Revana Arnelita...tidak ada niatan menjadi istri simpanan dari Pimpinannya di Kantor. namun kondisi keluarganya yang mempunyai hutang banyak, dan Ayahnya yang sakit-sakitan, membuat Revana menerima tawaran menjadi istri simpanan dari Adrian Wijaksana, lelaki berusia hampir 40 tahun itu, sudah mempunyai istri dan dua anak. namun selama 17 tahun pernikahanya, Adrian tidak pernah mendapatkan perhatian dari istrinya.
melihat sikap Revana yang selalu detail memperhatikan dan melayaninya di kantor, membuat Adrian tertarik menjadikannya istri simpanan. konflik mulai bermunculan ketika Adrian benar-benar menaruh hatinya penuh pada Revana. akankah Revana bertahan menjadi istri simpanan Adrian, atau malah Revana menyerah di tengah jalan, dengan segala dampak kehidupan yang lumayan menguras tenaga dan airmatanya. ?
baca kisah Revana selanjutnya...semoga pembaca suka 🫶🫰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Bab 14.
Pagi itu, Adrian dan Revana sudah bersiap meninggalkan hotel. Suasana hening sepanjang mereka berkemas, tidak ada canda atau godaan kecil seperti biasanya. Kata-kata Adrian semalam masih menggema jelas di kepala Revana, membuatnya gelisah dan salah tingkah.
Di dalam taxi, Revana duduk di samping Adrian. Ia menatap keluar jendela, enggan menoleh ke arah Adrian. Tangannya memainkan ujung tas kecil di pangkuannya, mencoba mengalihkan kegugupan yang terus menghantui.
Adrian melirik sekilas, menyadari perubahan sikap gadis itu. Biasanya Revana akan membalas godaannya dengan kesal atau komentar ketus. Tapi kali ini ia diam seribu bahasa.
“Kamu masih memikirkan ucapanku semalam, ya?” kata Adrian dengan suara tenang.
Revana tersentak, lalu buru-buru menjawab tanpa menoleh.
“Saya… saya hanya merasa, sebaiknya kita tidak membicarakan hal itu lagi, Pak. Itu… terlalu berat untuk saya.”
Adrian tersenyum tipis, lalu menatap jalan di depannya.
“Aku mengerti. Tapi aku tidak akan menarik kata-kataku. Lamaranku tetap berlaku, sampai kamu siap.”
Revana menoleh sekilas, menatap wajah Adrian yang begitu tenang, padahal hatinya sedang bergejolak. Ia ingin membalas dengan tegas, tapi lidahnya kelu.
Perjalanan berlanjut dalam diam. Hanya suara musik lembut dari radio yang mengisi mobil. Namun, justru keheningan itu yang membuat Revana semakin gugup.
“Rev, kamu tidak perlu takut padaku. Aku tahu sikapku sering membuatmu kesal, tapi aku tidak akan pernah memaksamu melakukan sesuatu yang kamu benci.” kata Adrian memecah keheningan.
Revana akhirnya menoleh, menatapnya serius.
“Tapi Bapak harus tahu… saya bukan tipe wanita yang bisa bermain-main dengan perasaan. Kalau Bapak benar-benar serius, itu akan mengubah banyak hal. Bukan hanya untuk saya… tapi juga untuk keluarga Bapak.”
Adrian mengangguk, tatapannya lurus ke depan.
“Aku tahu. Dan aku sudah siap dengan segala konsekuensinya.”
Ucapan itu membuat dada Revana semakin sesak. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah.
Mobil terus melaju menuju bandara. Di dalam hati, Revana semakin bingung, apakah tawaran Adrian hanyalah godaan, atau sungguh-sungguh? Dan yang lebih menakutkan, mengapa hatinya perlahan goyah mendengar kesungguhan pria itu?
...☘️☘️...
Rumah Maria dan Gerald🏠
Setibanya di jakarta. Adrian langsung menuju ke rumah kedua orangtuanya Rumah itu terasa begitu hangat. Tawa Andrew masih terdengar samar dari kamar tamu, sementara Alesya duduk di ruang tengah, sibuk bercerita pada Oma tentang pesta ulang tahunnya yang sebentar lagi. Adrian menatap anak-anaknya dengan senyum tipis, tapi hatinya tetap diliputi kegelisahan.
Ia sudah berjam-jam berada di sana, namun belum juga ada niat untuk pulang. Rasanya enggan kembali ke rumahnya yang dingin dan hampa, meski seharusnya malam ini ia ada di sana.
Tiba-tiba langkah seseorang terdengar dari arah belakang. Gerald, ayahnya, berjalan perlahan dengan wajah serius.
“Adrian, ikut ayah sebentar ke ruang kerja.”
Adrian menoleh, mengangguk, lalu mengikuti ayahnya. Mereka masuk ke ruang kerja yang dipenuhi aroma kayu tua dan buku-buku klasik. Begitu pintu tertutup, Gerald langsung menatap putranya dengan tatapan dalam.
“Ayah perlu bicara. Ada sesuatu yang harus kamu tahu.”
Adrian menegakkan tubuh, firasatnya tidak enak.
“Ada apa, Yah?”
Gerald menghela napas berat.
“Kemarin malam, salah satu orang ayah kebetulan melihat Nadya. Dia sedang bersama teman-temannya, di sebuah bar. Mereka berpesta… dan Nadya mabuk berat.”
Adrian terdiam, wajahnya menegang. Tangannya mengepal di sisi kursi.
“Dengan siapa dia, Yah?”
Gerald menatap anak semata wayangnya itu dengan hati-hati
“Syukurlah, saat itu dia bersama seorang teman wanita. Tidak ada laki-laki asing di dekatnya. Tapi tetap saja, Adrian… kamu tahu betul, apa yang dia lakukan itu jauh dari pantas. Dia seorang istri, seorang ibu.”
Adrian menunduk, pikirannya bercampur aduk. Di satu sisi ada rasa lega karena Nadya tidak bersama pria lain. Tapi di sisi lain, hatinya cemas, tak ada bukti kesalahan fatal, hanya kebiasaan buruk yang semakin hari semakin nyata.
“Ayah… aku tahu Nadya sudah lama berubah. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa tanpa alasan jelas. Kalau aku bertindak sekarang, aku hanya akan terlihat mencari-cari kesalahan. Sementara anak-anak… mereka masih butuh sosok ibunya, setidaknya secara utuh.” ucap Adrian lirih.
Gerald menatap putranya dengan iba, lalu menepuk bahunya pelan.
“Ayah mengerti. Tapi jangan biarkan dirimu terus terkekang dalam keadaan seperti ini. Kalau Nadya terus begini, lama-lama bukan hanya rumah tanggamu yang rusak… tapi juga jiwa anak-anakmu. Sekarang saja anak-anakmu sudah kehilangan sosok ibunya.”
Adrian terdiam, matanya kosong menatap ke arah jendela. Hatinya semakin berat. Semua masalah menumpuk di pundaknya, rumah tangga yang hancur perlahan, anak-anak yang lebih memilih tinggal bersama kakek-nenek mereka, dan perasaan terlarang yang kini tumbuh kepada Revana.
Dalam hatinya, Adrian tahu, cepat atau lambat, ia harus mengambil keputusan besar.
☘️☘️
Lampu meja kecil di kamar Revana menyala temaram. Gadis itu duduk termenung di tepi ranjang, koper yang belum sepenuhnya dibongkar masih terbuka di sudut kamar. Bayangan kata-kata Adrian saat menawarkan pernikahan terus berputar di kepalanya.
"Menjadi milikku… menikah denganku."
Revana menggelengkan kepala, berusaha menepis ingatan itu, namun justru semakin membekas.
Suara dering ponsel di meja samping mengagetkannya. Nama ibunya muncul di layar. Revana segera mengangkatnya.
Dari telepon, suara ibunya terdengar cemas.
“Revana… maaf mengganggumu malam-malam. Tapi… obat ayahmu hampir habis. Ditambah kebutuhan sehari-hari… ibu bingung. Uang di tangan sudah menipis.”
Hati Revana langsung mencelos.
“Bu, jangan khawatir. Besok aku transfer. Ayah harus tetap minum obat, jangan sampai terputus. Jangan pikirkan soal uang, biar aku yang urus.” jawab Revana lembut, agar Ibunya tenang.
“Terima kasih, Nak. Ibu tahu kamu juga pasti capek. Tapi kami tidak bisa mengandalkan siapa-siapa lagi selain kamu. Hanya kamu yang kami punya.” suara Bu Mira terdengar lega.
“Iya, Bu… itu memang sudah kewajiban Revana. Tolong jaga Ayah baik-baik. Aku akan usahakan semuanya.” suara Revana sedikit bergetar.
Telepon ditutup, namun hati Revana semakin berat. Ia duduk kembali, menatap kosong pada tumpukan dompet kecil berisi buku tabungannya. Masih ada simpanan, tapi ia tahu betul, tabungannya tidak akan lama bertahan.
Tangannya meremas ujung sprei, napasnya berat.
"Bagaimana kalau uang itu habis? Bagaimana dengan Ayah dan Ibu? Aku tidak bisa membiarkan mereka kekurangan…"
Seketika, pikiran tentang Adrian kembali menghantam.
"Kalau aku menikah dengannya… hidupku pasti terjamin. Ayah dan Ibu juga tidak akan kekurangan lagi."
Revana langsung menutup wajah dengan kedua tangannya. Air matanya jatuh begitu saja.
“Ya Tuhan… aku bukan gadis matre. Aku bukan perempuan murahan. Tapi… apa aku harus berpikir realistis sekarang? Apa aku punya pilihan lain?” ucap Revana sambil terisak.
Hatinya berkecamuk. Antara harga diri, prinsip, dan kenyataan pahit yang menuntut pengorbanan.
Untuk pertama kalinya, Revana benar-benar merasa terjebak di persimpangan besar dalam hidupnya.
...☘️...
...☘️...
...☘️...