Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.
Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Murid Baru dan Rahasia
"Weh, siapa yang sama Pak Raden?" Windi berdiri mematung di pojok aula sekolah. Matanya sempat salah fokus.
Di tengah kerumunan siswa baru, ia melihat sosok Bagas—Pak Raden—berdiri bersama seorang siswi perempuan yang bukan Aruna. Keduanya tampak berbincang akrab, lalu berjalan beriringan menuju lorong kantor guru.
"Anak baru, kah?"
Windi segera meraih ponselnya tapi mengurungkan niat untuk memotret. Dengan langkah cepat dan alis berkerut, ia bergegas kembali ke kelas.
Di ruang miliknya, Bagas duduk bersama seorang pria paruh baya berjas elegan—Pak Raffi—dan seorang remaja perempuan yang duduk bersedekap sambil menghela napas panjang.
“Terima kasih sudah menyambut kami, Bagas,” kata Pak Raffi, menepuk punggungnya ramah. “Kamu pasti masih ingat Aletta. Dulu kalian sering main bareng waktu saya masih aktif di yayasan. Sekarang ia kembali ke sini sebagai siswa.”
Bagas melirik sekilas ke arah gadis itu. Aletta hanya menatap lurus ke depan, ekspresinya kaku seperti patung lilin. Jelas, dia bukan tipe yang senang basa-basi.
“Tentu, Pak. Aletta makin dewasa sekarang,” jawab Bagas sopan. “Selamat datang kembali.”
Pak Raffi tersenyum. “Oh ya, bagaimana kabar ibumu? Bu Widuri masih dirawat?”
“Sudah pulang, Pak. Alhamdulillah kondisinya membaik,” jawab Bagas.
“Saya akan mampir nanti. Sampaikan salam saya, ya,” kata Pak Raffi.
Aletta menyela pelan namun tajam, “Ayah, aku kan udah bilang... aku nggak mau pindah ke sekolah ini.”
Pak Raffi menoleh, nada suaranya mulai serius. “Itu untuk kebaikanmu.”
Aletta menunduk. “Kebaikan... atau supaya aku jauh dari Ibu?”
Ruangan mendadak hening. Pak Raffi menarik napas berat dan berdiri.
“Saya titip Aletta ya, Bagas. Dia mungkin butuh waktu menyesuaikan diri.”
Bagas mengangguk. “Tentu, Pak. Saya bantu semampu saya.”
Setelah Pak Raffi pergi, Bagas menoleh ke Aletta. “Kalau kamu butuh sesuatu... atau peta sekolah... aku siap bantu.”
Aletta tetap cemberut. “Aku nggak perlu guru yang terlalu ramah.”
Bagas tertawa kecil. “Tenang, aku juga nggak ahli jadi wali kelas. Jadi kita impas.”
Bagas berjalan di lorong bersama Aletta yang menyeret langkah seperti terpaksa. Di tengah jalan, Aletta bertanya santai namun tajam,
"Kak Bagas, tunangan Kakak sekolah di sini juga ya?"
Langkah Bagas sempat melambat. Ia menoleh cepat. "Kok kamu tahu?"
"Ayah cerita. Katanya Kak Bagas mau dijodohin sama anak salah satu donatur utama sekolah ini."
Aletta melirik ke arah papan pengumuman ekstrakurikuler. "Wah, sekolah ini penuh drama ya."
Bagas hanya menghela napas. “Yah... kamu jangan ikut-ikutan nambah dramanya.”
Mereka sampai di ruang guru. Bagas mencari Bu Kamila, wali kelas Aletta.
Seorang guru lain, Pak Hendra, menyapa, “Bu Kamila nggak masuk hari ini, Mas Bagas. Mungkin kamu bisa antar murid barunya langsung ke kelas?”
Bagas menatap Aletta yang menyilangkan tangan, ekspresi malas-malasan.
Pak Hendra menambahkan, “Kamu kan kenal semua wali kelas, jadi harusnya nggak masalah.”
Bagas tersenyum kecut. “Iya, Pak… tentu. Saya antar.”
Begitu Pak Hendra berlalu, Bagas berbisik ke dirinya sendiri, “Ini sih bukan bagian dari jobdesk.”
Aletta menyeringai. "Tenang aja, Kak. Aku juga nggak niat bikin kerjaan Kakak tambah ribet."
Ia menambahkan pelan, “Tapi aku penasaran sih... tunangan Kakak itu yang mana, ya? Apa jangan-jangan aku sudah lihat?”
Bagas menghindari tatapannya. “Ayo jalan. Kamu kebagian kelas 12 IPA 1.”
Suasana kelas langsung ramai begitu Bagas membuka pintu dan masuk bersama seorang murid perempuan baru. Windi yang sedang ngobrol dengan Aruna langsung mematung.
“Kok… Pak Raden masuk bareng cewek?” bisik Windi pelan, mencolek lengan Aruna.
Aruna yang sedang membuka buku pelajaran langsung mengangkat wajah. Matanya membulat saat melihat Bagas berdiri di depan kelas—bersama seorang gadis manis berambut panjang yang tampak santai tapi elegan.
“Pagi semuanya,” ucap Bagas dengan suara tegas. Suasana kelas jadi hening.
“Bu Kamila sedang izin hari ini, jadi saya ditugaskan mengisi. Sebelum mulai, saya mau kenalkan murid baru.”
Ia memberi isyarat pada gadis di sebelahnya.
“Silakan,” ujar Bagas.
Gadis itu melangkah maju, senyumnya cerah tapi ada kilatan nakal di matanya.
“Hai semua. Nama aku Aletta Raffiandra. Aku baru pindah ke sini. Semoga kita bisa berteman baik ya.”
Sebagian anak bertepuk tangan sopan. Beberapa anak laki-laki langsung berbisik-bisik, tertarik pada murid baru yang tampak seperti model iklan es krim itu.
Windi masih menatap Aruna. “Tadi aku lihat dia sama Pak Raden juga.”
"Dimana?" tanya Aruna.
"Di aula. Aku merasa keduanya udah saling kenal sejak lama."
Aruna tidak menjawab. Ia menatap Bagas, dan saat itu Bagas juga sedang menatapnya. Pandangan mereka bertemu, dan seperti adegan slow motion dalam film, waktu terasa melambat. Aruna buru-buru mengalihkan pandangan, berpura-pura membuka buku catatan.
"Baiklah. Aletta kamu bisa duduk di kursi yang kosong," kata Bagas.
Aletta memperhatikan interaksi itu dari sudut matanya. Ia berjalan ke bangku kosong yang kebetulan... tepat di belakang Aruna.
“Seru banget sekolah baru ini,” bisik Aletta sambil duduk, lalu mengeluarkan pena dari tasnya dengan gaya santai.
Aletta menepuk pelan pundak Aruna dari belakang.
“Hai,” ucapnya sambil tersenyum manis. “Aku Aletta.”
Aruna menoleh, sedikit terkejut, tapi membalas ramah, “Aku Aruna.”
Senyum Aletta sempat mengembang, lalu... mendadak redup. Nama itu—Aruna—langsung menancap dalam kepalanya. Ia menatap Aruna dari ujung kepala sampai ujung sepatu.
“Aruna... putri tunggal Pak Agam Pramudya?”
Aruna mengerutkan kening. “Iya. Kok kamu tahu?”
Aletta menarik napas sambil mengatur ekspresi agar tetap terlihat manis, meski dalam hati ia ingin menjatuhkan pensil ke lantai hanya untuk melampiaskan kekesalan kecil yang tiba-tiba muncul.
“Ayahku... sahabat lama ayahmu,” jawabnya datar. “Dulu kami sering main bareng waktu kecil. Kamu mungkin lupa.”
“Oh ya? Maaf banget, aku benar-benar lupa,” kata Aruna sambil tersenyum sungguh-sungguh. “Tapi senang ketemu kamu sekarang. Semoga kita bisa akrab, ya.”
Aletta memaksakan senyum. Akrab? Dalam pikirannya muncul bayangan Bagas dan Aruna makan malam di greenhouse, lalu Bagas menatap Aruna dengan cara yang bahkan belum pernah dia dapatkan.
“Tentu,” balas Aletta dengan senyum palsu yang hampir profesional. “Aku juga harap begitu.”
Bel istirahat berbunyi. Aruna membereskan bukunya ke dalam meja. Ia melirik Windi dan memberikan kode.
“Ayo, kita ajak Aletta juga,” kata Aruna sambil menoleh ke bangku belakang.
“Aletta,” sapa Aruna. “Mau ikut ke kantin?”
Aletta menoleh pelan, lalu tersenyum tipis. “Nggak, terima kasih. Aku masih kenyang.”
Windi mengangkat alis begitu Aletta menolak. Begitu mereka keluar kelas, Windi langsung berbisik, “Kamu nggak merasa aneh? Tadi pagi aku lihat Aletta sama Pak Raden. Bareng jalan dari arah kantor guru.”
Aruna memutar mata, “Mungkin kenal. Ayah mereka kan katanya teman lama.”
“Tapi kan... bisa aja lebih dari sekadar kenal.” Windi makin penasaran.
Aruna terdiam. Kepalanya teringat satu momen ganjil—waktu Bagas tanpa sengaja memanggilnya "Aletta" di ruang guru, lalu buru-buru minta maaf. Saat itu Aruna mengira Bagas sedang lelah. Tapi sekarang...
“Jangan-jangan—” Aruna mengerutkan kening.
Sementara itu, di ruang guru yang sepi, Aletta berdiri di depan pintu ruangan Bagas.
Tok. Tok.
“Masuk,” suara Bagas dari dalam.
Aletta membuka pintu dan tersenyum manis. “Boleh ngobrol sebentar, Kak?”
Bagas sedikit terkejut melihatnya. “Lho, kok nggak ke kantin? Makan dulu sana, bisa bareng Aruna.”
Aletta menyipitkan mata sedikit. “Kenapa Aruna? Kak Bagas kenal baik ya sama dia?”
Bagas terdiam sepersekian detik. Ia ingat janjinya pada Aruna—tidak akan mencampuri urusan pribadi dan tidak menyebarkan status mereka di sekolah.
Ia menjawab cepat, “Dia murid di kelas tempat kamu masuk. Anak donatur juga, kamu bakal sering satu kegiatan sama dia.”
Aletta menatap Bagas. “Cuma itu?”
“Iya,” jawab Bagas, berusaha terdengar netral sambil menyibukkan diri dengan membuka buku absensi.
Aletta hanya tersenyum tipis, lalu menunduk.
“Oke, makasih infonya... Kak.” Nada suaranya pelan namun menyimpan sesuatu.
Setelah Aletta keluar, Bagas menghela napas berat.