"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Penjelasan
Ruang keluarga itu sunyi. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar.
Keynan dan Aisyah duduk berdampingan di sofa panjang berwarna krem. Di hadapan mereka, Kian dan Kanya duduk bersebelahan. Namun tak ada kehangatan di antara keduanya. Hanya jeda. Dan satu kebenaran yang selama ini tersembunyi.
Keynan menyilangkan tangan di dada. Wajahnya tenang, tapi ada tekanan dalam tatapannya saat ia menatap anak semata wayangnya lurus-lurus.
“Sekarang,” ucapnya pelan, namun tegas. “Ceritakan. Kapan kalian menikah… dan kenapa kau tidak pernah memberitahu kami.”
Kian menarik napas panjang. Sekilas ia melirik Kanya, lalu menunduk.
“Saat itu… aku sedang mengurus proyek di Kalimantan,” ucapnya lirih. “Waktu itu, aku tidak sengaja menabrak Kanya. Kecelakaannya parah.”
Aisyah terpejam. Tangannya mengepal di pangkuan, menahan napas yang mendadak berat.
“Aku… aku menikahinya karena merasa bertanggung jawab,” lanjut Kian. “Semuanya terjadi sangat cepat. Aku tak sempat memberi kabar pada Papa dan Mama. Apalagi setelah tahu kalau… cidera itu membuat Kanya cacat permanen.”
Keynan tampak menegang. “Cacat… permanen?”
Kanya hanya menunduk. Wajahnya tidak menunjukkan reaksi, tapi kedua tangannya saling menggenggam erat di atas pangkuan.
Kian mengangguk. Suaranya makin lirih.
“Kakinya… pincang. Setelah kejadian itu, ayah Kanya—yang sedang menderita kanker pankreas stadium akhir—kondisinya memburuk. Beliau… memintaku menikahi Kanya secepatnya. Dan…”
Kian berhenti sejenak, menelan ludah.
“Beberapa menit setelah kami menikah… ayahnya meninggal dunia.”
Aisyah menyentuh dada, matanya mulai berkaca-kaca. Keynan diam membeku, tatapannya pada Kian berubah sayu—seolah menyadari bahwa anaknya membawa beban jauh lebih berat dari yang ia duga.
“Kanya saat itu masih sekolah di pondok. Setara SMA. Ia kembali ke pondok setelah kondisinya sedikit membaik.”
“Lalu?” suara Keynan kini melembut, tapi tetap tajam. “Kenapa tidak mengabari kami?”
“Aku berniat memberi tahu Mama dan Papa setelah Kanya lulus,” jawab Kian jujur. “Aku ingin membawanya ke rumah ini dengan pantas. Tapi… saat Kanya ikut karya wisata setelah kelulusan, kapal laut yang mereka naiki tenggelam.”
Aisyah terperanjat. “Tenggelam?”
Kanya mengangkat kepalanya sedikit, namun tetap diam.
“Tidak ada kabar darinya sejak saat itu. Bahkan namanya tidak tercatat dalam daftar korban selamat,” ujar Kian pelan. “Aku mencarinya, ke mana-mana. Tapi tak pernah menemukannya. Hingga… dia tiba-tiba muncul hari ini.”
Ruangan kembali sunyi. Kali ini lebih berat. Lebih sesak.
Keynan mengalihkan pandangan, menatap Kanya. Namun sebelum ia sempat membuka mulut, Aisyah menggenggam tangan suaminya, lalu menatap Kanya dengan mata berkaca-kaca.
Kanya menarik napas panjang. Dadanya terasa berat, tapi ia tahu—malam ini, tak ada lagi yang bisa ia simpan sendiri.
Aisyah menatapnya lembut, jemarinya mengepal di pangkuan, nyaris tak berani berkedip. Di sebelahnya, Keynan duduk dengan tenang tapi penuh sorot waspada. Sementara Kian… tetap menunduk, seperti sedang menimbang kata-katanya sendiri.
“Kanya… apa yang terjadi padamu setelah kecelakaan laut itu?” tanya Aisyah, suaranya nyaris bisikan, namun jelas terdengar menyusup ke lubuk hati. “Dan… kenapa baru menemui Kian hari ini?”
Kanya mengangkat kepalanya perlahan.
Tatapannya tak lagi kabur oleh ragu—malam itu, ia menemukan tempatnya sebagai seseorang yang berhak bicara.
“Aku terdampar di tepi pantai,” ucapnya pelan, “dan diselamatkan Umi Farida dan Kyai Zubair… orang yang tadi kita temui di lobi hotel. Mereka merawatku. Memberiku tempat. Dan izinkan aku tinggal di pondok pesantren mereka.”
Kian mengangkat wajahnya. Ada perih samar yang menyusup di matanya, ditahan oleh suara yang berusaha tetap tenang.
“Lalu kenapa kau tak mengabari aku?” tanyanya lirih. “Aku mencarimu ke mana-mana.”
Keynan menyilangkan tangan. Aisyah menatap Kanya, seolah ingin mendengar sampai akhir sebelum berkata apa pun.
Kanya menunduk sesaat. Jemarinya mengepal erat di atas kain gamisnya yang jatuh anggun.
“Dua tahun lalu… usiaku belum genap delapan belas. Aku bodoh, lugu, dan berpikir aku tahu segalanya. Kami menikah bukan karena cinta. Bahkan… sebelumnya kami tidak saling kenal. Hubungan kami berjalan datar. Hambar. Mungkin karena kami memang terpisah. Tapi entah kenapa… aku selalu merasa, Kian menikahiku bukan karena benar-benar ingin bertanggung jawab.”
Ia menoleh pada Keynan dan Aisyah.
“Tapi… karena tanah keluarga kami.”
Keynan mengerutkan alisnya. Aisyah membeku. Kian tertunduk.
Kanya melanjutkan dengan suara yang tetap tenang, meski matanya memerah.
“Ayah tak mau menjual tanah itu. Meski Kian menawarkan dua kali lipat dari harga pasar. Tanah itu… seperempat dari lahan tempat resort Kian berdiri. Tepat di tengah jantung lokasi. Dan… begitu akad nikah kami selesai… bahkan sebelum aku benar-benar sadar telah menjadi istri seseorang…”
Kanya menoleh pada Kian. Tatapannya lurus, tak bergetar.
“…Kian langsung menanyakan tentang tanah itu pada ayahku.”
Aisyah menutup mulutnya pelan. Keynan hanya menatap Kian—datar, namun menyakitkan.
Kian tidak bicara. Ia hanya memejamkan mata, seolah menerima tuduhan itu bukan sebagai kejutan… tapi penyesalan yang sudah lama ia pendam.
Kanya menarik napas lagi, kali ini lebih panjang.
“Waktu itu… aku marah. Tapi bukan hanya pada Kian. Pada diriku juga. Karena aku berharap terlalu banyak. Aku berharap bisa menumbuhkan cinta, padahal… dari awal, mungkin aku tak pernah diinginkan.”
Suasana ruangan berubah hening. Bahkan detak jarum jam di dinding terasa terlalu keras.
“Aku pergi karena ingin… menata hati. Aku ingin kembali bukan sebagai beban. Bukan karena kasihan. Bukan sebagai luka yang harus ditebus. Tapi sebagai istri… yang memang diinginkan. Yang dipilih. Bukan karena tak ada jalan lain.”
Air mata jatuh perlahan dari pelupuk matanya. Tapi Kanya tak menyekanya.
Ia hanya membiarkannya jatuh, seperti luka yang sudah terlalu lama tak diakui.
“Hingga akhirnya… aku dengar Kian akan menikah.”
Ia menoleh pada Aisyah dan Keynan.
“Aku datang ke rumah ini. Tiga kali. Tapi pagarnya selalu tertutup. Aku diusir. Bahkan Kyai Zubair… datang dan tetap tak diizinkan masuk. Tak satupun dari kalian tahu… bahwa aku hanya berdiri di balik gerbang, menatap rumah ini, berharap ada yang mengenaliku.”
Kian menggigit bibirnya. Kepalanya makin tertunduk.
Kanya menatapnya sesaat. Kemudian berkata lirih, hampir tak terdengar, “Dengan bantuan Kyai, aku tahu tempatnya. Tempat pernikahan itu digelar. Aku datang… bukan untuk merebut. Tapi untuk mengembalikan hakku. Sekaligus menanyakan satu hal yang tak pernah terjawab.”
Semua kembali diam.
Kanya menyeka air matanya dengan punggung tangan. Ringan. Lelah. Tapi akhirnya… lega.
“Aku tahu, aku naif. Egois. Tapi… itu satu-satunya cara yang tersisa, agar aku tahu… apakah selama ini aku benar-benar berarti.”
Ruangan itu hening.
Waktu seolah menahan napas.
Kanya menunduk pelan, lalu menatap lantai, seolah takut menatap mata siapa pun—atau mungkin, terlalu rapuh untuk bertemu kenyataan.
Hingga suara berat dan terkontrol itu memecah sunyi.
“Kian,” ucap Keynan, tenang tapi dalam. “Ada yang ingin kau katakan?”
Kian mengangkat kepalanya perlahan.
Tatapannya bukan sekadar letih, tapi penuh luka yang tak sempat diobati. Ia menatap Kanya sejenak, lalu menoleh pada ayah dan ibunya.
“Aku salah,” katanya akhirnya.
Satu kalimat itu menggantung di udara seperti pengakuan dosa.
Keynan menatap putranya tajam. Tapi Aisyah menghela napas lebih dulu—perlahan, namun cukup panjang untuk mengusir sebagian beban di dadanya.
“Aku memang sempat memikirkan proyek itu,” lanjut Kian. “Saat itu, semuanya kacau. Aku panik, dan... merasa dunia sedang jatuh di pundakku.”
Ia menatap ibunya. “Waktu itu aku pikir... kalau proyek itu tak terealisasi, aku gagal. Aku tak hanya kehilangan kerja keras, tapi juga nama keluarga. Reputasi perusahaan.”
Suara Kian mulai bergetar.
“Tapi saat aku menabrak Kanya... saat melihat kakinya yang tidak bisa lagi berdiri seperti dulu—semuanya berubah.”
Matanya menatap Kanya, basah.
“Awalnya... iya. Aku menikah karena rasa bersalah. Tapi setelah ayahnya meninggal—dan aku melihat Kanya menangis di atas ranjang rumah sakit tanpa daya... aku mulai melihat lebih dari itu.”
Kanya menggigit bibir. Jemarinya mencengkeram gamisnya erat-erat.
“Setiap malam aku memikirkan dia. Setiap pagi aku ingin sekali memberitahu Mama dan Papa, tapi aku... pengecut.”
Kian menggeleng pelan, menunduk.
“Aku takut kalian kecewa. Takut kalian pikir aku membuat keputusan gegabah. Aku pikir... aku akan menunggu sampai Kanya lulus. Aku ingin memperbaiki semuanya dulu. Biar saat aku mengenalkan dia pada Mama dan Papa... semuanya sudah siap.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
kanya aja sdh menyanggupi akan memberikan Hak nya kalau kamu sanggup mencintai nya Dan hidup selamanya bersamanya ..kamu aja yg plin plan mas kian
seharusnya kamu juga mikir setiap pernikahan Siri pihak yg paling di rugikan itu wanita, kalau bisa buat kanya menjadi istri sah secara agama Dan negara dulu.baru minta hakmu kian
Papa Keynan dan Mama Aisyahkah..kalo iya bagus dong biar Kian di kasih wewejang lagi dari Papa Keynan yang telah melanggar untuk menemui Friska bahkan memeluknya....
jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.
Lanjutkan kak Nana... 🙏🙏🙏 Aku Hadir lagi kak,setelah Menunggu Cukup lama,agar Novel ini Menandatangani Kontrak Eksklusid. Dan Akhirnya Sekarang Aku Bisa Baca 😁😁😁