JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14. BELAJAR MENGENDALIKAN
Sejak kejadian-kejadian aneh menimpanya, Sadewa sadar bahwa ia tak bisa lagi berpura-pura hidup normal seperti remaja SMA kebanyakan. Ada sesuatu yang telah bangkit dalam dirinya, kemampuan melihat hal-hal yang seharusnya tak terlihat. Bukan hanya sekadar bayangan samar, melainkan wujud nyata yang menatap balik dengan tatapan dingin dan asing. Itu membuat Sadewa sering kali merasa tercekik dalam dunia yang tak sepenuhnya ia pahami.
Pintu kosan terbuka, membuat Sadewa semakin terbengong dengan yang ia lihat. Di dalam rumah sama mewahnya dengan gaya modern, bersih dan rapih. Arsel memersilakan dengan senyum ramah yang selalu mengundang rasa percaya. Lelaki itu hanya berusia dua tahun lebih tua darinya, seorang mahasiswa yang tampak biasa, namun di balik tatapan matanya yang teduh, tersimpan pengetahuan mendalam mengenai dunia gaib.
"Masuk, Dew. Jangan cuma bengong di depan pintu," ujar Arsel sambil menepuk bahu Sadewa.
Di dalam, suasana kosan itu jauh dari kata sederhana. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan abstrak dengan dominasi warna gelap, aroma dupa samar menyebar di udara, dan di sudut ruangan tampak beberapa benda ritual: kendi tanah liat, kain mori putih yang dilipat rapi, serta sebuah cermin besar bersandar pada dinding. Arsel sepertinya sudah memersiapkan apa yang dibutuhkan oleh Dewa untuk belajar tentang spiritual.
Tama, teman sekosan Arsel, duduk duluan sejak tadi, bersantai di sofa sambil memainkan gitar akustik yang ada di sisi sofa. Nada-nada lembut mengalun, kontras dengan suasana mistis yang menyelimuti ruangan. Wajahnya tampak lebih ceria dibandingkan Arsel, dengan senyum iseng yang hampir selalu menempel.
"Wah, akhirnya sampai di titik ini juga kamu, Wa," kata Tama sambil tersenyum lebar. "Siap-siap ya, Dew. Hidup kamu nggak akan sama lagi setelah ini."
Sadewa menelan ludah. "Bukannya sudah berubah sejak aku bisa melihat semua itu, Bang?”
"Belum," Arsel menyahut, suaranya tenang namun tegas. "Apa yang kamu alami selama ini hanya permulaan. Kamu belum benar-benar mengendalikan kemampuan kamu. Mata batin itu ibarat pedang bermata dua, bisa menyelamatkanmu, tapi juga bisa mencelakakan kalau tak terlatih."
Sadewa mengangguk, meski hatinya diliputi kegugupan. Ia tak tahu seberapa jauh ia siap melangkah, tapi ia sadar bahwa mundur bukan pilihan.
"Tapi apa nggak masalah belajar hal beginian di rumah mewah ini?" tanya Sadewa.
Arsel menatap Tama, lalu keduanya tersenyum dan kembali melihat ke arah Sadewa.
"Nggak akan ada yang marah, kosan ini memang khusus untuk orang-orang seperti kita," jawab Arsel.
Sadewa mengerutkan dahi, bingung.
"Nanti ada waktunya kamu bakal tahu. Ada sesuatu juga yang nanti akan kami kasih tahu tentang suatu kebenaran. Tapi itu nanti, setelah kamu paham apa itu spiritual," kata Arsel.
Sadewa hanya mengangguk. Ia penasaran tapi memilih untuk diam saja dulu. Tahu bahwa nanti Arsel dan Tama akan memberitahu yang mereka maksud.
Latihan pertama dimulai malam itu juga. Arsel mematikan lampu ruangan, hanya menyisakan cahaya redup dari lilin yang ditempatkan di tengah meja. Bayangan bergoyang di dinding, menambah kesan seakan ruangan itu berada di dimensi lain.
"Sadewa," kata Arsel, "kemampuanmu melihat tak kasat mata sudah terbuka lebar. Itu sebabnya kau sering merasa kewalahan, seolah semua roh dan bayangan itu datang sekaligus, menumpuk dalam pandanganmu. Sekarang kau harus belajar membatasi."
"Bagaimana caranya?"
"Bayangkan mata kamu seperti jendela dengan tirai. Kamu bisa membuka lebar, menyibak sedikit, atau menutup rapat. Saat ini tirai itu selalu terbuka penuh. Maka yang kamu lihat adalah segalanya. Padahal tidak semua perlu kamu lihat.”
Arsel lalu menyuruh Sadewa memejamkan mata. "Tarik napas dalam, lalu bayangkan tirai itu. Biarkan perlahan menutup. Rasakan pandangan kamu mengecil, menyisakan celah tipis."
Sadewa mencoba. Ia menarik napas, membayangkan sebuah jendela besar di dalam benaknya. Di baliknya, aneka bayangan samar menari, ada yang menatap, ada pula yang merintih. Dengan perlahan, ia menutup tirai itu, menyisakan hanya sedikit celah.
Saat ia membuka mata, ruangan tampak lebih tenang. Ia masih bisa merasakan keberadaan lain, namun tak sepadat biasanya. Hanya samar-samar, seakan mereka berada jauh di balik kabut.
"Bagus," ujar Arsel sambil tersenyum kecil. "Itu langkah awal. Ingat, kamu yang berkuasa, bukan mereka. Jangan biarkan pandanganmu dijajah."
Tama menimpali sambil tertawa kecil. "Anggap saja kayak nge-mute orang di media sosial. Biar tetap ada, tapi nggak ganggu timeline-mu."
Sadewa tertawa kaku, tapi penjelasan itu membuatnya lebih mudah memahami.
Latihan berikutnya lebih menantang. Arsel memadamkan lilin hingga ruangan gelap total. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak pelan.
"Kali ini," suara Arsel terdengar samar, "kamu harus belajar mencari. Menyadari keberadaan sosok tertentu. Tak hanya yang kebetulan muncul, tapi yang kau panggil secara sadar."
Sadewa menelan ludah. "Memanggil? Maksudnya ... hantu?"
"Bukan memanggil ke sini, tapi mengarahkan kesadaran kamu pada satu titik. Kamu harus tahu bedanya antara sekadar melihat dan benar-benar mencari," kata Arsel.
Tama yang kini duduk di dekat jendela ikut bicara. "Pikirkan saja kayak main petak umpet. Sosok itu bersembunyi, dan kamu yang harus tahu dia ada di mana."
Arsel lalu menyuruh Sadewa menutup mata lagi. "Aku akan menyalurkan energi ke satu titik di ruangan ini. Tugas kamu adalah mencari. Rasakan dengan batin kamu, bukan dengan mata kepala."
Sadewa menahan napas. Hening menyelimuti ruangan. Perlahan, hawa dingin terasa merambat di kulitnya. Ada sesuatu ... samar, namun jelas berbeda dari keheningan biasa. Ia memfokuskan pikirannya, membiarkan hatinya terbuka.
Sebuah tarikan lembut muncul di sisi kanan, dekat jendela. Semacam magnet halus yang mengundang. Sadewa membuka mata dan menunjuk. "Di sana."
Cahaya ponsel Tama tiba-tiba menyala, menyorot dirinya sendiri yang duduk di sudut. Ia terkekeh. "Betul. Kamu sudah bisa membedakan aura itu. Hebat bisa secepat ini dia belajar, Sel."
Arsel mengangguk puas. "Latihan ini akan sangat penting. Saat kamu menghadapi sesuatu, kamu harus tahu apakah ia benar-benar ada di sekitarmu atau hanya ilusi. Mengetahui titik keberadaannya membuatmu bisa lebih waspada. Karena mereka yang gelap sangat suka memanipulasi, jadi kamu harus bisa merasakan mana yang benar dan trik mereka."
Sadewa merasa dadanya lega, meski keringat dingin membasahi tengkuk. Latihan itu tampak sederhana, tapi membuat energinya terkuras.
Beberapa malam kemudian, setelah Sadewa terbiasa membatasi pandangan dan mencari keberadaan sosok, Arsel memperkenalkan latihan terakhir, yang paling berbahaya: rogo sukmo.
"Kau harus tahu," kata Arsel serius, "rogo sukmo bukan permainan. Ini adalah saat rohmu meninggalkan tubuh dan masuk ke dimensi astral. Jika tak hati-hati, kau bisa tersesat dan tak kembali."
Tama yang biasanya santai pun kali ini tampak serius. “Aku pernah hampir nggak bisa balik. Rasanya kayak ditarik ke jurang gelap tanpa dasar. Untung Arsel narik aku lagi. Banyak yang menjadikan rogo sukmo ajang permainan, sama sepertiku dulu. Dan itu berakibat fatal sampai aku kehilangan teman baikku."
Sadewa bisa melihat kilat sedih akan hal itu, semengerikan dan seberbahaya itu ternyata dunia astral.
"Untuk itu kami mengajarimu, karena kami yang paling tahu seberapa bahayanya mereka yang peka dan dapat menembus dunia astral jika tidak dilatih," kata Tama yang sudah kembali tersenyum.
Sadewa tercekat. "Kalau aku gagal?"
"Kami akan menjaga tubuhmu. Aku juga akan ikut melakukannya untuk menemanimu. Jangan khawatir," jawab Arsel mantap. "Tapi kamu harus percaya pada dirimu sendiri. Jangan biarkan rasa takut mengikatmu."
Latihan dilakukan di kamar Arsel. Sadewa berbaring di atas karpet, tubuhnya rileks namun pikirannya dipandu oleh suara Arsel.
"Bayangkan tubuh kamu adalah cangkang. Rasakan ada sinar di dalam dadamu, itulah sukma. Tarik napas dalam, lalu biarkan sinar itu perlahan keluar, melayang di atas tubuhmu. Perlahan kamu coba gerakan jari-jarimu dalam pikiran kamu, tidak benar-benar menggerakkan secara langsung. Satu demi satu jari-jari kamu. Dan perlahan coba bayangkan kamu bergerak seperti melepas cangkang telur," jelas Arsel.
Sadewa memejamkan mata. Ia membayangkan cahaya itu. Awalnya sulit, tapi perlahan ia merasakan tubuhnya semakin ringan, seakan-akan tertarik ke luar. Suara Arsel makin jauh, begitu pula suara jam dinding. Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya, hingga tubuhnya dalam bayangan di kepala.
Lalu, dalam sekejap, ia mendapati dirinya berdiri ... namun tubuhnya masih berbaring di tikar. Panik menghantam, membuatnya nyaris kembali. Tapi ia mengingat ucapan Arsel: jangan biarkan rasa takut mengikatmu.
Ia menatap sekeliling. Dunia tampak sama, namun berbeda. Warna-warna lebih redup, udara lebih pekat, dan dari sudut-sudut ruangan muncul bayangan yang biasanya tak terlihat. Mereka menatapnya, beberapa mendekat, namun tak menyentuh.
"Selamat datang di dimensi astral,"suara Arsel terdengar samar, seolah dari jauh namun masih bisa mencapai telinganya. "Kendalikan langkah kamu, jangan terlalu lama. Cukup sadari keberadaan kamu."
Sadewa mencoba melangkah. Rasanya ringan, melayang. Ia mendekati jendela, lalu menyadari bahwa ia bisa melihat keluar tanpa membuka kaca, seakan batas fisik tak berlaku lagi. Kota terlihat sunyi, namun ada cahaya-cahaya kecil bertebaran, bagai bintang yang turun ke bumi.
Hatinya bergetar. Dunia ini begitu asing, namun juga memukau. Sampai ia melihat sosok besar tinggi di luar rumah. Membuatnya gemetar karena takut. Itu amat sangat jelas.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
ternyata bener kn jadi tumbal
kenapa si dewa ini
apa ayahnya Dewa???