“Dikhianati suami, ditikam ibu sendiri… masihkah ada tempat bagi Andin untuk bahagia?”
Andin, seorang wanita sederhana, menikah dengan Raka—pria miskin yang dulu ia tolong di jalan. Hidup mereka memang pas-pasan, namun Andin bahagia.
Namun kebahagiaan itu berubah menjadi neraka saat ibunya, Ratna—mantan wanita malam—datang dan tinggal bersama mereka. Andin menerima ibunya dengan hati terbuka, tak tahu bahwa kehadiran itu adalah awal dari kehancurannya sendiri.
Saat Andin mengandung anak pertamanya, Raka dan Ratna diam-diam berselingkuh.
Mampukah Andin menghadapi kenyataan di depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Waktu berlalu. Tibalah saatnya pemilihan pemeran utama dalam film. Andin sedikit gugup. Karena ini adalah moment dimulainya perubahan didalam hidupnya.
Siang itu, Ruang utama studio dipenuhi desas-desus dan ketegangan. Di dinding besar terpampang sebuah papan hasil final casting film, nama-nama pemeran terpajang jelas—dan di saat Andin menatap papan besar itu, namanya terpampang jelas paling atas tertulis “Andin – Pemeran Utama Wanita.”
Seisi ruangan langsung riuh.
"Astaga, dia pemeran utamanya"
"Pantas sih, dia memang bagus kok" jawab salah satunya mendukung.
“Apa? Baru juga masuk industri, kok langsung pemeran utama?”
“Dia pasti pakai koneksi orang dalam.”
“Tidak mungkin, kan Clara lebih pantas!”
Clara berdiri di tengah kerumunan, wajahnya memerah menahan amarah. Bibirnya bergetar menahan gengsi yang tercabik. Tangannya mengepal erat, kuku-kukunya hampir menembus kulit telapak.
“Aku tidak terima!” desisnya tajam, lalu berbalik dan melangkah cepat menuju ruangan pamannya—salah satu co-produser film itu.
---
Pintu ruangan terbuka keras.
“Paman!” Clara langsung berseru dengan nada manja bercampur geram.
“Ini tidak adil! Nama Clara hanya ditempatkan sebagai pemeran pembantu? Padahal aku sudah berpengalaman, punya penggemar, dan sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun di dunia film! Mau ditaruh di mana wajahku kalau orang-orang tahu aku kalah dari orang baru tak dikenal itu?”
Pamannya, seorang pria berjas abu-abu dengan wajah datar dan tatapan tajam, menatap keponakannya lama.
“Clara…” suaranya berat.
“kau tahu keputusan juri bukan di tangan paman. Semua didasarkan pada hasil audisi.”
“Tapi paman!” Clara memotong cepat.
“Semua orang tahu dia hanya gadis miskin yang baru kemarin sore muncul! Kalau film ini gagal karena dia, nama keluarga kita juga ikut rusak! Aku mohon… ubah peran itu. Aku pantas jadi pemeran utama.”
Paman itu terdiam, lalu menarik napas panjang. Wajahnya kemudian berubah lembut karena rasa sayang keluarga yang tidak bisa disembunyikan.
“Baiklah, Clara. Paman akan urus. Tapi kau harus pastikan film ini sukses.”
Senyum licik muncul di wajah Clara.
“Tentu saja, Paman. Aku tidak akan mengecewakanmu.”
Beberapa jam kemudian, seluruh kru dan pemain dipanggil kembali ke aula utama.
Paman Clara berdiri di depan panggung, mikrofon di tangan, tersenyum lebar.
“Sebelum produksi dimulai, kami ingin mengumumkan perubahan kecil dalam daftar pemeran,” katanya tenang.
Semua orang mulai berbisik pelan. Andin berdiri di antara mereka, memegang naskah di tangannya, merasa ada firasat buruk yang menekan dadanya.
“Untuk peran utama wanita,” lanjut sang paman.
“kami memutuskan memberikan posisi itu kepada… Clara.”
Suara gemuruh langsung memenuhi ruangan.
Clara melangkah maju dengan langkah anggun penuh kemenangan. Ia menoleh ke arah Andin, bibirnya tersenyum miring penuh ejekan.
"Terimakasih paman" ujar Clara senang.
Clara turun dari panggung. Melangkah maju di hadapan Andin.
"Oh, maaf sekali,” ujarnya sinis.
“sepertinya mimpi menjadi bintang film harus kau simpan dulu. Dunia ini bukan tempat untuk orang tidak tahu diri seperti kamu. hahaha" Ujar Clara mengejek tertawa puas.
Andin menatapnya diam. Di balik ketenangan wajahnya, ada luka yang mengiris, tapi juga ada bara kecil yang belum padam.
“Dan untuk gadis baru ini…” Clara menatap Andin dari ujung kepala sampai kaki.
“…lebih baik pulang saja ke tempat asalmu. Jangan bikin malu dunia perfilman. Karena kamu tidak cocok untuk pekerjaan ini"
Beberapa orang tertawa kecil. Panitia lain hanya diam, tak berani menentang keputusan produser.
"Maaf Tuan." Andin berseru kepada Sarman, sebagai Co-Produser film ini.
"Kenapa pemeran utama harus diganti. Bukankah semuanya sudah dipilih sesuatu kemampuan. Saya berhak mencoba. Walaupun saya baru di industri ini, tapi saya yakin saya bisa melakukan pekerjaan ini" Andin langsung protes.
"Disini tidak ada tempat untuk orang rendahan seperti kamu" potong Clara cepat
"Usir dia dari sini!" perintah Clara kepada staf
Beberapa Staf langsung mengusir Andin pergi.
"Lepas!" Andin mencoba memberontak, namun tenaganya kalah jauh.
Sesampainya di pintu keluar, staf mendorong tubuhnya agak keras, membuatnya kehilangan keseimbangan. Tubuhnya hampir jatuh di ambang pintu utama gedung.
Namun tiba-tiba—sepasang tangan kuat menangkapnya tepat sebelum ia menyentuh lantai.
Ruangan seketika hening.
Langkah sepatu kulit terdengar tegas di atas lantai marmer. Sosok pria tinggi dengan jas hitam elegan berdiri di ambang pintu, menatap semua orang dengan aura yang begitu mengintimidasi.
Semua yang hadir spontan menunduk ketakutan. Bahkan sang paman yang tadi sombong kini memucat.
Clara menatap dengan mata membulat, suaranya tercekat.
“T–Tuan Hans…?”
Hans memandang mereka semua dingin, lalu menatap Andin yang masih ia topang dengan lembut.
“Apa industri ini sudah sebegitu rendahnya sampai mempermalukan orang yang berbakat hanya karena statusnya?”
Ruangan langsung beku. Tak seorang pun berani menjawab.
"Tuan, Hans. Dia hanya orang rendahan. Clara lebih berbakat dan berpengalaman. Jadi, saya.... " ujar Sarman.
"Cukup!" Bentak Hans. Membuat semua orang terdiam.
Hans menatap Clara sekilas—tatapannya menusuk seperti pisau.
“Mulai hari ini,” katanya tegas.
“aku yang akan mendanai film ini. Dan pemeran utama tetap menjadi milik Andin.”
Semua mata melotot. Clara tertegun, pamannya tak bisa bicara.
Hans kemudian menatap Andin yang masih terpaku di pelukannya. Tatapan lembut menggantikan dinginnya tadi.
“Bangkitlah, Andin. Dunia ini akan tahu siapa dirimu sebenarnya.”
Dan di tengah ruangan yang membeku, Andin menatap Hans dengan mata berkaca.
.
.
.
Bersambung.