Suami Masa Depan

Suami Masa Depan

Sup Tanda Cinta

Tok. Tok.

Suara ketukan pelan di pintu ruang rawat membuat Bi Rani menoleh dari kursi pengawasannya. Di ranjang, Aruna tengah duduk bersandar dengan wajah cemberut permanen sejak pagi. Bi Rani melangkah pelan ke pintu dan mengintip keluar, lalu buru-buru menutupnya kembali dan membalikkan badan.

“Non Aruna... itu Mas Bagas ada di luar. Mau jenguk katanya.”

Aruna mendesah panjang, lalu melempar pandang tajam ke jendela, seolah di sana ada jalan keluar darurat menuju dunia paralel. Nama itu lagi. Raden Bagaskara.

“Bilang aja aku lagi tidur. Atau... mimisan. Atau lagi tes MRI. Terserah. Pokoknya aku gak mau ketemu.”

Bi Rani mendekat dengan ekspresi setengah khawatir, setengah gatel pengen tahu.

“Tapi kan... dia itu, katanya calon suami Non Aruna. Mas Bagas baik lho. Ganteng juga, tinggi, nggak banyak gaya—”

“Bi!” potong Aruna cepat. “Itu semua akal-akalan Ayah. Laki-laki itu gila, mau-mau aja dijodohin sama aku. Baru ketemu dua kali langsung bawa sup ayam ke rumah sakit. Itu bukan cinta, Bi. Itu krisis identitas!”

Bi Rani menahan tawa yang nyaris meledak. “Jadi... Non maunya saya usir dia?”

“Kalau bisa, pakai alarm biar kena laser buat dia pergi,” sahut Aruna sambil menarik selimut sampai dagu.

Bi Rani mengangguk mantap, lalu membuka pintu dengan tenang. Bagas berdiri di koridor dengan senyum penuh harap dan... sekotak puding mangga di tangan.

“Oh... halo, Bu,” sapanya, sedikit gugup. “Aruna... eh, Non Aruna... bisa ditemui?”

Bi Rani menarik napas seperti mau memberi ceramah.

“Mas Bagas, maaf ya... Non Aruna sedang dalam fase... pengaruh obat. Maksudnya, habis minum obat. Sekarang Non Aruna sedang tidur, nggak bisa diganggu,” bisik Bi Rani sambil melangkah keluar, menutup pintu perlahan di belakangnya.

Bagas memaksakan senyum kecil, lalu mengangguk pelan. “Sayang sekali, saya bawa sup buatan Mama. Kalau gitu... titip sup ini aja, Bu.”

Bi Rani menerimanya dengan penuh drama seolah menerima warisan terakhir.

“Wah, terima kasih, Mas. Perhatian banget kamu, Mas. Tapi ya itu tadi... Aruna lagi istirahat. Tadi sempat ngomong sambil nguap tiga kali, tandanya udah ngantuk banget.”

Padahal yang tiga kali nguap itu Bi Rani sendiri tadi pagi.

Bagas memandang pintu dengan pandangan seorang pahlawan yang gagal menyelematkan dunia. Ia menyerahkan termos itu pada Bi Rani.

“Kalau gitu, titip ini ya, Bu. Bilang aja... semoga cepat sembuh. Tapi jangan bilang aku datang, ya. Kalau dia tahu, nanti malah tambah nggak enak badan.”

Bi Rani menahan tawa, tapi wajahnya tetap penuh empati. “Siap, Mas Bagas. Saya sampaikan. Semoga yang masak cepat jodoh juga ya...”

Bagas hanya nyengir, lalu berjalan pergi sambil melambai. Bi Rani mengintip balik ke dalam. Aruna masih pura-pura tidur dengan posisi yang terlalu dramatis untuk disebut alami.

Bi Rani meletakkan termos di meja.

“Nih, dari laki-laki gila yang katanya mau dijodohin.”

Aruna diam. Matanya melirik sekilas, lalu bersungut pelan. “Kalau dari toko yang enak, boleh aku coba.”

Bi Rani tersenyum menang. Aruna mendengus, tapi tak menjawab. Pipi kirinya sedikit memerah, entah karena demam... atau sesuatu yang lebih hangat dari sup ayam.

Ponsel Aruna bergetar di meja samping ranjang. Layarnya menyala, menampilkan nama yang langsung membuat alis Aruna naik satu sentimeter: Bagas.

Dengan ragu—dan sedikit kesal yang tidak terlalu jelas sumbernya dari mana—Aruna membuka pesannya.

“Hope you get well soon. Hope you like the soup :)”

Aruna mendecak. “Huh. Pake bahasa Inggris segala. Mau bikin aku jatuh cinta? Bahkan kalau dia kirim sup dari planet Mars juga nggak ngaruh.”

Bi Rani, yang sedari tadi sibuk mengaduk-aduk termos sup di atas meja, melirik sambil tersenyum nyengir.

“Jadi Non nggak mau makan supnya? Sayang lho, aromanya aja udah kayak masakan hotel bintang lima.”

“Bibi aja yang habisin. Anggap aja hadiah dari calon menantu... versi gagal,” kata Aruna, lalu menyender sambil menatap layar ponselnya lagi, sok cuek. Tapi tangannya nggak juga menaruh ponsel itu.

Bi Rani sudah siap dengan sendok dan mangkuk. “Wah, rezeki saya nih. Sup cinta berakhir di perut pengasuh.”

Aruna menghela napas. Jemarinya menggulir ke pesan Bagas yang sebelumnya. Semua sopan, perhatian, dan... menyebalkan.

“Dia pikir dengan sup hangat dan emot senyum bisa bikin hati cewek luluh?”

Bi Rani menyeruput supnya dengan puas. “Kadang iya, Non. Tergantung ceweknya... dan kaldunya.”

Aruna mengerling ke arah Bi Rani, lalu kembali ke ponselnya. Ia mengetik balasan singkat, lalu menghapusnya. Mengetik lagi. Menghapus lagi.

Akhirnya ia menaruh ponselnya dengan wajah jengkel—atau mungkin terlalu bingung untuk diakui.

“Bi, kenapa sih laki-laki baik itu datang di waktu yang salah?”

Bi Rani menjilat sendoknya dengan tenang. “Atau jangan-jangan... yang salah bukan waktunya. Tapi perasaan Non yang belum ngaku.”

Aruna memelototinya. “Bi!”

Bi Rani pura-pura sibuk dengan suapan berikutnya. “Saya cuma bilang supnya enak, kok.”

Dan di layar ponsel, pesan dari Bagas masih terpampang dengan harapan sederhana: semoga kamu suka supnya.

Pintu ruang rawat terbuka, dan sosok Pak Agam—dengan jas mahal dan aroma parfum khas pengusaha sukses yang terlalu dini pagi—muncul sambil membawa sekotak buah potong dan senyum lebar.

"Putriku!" serunya dramatis, seolah Aruna habis pulang dari ekspedisi ke Kutub Selatan, bukan sekadar opname karena demam tinggi.

Aruna mendesah pelan. “Papa...”

Pak Agam duduk di kursi sebelah ranjang, menaruh buah dengan hati-hati seperti sedang menata kontrak bisnis bernilai miliaran.

“Bagas datang tadi, ya? Papa senang, setidaknya hubungan kalian mulai... cair, dekat, harmonis.”

Aruna menyeringai kecil. “Pa, aku lagi tidur pas dia datang. Cair dari mana?”

Pak Agam mengernyit, lalu melirik ke arah Bi Rani. “Bi, dia tidur beneran atau bohong? Jangan-jangan akting lagi kayak pas pura-pura pingsan waktu disuruh ikut ke rumah Bagas?”

Aruna menatap tajam. “Pa!”

Bi Rani tertawa gugup. “Eehh... yang jelas... Non Aruna suka supnya. Itu beneran.”

Aruna mendengus. “Sup enak nggak berarti hatiku ikut lembek, Bi.”

Pak Agam menyandarkan badan, lalu menatap Aruna dengan gaya CEO yang sedang menjelaskan rencana merger ke investor keras kepala.

“Aruna, Papa serius. Perjodohan ini nggak bisa dibatalkan. Bagas itu calon yang tepat. Dia dari keluarga baik-baik, sukses, punya prinsip, dan—”

“Dan apa? Bisa bikin sup?” sela Aruna sinis.

“Dan dia bisa jaga kamu,” lanjut Pak Agam, tak teralihkan. “Papa butuh seseorang yang bisa Papa percaya buat mendampingi kamu. Apalagi sekarang kamu makin gede, makin... lincah pikirannya.”

“Lincah pikirannya?” Aruna melotot. “Pa, aku masih kelas tiga SMA, bukan pensiunan yang butuh pengasuh!”

Pak Agam menghela napas panjang, lalu menepuk tangan Aruna. “Makanya dipersiapkan dari sekarang. Biar hati kamu nggak kesasar ke cowok-cowok yang... ya kamu tahu sendiri, sok puitis tapi dompet tipis.”

Aruna melempar bantal kecil ke arah Papa-nya, tentu saja meleset.

“Pa, ini zaman demokrasi. Aku mau nikah kalau aku suka orangnya. Bukan karena dia lulus seleksi ala Papa.”

Bi Rani menyisip sup dari mangkuknya sambil menahan senyum. “Tapi yang jelas... seleksi sup-nya lulus, Non.”

Aruna mengerang frustasi. “Aku dikudeta di ruang rawatku sendiri...”

Pak Agam tertawa puas, lalu berdiri sambil merapikan jas. “Nanti Papa suruh Bagas datang lagi. Mungkin kali ini kamu bangun. Atau pura-pura tidur lagi?”

“Kalau dia datang lagi, aku pura-pura pindah rumah sakit.”

“Ya udah, nanti Papa beli rumah sakitnya sekalian,” kata Pak Agam enteng.

Aruna mendesah panjang. Di kepalanya muncul satu pemikiran sederhana: hidup ini memang nggak pernah tenang kalau Papa udah mulai bawa-bawa Bagas... dan bawa investor bernama cinta.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!