mengkilap, suara sepatu bot kulit berat mulai terdengar dari koridor utama—bercampur dengan derap kuda di luar. Irama yang mengintimidasi.

Mereka mencapai pintu masuk Aula Tarian. Yasmeen mengambil napas dalam-dalam. Tariq dan Khalid mengambil posisi di sisi kanannya. Di tengah ruangan, diletakkan singgasana yang diukir gajah kecil. Tempat Jaddīnya dulu menyambut tamu. Terlalu besar untuknya, tapi akan menunjukkan otoritas yang kuat.

Pintu ganda Aula Tarian terbuka lebar. Udara gurun yang sejuk masuk, diikuti oleh Utusan Harith dan para pengawalnya.

Yasmeen menatap tajam ke depan. Mempertahankan ekspresi kosong yang sudah dia latih selama dua jam terakhir.

Utusan itu—pria bertubuh kekar dengan wajah keras dan bekas luka yang melintasi tulang pipinya, mengenakan baju besi ringan dengan lambang Elang Hitam Istana—berhenti mendadak.

Dia jelas tidak menyangka akan disambut oleh pasukan loyalis yang tanggap, dikelilingi perhiasan yang menunjukkan kemakmuran, dan di hadapannya, duduklah seorang gadis kecil dalam jubah ungu berat, yang wajahnya sedingin baja.

Pria itu menyeringai. Senyum yang sama sekali tidak ramah.

"Anda pasti sang Sayyidah," kata pria itu. Suaranya dalam dan bergetar seperti gemuruh petir. Tapi dia tidak berlutut. Dia melangkah satu langkah lebih dekat. "Saya Zayd Al-Muzzaffar, Pedang Timur dari Emir Harith. Emir memintaku untuk menanyakan satu hal: Mengapa Yang Mulia menunda kedatangan Anda ke istana kami? Mengapa Emirat Anda berani—"

"Cukup," potong Yasmeen, suaranya kecil tapi tegas. Dia mengangkat tangannya dengan gerakan anggun. Memotong pertanyaan yang akan mengujinya secara provokatif. "Tariq, sebelum kita memulai pertemuan ini, suruh Utusan ini menanggalkan persenjataan di ambang pintu, dan biarkan semua pengawal itu menunggu di luar Aula. Aku hanya akan berbicara dengan Tuan Zayd. Dan dia harus ingat, ini Nayyirah, bukan kandang istana Emir. Dia datang sebagai Utusan, bukan sebagai—"

Zayd tertawa keras. Tawa mengejek yang disengaja untuk memecahkan ketegasan Yasmeen. Mata Yasmeen memantul kembali, tajam dan tanpa emosi.

"Aku datang dengan mandat dari Emir," jawab Zayd, menyentuh gagang pedangnya.

"Kau akan pulang tanpa mandat apapun jika kau tidak menghormati peraturan Emirat ini, Zayd Al-Muzzaffar," balas Yasmeen.

"Sekarang kau berhadapan dengan darah murni Sayyidah, bukan pelayan yang bisa kau—"

1
zaxviq
patriarki sekali lagi ide ini memang menguasai, keren Thor.
Sita Sakira
woii thor novel kamu yg ini bener bener haaaaa sukaa deg degan dan baru ini aku baca novel tentang timur tengah gini seruuu polll. pliss rajin rajin up hahahah sehat selalu yaa thor🤗
INeeTha: Terima kasih kaka... Baru ini komentar ada yang enggeh kalau ini cerita timur tengah... 🙏🙏🙏
total 1 replies
Melody Aurelia
aslinya cuma alat anak ini, dipake bapaknya yg maruk
Melody Aurelia
lah itu puterinya satu lagi piye?
Melody Aurelia
serem
Melody Aurelia
klan asalnya Zahir berarti ya?
Melody Aurelia
cape banget pasti jadi Yasmeen
Melody Aurelia
lagian ngga tau diri kau
Melody Aurelia
masih halus, nih mainnya
Melody Aurelia
aku bayanginya ko lucu, bocil ngasih perintah orang2 tua
Melody Aurelia
Zahir itu wali tapi berasa yang punya
Melody Aurelia
mulai tegang, penuh intrik politik sepertinya ini
Melody Aurelia
kasian baru 10 tahun udah ngurus pemerintahan
Melody Aurelia
Thor tanggung jawab... bawangnya kebanyakan disini... ku menangissss👍
Melody Aurelia
lah pede banget lo
Melody Aurelia
keren
Melody Aurelia
bedalah... baru balik dari akhirat nih😍😄
Melody Aurelia
khas banget... ide cowo lebih unggul dari cewek, kesel jadinya
SintabelumketemuRama
ini panglima tapi gampang panik😄
SintabelumketemuRama
mantappp
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!