NovelToon NovelToon
SUAMI DADAKAN

SUAMI DADAKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta setelah menikah / Pengantin Pengganti / Pernikahan Kilat / Bercocok tanam
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Khanza hanya berniat mengambil cuti untuk menghadiri pernikahan sepupunya di desa. Namun, bosnya, Reza, tiba-tiba bersikeras ikut karena penasaran dengan suasana pernikahan desa. Awalnya Khanza menganggapnya hal biasa, sampai situasi berubah drastis—keluarganya justru memaksa dirinya menikah dengan Reza. Padahal Khanza sudah memiliki kekasih. Khanza meminta Yanuar untuk datang menikahinya, tetapi Yanuar tidak bisa datang.
Terjebak dalam keadaan yang tak pernah ia bayangkan, Khanza harus menerima kenyataan bahwa bos yang sering membuatnya kesal kini resmi menjadi suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Malam itu, suasana villa begitu hangat. Balkon dipenuhi cahaya lampu-lampu kecil berwarna kuning keemasan.

Di meja makan bundar, terhampar lilin yang berkelip lembut, dihiasi bunga mawar putih di tengahnya.

Khanza mengenakan gaun sederhana berwarna pastel, rambut panjangnya tergerai indah.

Reza duduk di depannya, tampak begitu tampan dengan kemeja putih yang digulung rapi di lengannya.

“Mas, terima kasih ya. Semua ini indah sekali” ucap Khanza sambil tersenyum malu.

Reza menggenggam tangan istrinya di atas meja.

“Aku janji sama kamu, Za. Mulai sekarang, nggak ada lagi air mata. Yang ada cuma kebahagiaan kita.”

Mereka makan dengan tenang, sesekali saling melempar candaan, tertawa kecil.

Sesaat dunia terasa hanya milik mereka berdua.

Namun, ketenangan itu mendadak terusik saat pintu balkon terbuka perlahan, menimbulkan suara berderit.

Khanza terperanjat, Reza refleks berdiri, tatapannya langsung berubah waspada.

Sosok pria tinggi dengan setelan hitam rapi masuk ke dalam. Senyum tipis menghiasi wajah Devan.

“Wah, suasana makan malam yang romantis sekali. Boleh aku ikut?” tanya Devan dengan nada santai, namun matanya penuh arti.

Reza mengepalkan tangannya, siap marah, tapi Khanza cepat memegang lengan suaminya.

“Mas, jangan terpengaruh,” bisiknya cemas.

Devan menarik kursi tanpa diminta, lalu duduk di samping meja mereka seolah ia tamu undangan.

“Khanza, aku harus bilang kalau kamu terlihat cantik sekali malam ini.”

“Apa maksudmu datang ke sini, Devan?”

Devan hanya terkekeh kecil, lalu mengeluarkan ponselnya.

“Aku cuma ingin mengingatkan sesuatu. Za, terima kasih ya atas ciuman yang kamu kasih waktu itu di pantai. Nggak pernah aku lupa rasanya.”

Khanza terkejut, wajahnya pucat seketika.

“Devan! Berhenti bicara ngawur!”

Reza langsung menoleh ke arah istrinya, alisnya mengernyit.

“Ciuman apa maksudnya, Za?”

Devan tersenyum puas, lalu menunjukkan layar ponselnya ke arah Reza.

Di sana tampak sebuah foto Khanza terlihat seperti sedang menikmati ciuman dengan Devan di tepi pantai.

Reza terdiam, dadanya bergemuruh.

“Lihat, kan? Bukti nyata. Masih mau bilang kamu nggak menikmati, Za?” sindir Devan dingin.

Air mata Khanza langsung jatuh. Ia menggeleng cepat, menggenggam kedua tangan Reza.

“Mas! Tolong percaya sama aku! Itu editan! Aku nggak pernah lakukan itu! Demi Allah, Mas, itu bukan aku!”

Reza menatap istrinya, matanya berkaca-kaca, antara marah, sakit, dan bingung.

“Za…”

Khanza memeluk suaminya erat-erat, sambil menangis di dadanya.

“Mas, aku mohon jangan percaya Devan. Dia cuma mau hancurin kita. Tolong, Mas percaya sama aku.”

Devan bersandar santai di kursinya, senyumnya licik.

“Percaya atau tidak, itu pilihanmu, Reza. Tapi ingat, gambar tidak bisa bohong…”

Suasana makan malam yang romantis berubah menjadi malam penuh ketegangan.

Reza menatap layar ponsel yang ditunjukkan Devan.

Hatinya seperti diremas kuat-kuat. Ia menoleh ke arah Khanza yang menangis memohon.

“Mas, itu nggak bener! Aku nggak pernah—”

PLAKK!

Tangan Reza melayang ke pipi Khanza. Suara tamparan itu menggema di ruang villa yang tadinya hangat.

Khanza terdiam, tubuhnya bergetar. Pipinya langsung memerah, air matanya jatuh semakin deras.

“Mas…” bisiknya lirih, penuh luka.

Reza menggertakkan giginya, matanya merah menahan amarah sekaligus sakit hati.

“Cukup, Za! Aku udah muak dengan semua kebohongan ini. Mulai sekarang aku jatuhkan talak padamu!”

Suasana hening seketika. Kalimat itu menusuk hati Khanza lebih dalam daripada tamparan barusan.

Tubuh Khanza melemas, kedua tangannya terkulai jatuh di sisi tubuhnya.

“Tidak, Mas. Jangan bilang seperti itu…” isaknya, suaranya pecah.

Namun Reza tak lagi menatap wajah Khanza yang sedang memohon.

Dengan langkah berat tapi penuh tekad, ia berbalik dan meninggalkan ruangan.

Pintu villa berderit keras saat ditutup, meninggalkan Khanza dalam tangis pilu.

Devan, yang sejak tadi duduk tenang, perlahan bangkit dari kursinya.

Ia mendekati Khanza yang masih terduduk di lantai, wajahnya penuh air mata.

Ia jongkok di depannya, lalu mendongakkan dagu Khanza dengan jari telunjuknya. Senyum tipis menghiasi bibirnya.

“Bagaimana rasanya, Za? Ditampar oleh laki-laki yang kamu cintai?” bisiknya lembut namun penuh ejekan.

Sejenak ia berhenti, lalu menambahkan dengan suara lebih dalam:

“Seperti kamu yang menampar aku waktu itu… sakit, kan?”

Khanza terisak, menepis tangan Devan dengan lemah.

“Pergi! Jangan ganggu aku!" r

Devan hanya terkekeh pelan, menatapnya dengan mata penuh obsesi.

“Tenang saja, Za. Aku di sini bukan untuk pergi. Aku di sini… untuk ambil yang seharusnya jadi milikku.”

Ketika Devan semakin mendekat, tangannya mencoba meraih wajah Khanza, tiba-tiba suara pintu villa terbanting keras.

“LEPASKAN DIA, DEVAN!”

Devan terperanjat. Dari arah pintu, sosok pria bertubuh tegap berdiri dengan tatapan tajam penuh amarah—Yanuar.

Sebelum Devan sempat bereaksi, Yanuar langsung maju menghajarnya. Tinju keras mendarat di wajah Devan, membuatnya terhuyung ke belakang.

“ARRGHH!” Devan mengerang, darah menetes dari sudut bibirnya.

“Kurang ajar kau, Yanuar!”

Namun Yanuar tak memberi kesempatan. Ia kembali menghantam perut Devan, lalu satu tendangan keras membuat tubuh Devan terhempas ke lantai.

“Jangan pernah sentuh Khanza lagi! Kau pikir aku akan diam melihat kau mempermainkan perempuan tak berdosa?!” bentak Yanuar dengan suara bergetar karena marah.

Khanza yang masih terduduk di lantai menangis terisak, tubuhnya gemetar hebat.

“Ya Allah….” bisiknya lirih.

Yanuar segera menghampiri, meraih tubuh Khanza, lalu memeluknya erat-erat.

“Tenang, Za. Aku di sini. Kamu aman sekarang.”

Khanza menggenggam bajunya erat, air matanya tak berhenti mengalir.

“Antarkan aku ke bandara, Yan. Tolong…” suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Yanuar menatap wajah Khanza dengan tatapan heran.

“Kamu mau kemana?!”

Namun Khanza hanya menggeleng pelan, matanya kosong, tak sanggup menjawab.

Tiba-tiba tubuh Khanza oleng, lalu terjatuh pingsan di pelukan Yanuar.

" Khanza!!” teriak Yanuar panik, mengguncang tubuhnya.

Matanya memerah, air mata menggenang tanpa bisa ditahan.

“Ya Allah, jangan ambil dia juga…”

Dengan sigap Yanuar mengangkat tubuh Khanza dalam gendongannya, meninggalkan Devan yang tergeletak lemah di lantai dengan tawa miring meski babak belur.

Di luar, angin malam Bandung berhembus dingin. Yanuar membawa Khanza masuk ke mobilnya, lalu melaju cepat menuju bandara.

Beberapa jam kemudian, pesawat meninggalkan Bandung.

Yanuar duduk di kursi pesawat dengan Khanza yang masih terbaring lemah di pelukannya.

Suaranya bergetar saat berbisik ke telinga Khanza yang tak sadarkan diri:

“Aku bawa kamu jauh dari semua ini, Za. Aku bawa kamu ke Bali. Di sana, kamu akan aman. Aku janji…”

Air matanya jatuh membasahi rambut panjang Khanza, sementara pesawat perlahan menembus langit malam.

Reza menginjakkan kaki di rumah dengan wajah gelap.

Langkahnya berat tapi penuh emosi yang tak terbendung.

Begitu pintu tertutup keras di belakangnya, ia langsung melempar kunci mobil ke meja, suara benturan logam terdengar nyaring.

Nafasnya memburu, dadanya naik turun. Ingatan tentang foto yang ditunjukkan Devan terus menghantam kepalanya, bercampur dengan tangisan Khanza yang memohon.

“Dasar penghianat…” desisnya pelan namun penuh amarah.

Reza berjalan menuju kamar, matanya liar menyapu seisi ruangan yang masih dipenuhi jejak istrinya.

Gaun pastel yang tadi dikenakan Khanza tergantung rapi di kursi.

Botol parfum yang biasa dipakai istrinya masih menebarkan aroma lembut.

Semua itu membuat hatinya makin bergejolak.

Dengan geram, Reza meraih gaun itu lalu melemparkannya ke lantai.

“Pergi dari hidupku, Za. Aku do'akan semoga kamu lekas mati!!” teriaknya sambil menendang kursi hingga terjungkal.

Satu per satu barang milik Khanza diambilnya.

Foto pernikahan mereka yang tergantung indah di dinding kini terhempas ke lantai, kacanya pecah berantakan.

Reza menatap wajah mereka berdua dalam foto itu, lalu menginjaknya dengan sepatu, kaca retak semakin parah.

Tak puas, ia meraih parfum Khanza, bedak, lipstik, semua dilempar ke lantai hingga berserakan. Suara pecahan memenuhi kamar.

Tangannya gemetar, matanya memerah. Ia berusaha keras menahan air mata, tapi gagal. Butiran bening jatuh juga dari sudut matanya.

“Kenapa, Za? Kenapa kamu tega hancurin aku begini?!” teriaknya lirih, hampir seperti rintihan.

Reza terduduk di lantai, punggungnya bersandar di tepi ranjang.

Tangannya menutupi wajah, isakannya akhirnya pecah.

Di tengah kekacauan barang-barang yang berserakan, ia meraih bantal yang masih berbau harum istrinya.

Didekapnya erat-erat, seakan mencoba mencari kehangatan yang baru saja hilang.

Namun semakin ia peluk, semakin sakit rasanya.

Senyum Khanza, tawa Khanza, semua membanjiri pikirannya.

“Aku benci kamu, tapi aku juga nggak bisa lepas dari kamu." gumamnya, suaranya bergetar, hampir patah.

Malam itu, rumah besar Reza dipenuhi suara pecahan, teriakan, dan tangisan seorang pria yang hatinya remuk oleh cinta dan pengkhianatan.

1
Dwi Estuning
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!