NovelToon NovelToon
Gadis Magang Milik Presdir

Gadis Magang Milik Presdir

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Black moonlight

Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Auditorium

Auditorium yang biasanya hanya digunakan untuk acara perayaan kini dipenuhi suasana yang menegang. Ratusan karyawan duduk berbaris, beberapa menunduk, beberapa saling berbisik cemas. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang akan terjadi, tapi semua merasakan hawa panas dari ketidakpuasan yang sudah menumpuk selama berhari-hari di lantai eksekutif.

Pintu auditorium terbuka keras. Liam masuk tanpa menoleh ke siapa pun. Tidak ada senyum, tidak ada salam, hanya langkah tegas yang memantul di dinding, menggetarkan seluruh ruangan. Gema berjalan di belakangnya, tampak gelisah, tapi tetap menjaga ekspresi profesional. Liam naik ke podium, menatap ratusan bawahannya seolah menilai satu per satu nilai guna mereka.

Sunyi. Sunyi yang tajam.

“Baik,” Liam membuka suara, nadanya dalam dan dingin. “Pertanyaan pertama saya sederhana.”

Ia menatap seluruh ruangan dengan sorot yang membuat banyak orang otomatis mengerutkan bahu.

“Apakah di perusahaan ini…,” Liam berhenti sejenak, membiarkan ketegangan merembes masuk ke tulang semua orang, “…masih ada yang punya inisiatif?”

Beberapa orang menelan ludah.

“Atau semuanya hanya menunggu disuapi?” lanjutnya. “Menunggu diperintah, diberi tahu, diberi contoh, diberi dorongan… seperti anak-anak?”

Tak ada yang berani bicara.

“Sudah seminggu,” Liam menekankan, “SEMINGGU posisi sekretaris pribadi kosong. Dan apa yang terjadi? Kacau. Semua kacau.” Ia menunjuk ke meja depan. “Saya menerima laporan telat, dokumen salah format, klien menunggu karena jadwal bertabrakan, dan setengah dari kalian bahkan tidak tahu cara mengurus surat keluar tanpa nanya HR.”

Napasnya berat, bukan karena lelah, tapi karena menahan amarah yang sudah menumpuk.

“Saya ingin bertanya,” ucapnya, suaranya makin tajam, “sebenarnya kalian bekerja untuk apa? Untuk gaji? Untuk numpang nama perusahaan? Atau hanya berharap bisa pulang cepat tanpa peduli apa pun?”

Beberapa kepala menunduk lebih rendah.

“Dan ketika saya meminta satu orang, satu saja, untuk mengisi posisi sekretaris sementara… dari ratusan karyawan di ruangan ini tidak ada SATU pun yang bisa berdiri dan bilang ‘saya coba, Pak’.”

Ia mengulang dengan tekanan lebih kuat, “SATU pun tidak.”

Keheningan yang tercipta bukan keheningan normal — itu adalah keheningan yang memalukan. Keheningan yang membuat dada orang-orang terasa sesak.

“Kalian tahu apa yang itu tunjukkan?” Liam menatap mereka dengan tatapan yang sama sekali tidak memberi ruang untuk lari. “Itu menunjukkan bahwa integritas kalian rendah. Inisiatif kalian nol. Dan rasa memiliki kalian terhadap perusahaan ini… bahkan lebih rendah lagi.”

Kelopak mata beberapa karyawan terlihat berkedip gelisah. Ada yang mencatat sesuatu hanya agar tangan mereka tidak gemetar.

“Kalau kalian pikir pekerjaan administrasi itu kecil, kalian salah.” Liam mengetuk podium dengan suara keras. “Administrasi itu tulang punggung aliran kerja. Tanpa administrasi yang rapi, tidak ada strategi yang jalan. Tidak ada proyek yang bergerak. Tidak ada klien yang kita layani dengan benar.”

Ia menatap mereka satu per satu seolah ingin memastikan semua orang paham bahwa ia tidak sedang berlebihan.

“Dan sekarang,” suaranya berubah lebih rendah namun justru semakin menakutkan, “saya mulai mempertanyakan kualitas SDM yang kita punya.”

Beberapa orang dari HR yang duduk di barisan depan langsung menegang.

“Saya mulai bertanya-tanya,” lanjut Liam, “apa HR bahkan tahu apa yang mereka lakukan selama proses rekrutmen?” Ia mengangkat kedua tangannya. “Karena yang saya lihat adalah karyawan yang mudah panik, mudah menyerah, dan tidak punya fleksibilitas. Kalian diterima bukan untuk melakukan satu jenis tugas saja. Kalian diterima untuk memajukan operasional perusahaan. Titik.”

Ruangan terasa lebih panas. AC seolah tak berfungsi.

“Saya muak melihat orang-orang yang hanya mengerjakan yang ada di jobdesc, tanpa sedikit pun berusaha memahami gambaran besar.” Liam memutar pandangannya ke seluruh auditorium. “Kita perusahaan besar. Perusahaan besar bergerak cepat. Tapi kinerja kalian? Lambat. Selambat kereta tua.”

Gema di samping panggung hanya bisa menunduk. Ia tahu betapa frustasinya Liam beberapa hari terakhir. Dokumen menumpuk. Jadwal bertabrakan. Rapat tiba-tiba berubah jam. Klien komplain. Dan semuanya bermula dari satu posisi kosong yang tidak ada satu pun yang mau tempati sementara.

“Saya ulangi,” kata Liam lagi, nadanya kini seperti cambuk, “bukan karena tidak bisa. Tapi karena tidak mau.”

Liam menghela napas panjang, namun itu bukan helaan lega — itu helaan yang memperdalam rasa frustrasi.

“Dan kalian tahu apa yang paling membuat saya marah?” tanyanya, memberi jeda supaya kalimat berikutnya bisa menghantam lebih keras. “Kalian semua… butuh posisi sekretaris ini.”

Mata orang-orang terangkat, bingung.

“Saya yang setiap hari melihat kalian kewalahan karena tumpukan laporan, tumpukan email, tumpukan hal yang seharusnya tidak kalian kerjakan kalau kita punya sekretaris yang berjalan normal. Dan ketika kalian butuh, kalian diam. Ketika kalian dirugikan, kalian diam. Ketika perusahaan butuh, kalian diam.”

Ia menepuk podium sekali lagi. “Diam bukan bentuk loyalitas. Diam adalah bentuk kelalaian.”

Liam menunduk sebentar, namun ketika ia mengangkat kepala, suaranya kembali mengeras.

“Mulai hari ini…” katanya perlahan namun mantap, “…saya akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh karyawan.”

Ruangan langsung bergemuruh pelan — banyak yang panik tapi tak berani menunjukkannya secara jelas.

“Saya akan cek ulang kompetensi administrasi kalian. Fleksibilitas kalian. Kemampuan kalian mengambil keputusan mendadak. Dan terutama… kemauan kalian untuk bergerak tanpa diperintah.”

Ia menggelengkan kepala dengan ekspresi kecewa yang tidak ia sembunyikan.

“Saya tidak peduli berapa lama kalian bekerja di sini. Senioritas tidak penting kalau tidak ada kontribusi nyata. Saya tidak peduli gelar kalian apa. Saya tidak peduli kalian merasa nyaman atau tidak. Yang saya peduli hanya satu: perusahaan ini tidak boleh berjalan dengan mentalitas orang-orang yang malas berpikir.”

Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Ruangan tetap diam.

“Saya memberikan waktu tiga hari,” ucap Liam akhirnya, “untuk siapa pun yang merasa punya kemampuan atau sekadar keberanian untuk mengisi posisi sekretaris sementara, maju ke HR.”

Ia memberi tekanan ekstra pada satu kata: “BERANI.”

Liam mengambil map kecil di podium, menutupnya dengan suara keras, lalu berkata—lebih pelan namun jauh lebih menusuk:

“Kalau tidak ada yang maju… maka itu bukan lagi masalah kompetensi. Itu masalah mental. Dan saya tidak ingin perusahaan ini dipimpin dan dioperasikan oleh orang-orang yang mentalnya rapuh.”

Dengan itu, Liam turun dari podium tanpa menoleh ke siapa pun. Gema menyusulnya, meninggalkan ratusan karyawan terjebak dalam campuran rasa takut, malu, dan frustrasi.

Ruangan tetap diam bahkan setelah pintu menutup di belakang Liam. Tidak ada yang berani berdiri. Tidak ada yang berbisik. Semua hanya duduk dengan dada terhimpit, menyadari bahwa pidato hari itu bukan sekadar kemarahan… tapi peringatan keras akan perubahan yang akan mengguncang seluruh perusahaan.

1
Noer Edha
karya ini membuat kita masuk dalm arus ceritqnya...setiap kalimatx tersusun..dan memuaskan bagi sqya yang membacanya..
Evi Lusiana
sial bner nasib ana thor punya boss ky gk puny hati
Evi Lusiana
dasar boss aneh,msih mencari² titik lemah ny seseorang yg bnr² cerdas
Evi Lusiana
kesempatan datang bwt ana
Drezzlle
udah jatuh tertimpa tangga ya rasanya pasti
Evi Lusiana
betul kt lusi,ceo kok gk profesional
Evi Lusiana
egois gk sih si liam,jd bos besar hrsny profesional kko pun mo memberi hukuman sm ana y gpp tp jgn smp smua org jd mengucilkany krn kmarahan liam sm smuany
Evi Lusiana
bagus critany thor,perusahaan yg tdk hny mnilai fisik lbih k kmampuan calon karyawan ny
Evi Lusiana
percayalah ana tiada perjuangan gg sia2
Evi Lusiana
mewek bacany thor,bayangin hdp merantau sndr menanggung beban sndri
Evi Lusiana
semangat ana kebahagiaan menantimu
Valen Angelina
makanya Liam jgn jahat2 ..nnti jatuh cinta gmn wkwkwkw🤣
Valen Angelina
bagus ceritanya...moga lancar ya 💪💪💪
Valen Angelina
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!