NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:274
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 - Cahaya dari Dua Arah

Hening panjang merambat di antara pepohonan.

Yarun’ru Beta menatap tanah, sementara Raka masih terpaku pada luka-luka di punggungnya.

Setiap guratan itu menyimpan kisah yang tak terucap tentang kekuasaan, murka dan keberanian untuk menolak tunduk.

“Rasi P’rana...” gumam Raka pelan.

“Beliau masih hidup, meski dalam penjara. Itu artinya ajaran belum padam.”

Yarun’ru mengangkat wajahnya, pandangan matanya perlahan menghangat.

“Dan kau… anak dari barat, berjalan sejauh ini untuk menjaga bumi.”

Ia menghela napas panjang.

“Lucu, bukan? Aku lahir dari istana, tapi justru kau yang membawa napas bumi.”

Raka hanya diam sejenak sebelum berkata lirih,

“Bumi mengajarkan banyak hal.

Ia tak bicara, tapi menegur lewat banjir, kekeringan, dan kematian hutan. Kami hanya menerjemahkan suaranya.”

Senyum kecil melintas di wajah Yarun'ru samar, tapi tulus.

“Kalimat itu… persis seperti yang diucapkan Rasi P’rana.”

Ia menatap ke langit yang mulai memerah senja.

“Katanya, manusia yang kehilangan bahasa alam akan kehilangan dirinya sendiri.”

Raka mendengarkan dalam diam.

Ada getar dalam dadanya rasa hangat antara hormat dan takjub.

Ia sadar, di hadapannya bukan sekadar putra Lakantara, tapi seseorang yang juga haus akan kebenaran.

Yarun’ru Beta terdiam lama.

Tatapannya perlahan menunduk, lalu dengan langkah pelan ia mendekati Raka.

Wajahnya tidak lagi keras seperti sebelumnya, kini tampak menyesal dan penuh hormat.

Ia menautkan kedua telapak tangannya di depan dada, menunduk dalam.

“Maafkan kata-kataku, Raka.

Aku telah lancang menuduh sesuatu yang tidak kumengerti.”

Gerakannya lembut, penuh penyesalan.

“Aku… salah telah meragukanmu,” ujarnya lirih.

“Jika kau benar murid dari garis ajaran Rasi P’rana, maka engkau bukan pengikut sesajen, melainkan pewaris ajaran sejati.”

Raka menatapnya dengan mata teduh, lalu menunduk balik memberi salam yang sama.

“Tidak apa, Tuan Yarun’ru.

Kadang, kebenaran memang harus diuji lewat salah paham.”

Yarun’ru mempersilakan Raka duduk di atas batang pohon tumbang.

Ia lalu mengambil pakaian serat berwarna hijau yang sempat ditanggalkan, mengenakannya kembali perlahan sambil menarik napas panjang.

Setelah itu, ia berlutut di sisi bangkai harimau menempelkan tapak tangan di depan kepala untuk berdoa izin ke sang pencipta, kemudian mengambil belati di kakinya.

Dengan gerakan terlatih, Yarun’ru mulai menguliti kulit harimau itu setiap sayatan tampak hati-hati, seolah bukan semata-mata untuk mengambil kulit, tapi juga sebagai bentuk penghormatan pada makhluk yang telah gugur.

Raka memperhatikannya diam-diam.

Gerak Yarun’ru tampak tenang, berpengalaman, dan penuh makna bukan sekadar seorang pemburu, tapi seseorang yang memahami nilai kehidupan.

Raka menatap tubuh harimau yang terbujur di tanah.

“Apakah bangkai ini akan kau kubur, Yarun’ru?” tanyanya pelan.

“Jika dibiarkan, bukankah akan berbau busuk dan mengundang penyakit?”

Yarun’ru Beta berhenti sejenak dari pekerjaannya menyayat kulit.

Ia menatap Raka dengan pandangan tenang, lalu berkata,

“Biarkan saja di atas tanah. Tak lama lagi burung-burung bangkai akan datang memakannya.”

Ia menarik napas, menatap langit maruyung yang berwarna jingga senja.

“Itu hukum alam. Setiap kematian memberi hidup pada yang lain.”

Raka masih tampak ragu.

“Tapi… jika dibiarkan, tidakkah itu kotor?”

Yarun’ru tersenyum tipis.

“Justru sebaliknya.

Jika kubur bangkai, lalat akan datang menggali tanah, menyimpan benih telurnya di sana.

Telur itu aman dari burung bangkai dan serangga lain, lalu menetas di bawah bumi…

Dan saat tanah terbuka, penyakit akan keluar bersama udara busuknya.”

Yarun'ru menatap tubuh harimau itu lagi, lalu menambahkan,

“Namun bila dibiarkan di atas tanah, burung bangkai akan menghabisinya.

Mereka menjaga keseimbangan agar dunia tak ditimbuni bau kematian.”

Raka terdiam, lalu menatap harimau itu dengan pandangan baru.

“Aku mengerti sekarang… bahkan burung bangkai pun punya tugasnya di bumi.”

____

Yarun’ru Beta mengikat rapat gulungan kulit harimau dengan tali serat, menyelipkannya ke dalam kantung besar

. Ia juga mengambil beberapa gigi taring dan menaruhnya di kain kecil berwarna hijau gelap.

Setelah semua beres, ia mengenakan kembali jirahnya satu per satu — pelindung dada, bahu, dan kaki yang berkilau di bawah cahaya senja.

“Ayo,” katanya singkat sambil menatap langit barat yang mulai memerah.

“Kita tak bisa bertahan di sini. Gunung Asalga bukan tempat aman setelah matahari jatuh.

Harimau bukan satu-satunya pemburu di malam hari.”

Raka mengangguk, memungut tombaknya. Angin mulai turun dari puncak, membawa hawa dingin dan bau lembab dari lumut serta akar-akar tua.

Mereka berjalan menuruni lereng, menembus rimbun pepohonan yang perlahan diselimuti kabut tipis.

Langkah Yarun’ru mantap, tapi tidak tergesa, seperti seseorang yang hafal setiap lekuk jalur ini.

Raka mengikutinya dari belakang, memperhatikan bagaimana pemuda itu melangkah tanpa menimbulkan suara bahkan ranting kering pun tak berani patah di bawah tapaknya.

Setelah berjalan cukup jauh, mereka tiba di sebuah dataran kecil di bawah tebing batu.

Di sana berdiri pondok sederhana dari batang bambu dan serat pohon yang disusun rapi.

Yarun’ru mengambil dua batu rijang berwarna abu-abu kehitaman dari kantung kecil di pinggangnya.

Ia mengetukkan keduanya dengan cepat krak! percikan kecil memancar, menyambar serat kering di bawahnya.

Api pun mulai tumbuh, menjilat lembut dedaunan kering hingga menjadi nyala kecil yang menari di tengah malam.

“Pondok ini sementara saja,”

kata Yarun’ru sambil menaruh bawaannya di sudut.

“Aku membangunnya untuk tempat istirahat.”

Ia menoleh ke arah Raka, matanya lembut namun tetap waspada.

“Beristirahatlah malam ini. Angin di Asalga bisa menusuk tulang kalau terlalu lama di luar.”

Raka menatap sekeliling pondok itu. Meski sederhana, susunannya kokoh dan hangat.

Ia bisa merasakan tenaga dan keteraturan dalam setiap simpul tali, seperti tangan yang sudah lama terlatih membangun tempat perlindungan.

“Terima kasih, Tuan Yarun’ru,” katanya pelan sambil menunduk.

“Di barat, kami biasa berkata: orang yang memberi tempat teduh berarti memberi kehidupan.”

Yarun’ru hanya tersenyum kecil.

Ia menambahkan beberapa ranting ke dalam api, lalu duduk bersila di seberang Raka.

Cahaya oranye dari bara membuat wajah keduanya tampak separuh terang, separuh bayang.

Hening beberapa saat.

Hanya suara jangkrik dan desir angin yang menemani.

Yarun’ru membuka percakapan perlahan,

“Raka… apakah gurumu pernah berkata, mengapa manusia harus menjaga bumi bahkan ketika langit menolak mendengar doa mereka?”

Raka terdiam lama.

Matanya menatap bara api, lalu ia berkata pelan, hampir seperti mengulang sesuatu yang pernah diajarkan gurunya:

“Guru pernah berkata… bumi tak butuh manusia, tapi manusia yang butuh bumi.”

Raka menarik napas, lalu melanjutkan,

“Menjaga bumi bukan untuk membuat langit mendengar, Tuan.

Tapi agar kita tidak kehilangan pendengaran hati seperti langit yang kita anggap diam.”

Ia menatap api yang berkedip di wajah Yarun’ru,

“Kalau kita berhenti menjaga, berarti kita menyerahkan bumi kepada kehancuran. Dan ketika bumi hancur, tak ada lagi tempat bagi doa untuk berpijak.”

Langit mulai berwarna ungu tua, cahaya senja perlahan tenggelam di balik pepohonan.

Raka menatap api kecil yang menari di antara batu rijang, sementara Yarun’ru Beta sibuk menata potongan kayu agar nyalanya tak padam.

Suasana hening.

Hanya suara jangkrik dan desir angin gunung yang menemani mereka.

Setelah beberapa lama, Yarun’ru berbicara tanpa menatap Raka.

“Dunia Lakantara… kadang membuatku muak,” katanya lirih.

Yarun’ru menatap bara api yang berpendar di matanya.

“Lakantara selalu bicara tentang keadilan,” lanjutnya, “tapi keadilan itu hanya untuk mereka yang tinggal di dalam tembok.

Di luar sana, di tanah-tanah yang ditaklukkan, tak ada keadilan — hanya perintah dan ketakutan.”

Ia menghela napas panjang, suaranya getir.

“Itulah sebabnya rakyat di dalam Lakantara memuja ayahku, Yarun Rahu Ama, seolah ia Tuhan penegak keseimbangan… padahal darah orang luar yang membuat istana itu berdiri.”

Raka memandangnya dalam diam, tak ingin memotong kata-kata yang terasa jujur dan pahit itu.

“Tapi malam ini…” lanjut Yarun’ru pelan,

“Untuk pertama kalinya aku bisa berbicara tanpa topeng.”

Raka tersenyum tipis, menatap bara api.

“Kadang api kecil lebih jujur daripada istana megah,” katanya.

“Karena di sinilah, kita bisa melihat cahaya tanpa takut siapa yang menyalakannya.”

Yarun’ru menatap api itu lama, seolah memantulkan isi hatinya sendiri.

“Di dalam tembok istana, segalanya tampak damai.

Orang-orang tersenyum, musik terdengar setiap malam, dan tak ada wajah yang muram.”

Ia menatap jauh ke arah kegelapan hutan, suaranya mulai berat.

“Tapi begitu aku keluar dari tembok, aku melihat kenyataan yang berbeda.”

Wajahnya menegang, menahan getir.

“Rakyatku bekerja keras menanam, merawat, dan memanen demi keluarganya.

Namun dari sepuluh hasil panen, hanya dua yang boleh mereka simpan.

Delapan lainnya dikirim ke Lakantara sebagai upeti.”

Yarun’ru terdiam sejenak, menatap tanah yang dingin di bawahnya.

“Dua hasil panen itu tak cukup untuk bertahan dua musim.

Ketika persediaan habis, mereka memakan daun muda untuk menipu lapar… menunggu musim berikutnya yang belum tentu memberi harapan.”

Suaranya melembut, seolah membuka luka lama.

“Aku memilih hidup di luar tembok sejak umur siklus ke-sepuluh,” katanya.

“Bukan karena diusir… tapi karena ingin melihat sendiri kehidupan mereka yang katanya dilindungi Lakantara.”

Ia menarik napas panjang, mengingat sesuatu yang jauh.

“Aku tumbuh di tengah lingkaran batu yang mengurung kami dari dunia luar.

Lakantara berdiri di pulau besar di tengah danau, dikelilingi lima tembok yang membentuk lingkaran sempurna.”

“Untuk melewati tiap tembok, harus menyeberangi lima jembatan batu dan gerbang penjagaan.

Dan di luar tembok kelima, danau luas membentang sampai tembok terakhir di selatan yang memisahkan air danau dari laut.”

Ia menatap jauh, seakan melihat masa lalu di dalam matanya sendiri.

“Di situlah aku mulai mengerti, tembok itu bukan hanya melindungi kami dari luar… tapi juga mengurung hati kami di dalam.”

Suaranya merendah.

“Gerbang di tembok kelima dijaga ketat oleh pasukan terbaik Lakantara.

Tak seorang pun bisa lewat tanpa izin langsung dari Yarun Rahu Ama, disampaikan melalui para Sura, untuk melewati jembatan menuju daratan.”

Raka mendengarkan semua itu dalam diam, membiarkan kata-kata Yarun’ru mengalir tanpa tergesa. Sesekali ia memandang api, yang menari-nari seperti menirukan denyut hati temannya itu.

“Jadi, kau memilih melihat dunia luar sendiri… bukan sekadar mendengar cerita orang tua atau rahasia yang disampaikan melalui bisikan istana,” Raka akhirnya berkata pelan.

Yarun’ru mengangguk, matanya tetap menatap kegelapan hutan.

“Aku ingin memahami, Raka… memahami penderitaan yang tak terlihat dari dalam tembok. Mereka bukan angka yang bisa di hitung di istana, tapi manusia yang berjuang tanpa suara.”

Raka menarik napas panjang.

Suara angin membawa aroma tanah basah, dan suara malam seperti menyatu dengan cerita itu.

“Dan kau… kau tak ingin menjadi bagian dari penindasan itu?” tanya Raka, suaranya lebih serak daripada biasanya.

Yarun’ru tersenyum tipis, getir namun tegas.

“Menjadi bagian dari Lakantara berarti menutup mata pada ketidakadilan. Aku bisa hidup nyaman di dalam tembok, mendapat gelar, kemakmuran, bahkan pengakuan… tapi hati ini akan mati perlahan. Aku lebih memilih hidup dengan luka, daripada hidup dengan kebohongan.”

Ia menunduk, menatap bara api yang mulai memerah di ujungnya.

“Setiap kali aku melihat anak-anak memungut daun-daun muda untuk dimakan, aku tahu… Lakantara gagal menjaga keseimbangan yang mereka bicarakan. Keseimbangan yang mereka banggakan hanyalah ilusi di balik tembok-tegak istana.”

Raka menghela napas, hatinya terasa berat. Ia mulai memahami, meski tak sepenuhnya.

Api kecil di antara batu rijang itu kini terasa lebih hangat bukan sekadar panas, tapi hangat oleh kebenaran yang pahit.

“Maka malam ini… aku ingin kau tahu, Raka,” lanjut Yarun’ru, suaranya menurun menjadi bisikan.

“ada dunia lain di luar sana, dunia yang tak diakui Lakantara. Dunia yang penuh penderitaan… tapi juga dunia yang jujur. Aku memilih tinggal di sana, walau harus menanggung semua kesepian ini.”

Raka mengangguk, matanya menatap teman di depannya.

Hening.

Hanya suara api dan desiran angin yang masih menari.

Malam itu, di antara nyala api kecil, keduanya duduk dalam diam namun hatinya terasa sejiwa.

Baik Raka maupun Yarun’ru Beta sama-sama masih berpikir jernih dan menjaga kesucian hati, tidak terpengaruh oleh ajaran para Rasi palsu yang kini tersebar di negeri-negeri Lakantara.

Raka mendapat bimbingan langsung dari Rasi Laka, yang tak lain murid dari Rasi P’rana, sang pembawa wahyu sejati.

Sedangkan Yarun’ru Beta, diam-diam juga pernah menimba pelajaran dari Rasi P’rana di dalam penjara, meski hanya sebentar dan terbatas cukup untuk menyalakan cahaya kebenaran dalam dirinya.

“Mungkin kita tidak berbeda jauh, Tuan Yarun’ru.

Hanya jalan kita saja yang dipisahkan oleh tembok dan takhta.”

Raka membuka kain mengeluarkan sesuatu dan memakannya dengan lahap, Raka memberikan sesuatu ke Yarun'ru tiba tiba muntah..

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!