Clarisa Duncan hidup sendirian setelah keluarganya hancur, ayahnya bunuh diri
sementara ibunya tak sadarkan diri.
Setelah empat tahun ia tersiksa, teman lamanya. Benjamin Hilton membantunya namun ia mengajukan sebuah syarat. Clarissa harus menjadi istri, istri kontrak Benjamin.
Waktu berlalu hingga tiba pengakhiran kontrak pernikahan tersebut tetapi suaminya, Benjamin malah kecelakaan yang menyebabkan dirinya kehilangan ingatannya.
Clarissa harus bertahan, ia berpura-pura menjadi istri sungguhan agar kondisi Benjamin tak memburuk.
Tetapi perasaannya malah semakin tumbuh besar, ia harus memilih antara cinta atau menyerah untuk balas budi jasa suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nula_w99p, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bba 14
Keduanya memakan sarapan dengan tenang, mereka sesekali bertatapan. Clarissa tak lagi memandang depan, ia tak kuat kalau harus di tatap Ben dengan senyuman anehnya.
''Jadi hari ini kita akan melakukan apa? Apa itu?'' Benjamin menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum.
''Hah?'' Clarissa tertegun, jangan sampai ia kembali salah paham dengan ucapan Ben. Dia memang selalu membuat orang berpikir macam-macam dengan kalimat yang di keluarkan mulutnya. ''Maksudnya?'
''Kamar, melihat kamar lagi. Bukankah masih ada kamar lain.'' Ternyata maksud Benjamin menaikan alisnya itu adalah menunjuk ruangan atas. Kenapa harus begitu sih, kan bisa langsung katakan saja tau tunjuk pakai jari. Membuat orang salah paham saja.
''Emmmm, itu-'' Clarissa tak melanjutkan ucapannya, suara dering ponsel membuat keduanya terdiam dan mencari letak suara itu berada.
Clarissa melangkah ke arah meja kecil di dekat televisi, ''aku jawab dulu.'' Clarissa melirik Ben yang sudah mengangguk.
Ia menyentuh ponsel miliknya yang sudah tertera nama pemanggilnya, Alan sang sekertaris Benjamin yang membuat panggilan.
''Halo,'' Clarissa meletakan ponsel tersebut di telinga kanan miliknya.
''Halo... Ibu Bos...'' Suara cempreng nan melas lelaki di sebrang membuat Clarissa menjauhkan sedikit ponsel tersebut, padahal ia sudah merendahkan panggilan ini tapi tetap terasa keras di telinga nya. Memang Alan, dia selalu cerewet dan berisik.
''Ada apa?'' Clarissa bertanya dengan tenang, mungkin sekertaris Benjamin itu ingin melaporkan sesuatu yang penting.
''Ibu Bos... Saya sangat tersiksa, kantor sekarang kacau balau setelah satu minggu Bos tidak ada. Bagaimana ini! Apa Pak Bos sudah sembuh? Kalau bisa saya ingin menyampaikannya pada beliau.''
Clarissa ragu, Ben saja tidak mengenali dirinya dan Keluarganya sendiri apalagi pekerjaan ditambah, di takutkan akan membuat kesehatan Ben terganggu. Lebih baik Ben tidak usah bekerja dahulu selama satu bulan, ia juga sudah mengatakannya pada Ayah mertuanya di telepon.
''Alan Ben memang sudah pulang ke rumah tapi kesehatannya masih belum pulih. Ku pikir lebih baik tidak memberitahukan padanya, kamu kan sudah tahu kalau dia kehilangan ingatannya jadi dia mungkin tidak ingat pekerjaannya juga. Aku sudah memberitahu Ayah juga kalau Ben tidak akan pergi ke kantor selama satu bulan.''
''Aduh, satu bulan? Bagaimana bilangnya ya Bu Bos! Kantor di tinggal Pak Bos satu minggu saja sudah begini apalagi kalau satu bulan, bisa-bisa bangkrut Bu Bos. Saya juga mengkhawatirkan keadaan Pak bos tapi saya juga tidak mau kehilangan pekerjaan saya.''
''Bukannya ada Ayah mertua, maksudku dia kan-'' Clarissa menghentikan sebentar pembicaraannya saat melihat suaminya sudah ada di dekatnya, jarak keduanya hanya beberapa senti. ''Halo Bu bos,'' suara Alan terdengar di telepon.
''Kenapa?'' Benjamin menatap tajam istrinya, ia jadi penasaran dengan penelpon itu. Sudah beberapa menit berlalu dan keduanya masih belum mengakhiri panggilan itu. ''Kenapa laki-laki?'' Suara lelaki tadi terdengar samar di ponsel yang masih bisa di dengar Benjamin.
''Oh ini Alan,'' Clarissa mengabaikan panggilan tadi yang masih belum di akhiri.
''Ah,'' Ben mengangguk dan tak mengatakan apapun lagi.
Clarissa menatap lekat suaminya, ''kamu ingat Alan?'' Dia sadar suaminya tak bertanya lebih lanjut tentang orang tersebut, biasanya ia penasaran.
Ben menggeleng cepat. ''Tidak, mana mungkin aku mengingat orang itu. Aku saja tidak mengingat Istri dan Ibu ku.''
''Uuuuh.... Tega sekali Pak Bos tidak mengingatku,'' suara Alan kembali terdengar dari ponsel.
''Sebentar lagi selesai, kamu lanjut saja makan sarapannya.'' Clarissa berusaha meyakinkan suaminya, takutnya kalau ia tetap di sini percakapan tentang pekerjaan terucap oleh sekertaris Benjamin itu. Bagaimana kalau suaminya kesakitan kembali, sudah satu kali ia merasa sakit kepala dalam seminggu ini. Kalau bertambah, Clarissa takut memperburuk kondisi nya.
''Baiklah-baiklah, hanya sebentar oke!'' Ben berusaha agar istrinya tak berlama-lama mengobrol dengan lelaki bernama Alan itu.
''Iya,'' Clarissa mengangguk pelan.
Setelah suaminya kembali ke tempat duduk, ia menempelkan ponsel tersebut kembali ke telinganya. ''Jadi seberapa kacau keadaan kantor sekarang? Tidak- tunggu dulu, bukan kah ada Ayah mertua ku. Kenapa bisa jadi kacau balau?'' Clarissa sedari dulu penasaran mengapa Ayah mertuanya selalu sibuk sampai tak punya waktu dan hanya dengan Ben tidak ada tidak mungkin membuat perusahaannya hancur.
''Huuh...'' Alan menghembuskan nafas panjang. ''Bu Bos tidak mengenal Bos Besar, walau dia punya posisi lebih tinggi tetapi tidak membuatnya menjadi pemimpin yang di butuhkan. Intinya Bos Besar yang menyuruh saya menghubungi Pak Bos, saya jadi bingung harus bagaimana Bu Bos.''
Apa? Yang benar saja, sekarang putranya sedang dalam masa pemulihan. Masa dia tega menyuruhnya bekerja, apa dia tidak memikirkan kesehatan darah dagingnya sendiri.
Clarissa tak habis pikir dengan Ayah mertuanya, tega-teganya menyuruh orang yang baru seminggu keluar dari rumah sakit untuk bekerja.
''Sudahlah, kalau Ayah mertua menanyakan Ben. Bilang saja kalau kesehatannya belum pulih, ia akan kembali bekerja dua minggu lagi. Ingat, ALan.''
''Siap Bu Bos, akan saya laksanakan perintah Bu Bos. Kalau begitu silahkan menikmati waktu Anda bersama Pak Bos.''
Telepon berakhir, Clarissa menyunggingkan sudut bibirnya dan kedua alisnya masih menyatu. Kesal, Clarissa sungguh sangat kesal. Kalau begini bertambah lagi masalah yang harus di pikirkannya.
Ada kutipan yang terkenal, like father like son. Ayah mertua nya itu pasti akan kemari cepat atau lambat. Ia punya sifat keras kepala dan tak mau mengalah yang sama seperti Benjamin.
Clarissa kembali duduk di tempat awal, Benjamin sudah siap menanyakan sesuatu yang sejak tadi ada di kepalanya.
''Sudah? Lama juga ya? Dia mantan mu?
Clarissa terbatuk-batuk, mengeluarkan sedikit air yang tadi ia sempat minum di gelas yang masih ia pegang. ''Hah? K-kenapa kamu bisa berpikir begitu, dia itu sekertaris mu.'' Sungguh, Clarissa heran dengan pikiran Ben ini. Bisa-bisanya berpikir begitu.
''Ohhh, aku punya sekertaris sendiri! Aku kaya?'' Ben penasaran dengan jawaban Clarissa.
''I-iya, kamu bahkan punya dua mobil dan yang satunya mobil sport yang paling mahal di dunia.'' Clarissa pikir semua manusia yang melihat rumah ini juga akan langsung berkata bahwa pemilik nya adalah orang kaya.
Bagaimana tidak, walau rumah ini tidak seluas Mansion atau kediaman turun temurun keluarga Halton tetapi di sini interior rumah yang ada terlihat bersinar dan elegan. Belum lagi banyak mainan mobil yang sekali di lihat saja sudah terlihat kemewahannya. Dan Ben juga sempat melihat koleksi tas nan dress di kamar Clarissa, semua itu di beli Benjamin bukan dengan uang sedikit.
''Waw, boleh juga diriku. Pantas saja kamu jatuh cinta padaku.'' Benjamin tersenyum gembira.
Sementara Clarissa hanya tersenyum kaku, bagaimana bilangnya ya! Sesungguhnya semua ini bukan yang membuatnya jatuh cinta pada Benjamin.
To be continue....