Karena menyelamatkan pria yang terluka, kehidupan Aruna berubah, dan terjebak dunia mafia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Api Balas Dendam
Hening pagi di Roma pecah dengan suara raungan mesin. Konvoi mobil hitam keluar dari mansion Leonardo, meluncur cepat menuju selatan—arah ke Palermo. Lampu-lampu kota berkelebat di jendela, sementara di dalam mobil paling depan, Leonardo duduk dengan wajah tanpa ekspresi. Luka di dadanya masih terasa, tapi api dalam dirinya jauh lebih menyala daripada rasa sakit itu.
Di sampingnya, Marco menatap dengan waspada. “Bos, kau belum pulih sepenuhnya. Kau yakin ingin terjun langsung malam ini?” Ada kecemasan dalam hati Marco, dia tidak ingin terjadi sesuatu pada bosnya.
Leonardo menoleh, tatapannya menusuk. “Mereka datang ke rumahku, Marco. Mereka menyentuh Aruna. Apa kau pikir aku bisa duduk diam menunggu laporan anak buah? Tidak. Aku sendiri yang akan menghabisi mereka.”
Marco menghela napas. Ia tahu membantah sia-sia. Leonardo sudah menyalakan bara dendamnya—dan tidak ada yang bisa memadamkan selain darah.
---
Persiapan
Di gudang senjata rahasia dekat pelabuhan, belasan anak buah sudah menunggu. Suasana tegang, bau besi senjata bercampur dengan keringat. Mereka semua mengenakan pakaian gelap, rompi anti peluru, dan senjata otomatis di tangan.
Leonardo turun dari mobil, langkahnya mantap meski lukanya belum sembuh. Semua orang menunduk memberi hormat.
“Dengarkan aku baik-baik,” suara Leonardo bergema, dingin sekaligus berapi-api. “Malam ini, kita pergi ke Palermo. Kita tidak hanya akan membalas, tapi juga mengirim pesan: siapa pun yang berani menentang ku akan berakhir di tanah. Tidak ada ampun. Tidak ada negosiasi. Mereka ingin perang—maka perang lah yang akan mereka dapatkan.”
“Perang!” Anak buahnya bersorak, menyalakan semangat yang membara.
Marco menatap Leonardo sebentar. Dalam hatinya, ia tahu setiap serangan seperti ini akan semakin menyeret Aruna lebih dalam ke dunia mafia. Tapi ia juga tahu, melawan keputusan Leonardo sama saja bunuh diri.
---
Aruna yang Ditinggalkan
Sementara itu, di mansion, Aruna berjalan mondar-mandir di kamar. Ia baru saja mengetahui bahwa Leonardo berangkat malam ini.
“Apa dia gila?” gumamnya, cemas. “Lukanya bahkan belum sembuh. Bagaimana kalau dia…”
Pintu terbuka. Seorang pelayan wanita masuk, membawa teh. “Nona Aruna, tuan Leonardo berpesan agar Anda tetap di sini. Dia melarang Anda keluar sampai dia kembali.”
Aruna duduk, wajahnya muram. Selalu begitu. Aku hanya ditinggalkan dengan janji kosong bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi setiap kali dia pergi, aku hanya bisa menunggu dengan hati gelisah.
Ia menggenggam cangkir teh, matanya menerawang. Apakah ini cinta? Atau aku hanya tawanan yang tak bisa bebas dari jeratnya?
---
Serangan ke Palermo
Malam itu, konvoi Leonardo memasuki jantung Palermo, wilayah yang dikuasai keluarga Ricci—salah satu rival lama yang diyakini dalang penyerangan mansion.
Mereka berhenti di depan sebuah klub malam mewah, markas Ricci yang terselubung. Musik keras terdengar dari dalam, tapi segera terhenti ketika pintu depan dihantam oleh ledakan.
“Avanti!” teriak Leonardo, melangkah paling depan sambil menembakkan senapan otomatisnya.
Hujan peluru memenuhi ruangan, kaca pecah, lampu neon berjatuhan. Anak buah Ricci berhamburan, sebagian sempat membalas, tapi kalah jumlah dan kalah kejutan.
Marco menutup sisi kanan Leonardo, memastikan bosnya tidak terkena tembakan langsung.
“Ricci ada di lantai atas!” teriak salah satu anak buah.
Leonardo mendongak, matanya merah. “Tangkap dia hidup-hidup. Aku sendiri yang akan menghakiminya.”
Mereka menerobos tangga, suara tembakan menggema di lorong-lorong sempit. Tubuh-tubuh bergelimpangan, aroma mesiu bercampur darah. Leonardo seperti singa yang dilepaskan dari kandangnya—brutal, tanpa belas kasih.
---
Pertemuan dengan Ricci
Di lantai atas, akhirnya mereka menemukan Don Salvatore Ricci, pria tua berperut buncit dengan setelan mahal, bersembunyi di belakang meja besar. Dua pengawalnya sudah mati, darah mengalir membasahi karpet.
Leonardo melangkah masuk, wajahnya dingin, senjatanya terarah.
“Leonardo…” suara Ricci gemetar. “Ini hanya kesalahpahaman. Serangan itu bukan dari kami. Aku—aku tidak pernah—”
DOR!
Sebuah peluru menembus lutut Ricci, membuat pria itu menjerit kesakitan.
Leonardo mendekat, menunduk. “Kau datang ke rumahku, Ricci. Kau menodai tanahku, kau menodai wanita yang kucintai. Dan kau pikir aku akan percaya omong kosongmu?”
Ricci menangis, tubuhnya gemetar. “Aku hanya menjalankan perintah. Ada yang lebih besar di balik semua ini. Aku hanya pion.”
Leonardo terdiam sejenak, matanya menyipit. “Siapa?”
Ricci menelan ludah, darah bercucuran dari lukanya. “Mereka… bukan mafia biasa. Mereka orang luar. Mereka punya koneksi ke Interpol. Mereka ingin menghancurkan semua keluarga besar, mulai dari De Santis.”
Leonardo terkejut, tapi hanya sekejap. Ia menarik pelatuk lagi. DOR! Peluru menembus kepala Ricci.
“Orang yang hanya pion tidak pantas hidup,” gumamnya dingin.
Marco menatapnya dengan khawatir. “Bos, kalau benar ada campur tangan Interpol, ini akan lebih rumit. Kita tidak lagi bicara tentang perang antar keluarga.”
Leonardo menatap keluar jendela, kota Palermo terbentang dengan lampu-lampu berkilau. “Kalau begitu, kita akan hadapi mereka juga. Siapa pun yang mencoba memisahkanku dari Aruna… akan kuhabisi.”
---
Luka Aruna
Di mansion, Aruna tidak bisa tidur. Suara tembakan dan jeritan masih terngiang di telinganya, meski ia jauh dari lokasi kejadian.
Ia berdiri di balkon, memandang ke arah langit malam. “Leo… jangan terus menyeret dirimu ke dalam darah. Aku takut akan kehilanganmu.”
Air matanya jatuh. Ia tahu hatinya sudah terikat pada pria itu, tapi bagian lain dari dirinya berteriak ingin bebas. Namun setiap kali ia mencoba membayangkan hidup tanpa Leonardo, dadanya terasa kosong.
Ini bukan cinta biasa. Ini obsesi. Dan obsesi ini… membunuhku perlahan.
---
Menjelang fajar, Leonardo dan anak buahnya kembali. Klub Ricci hancur, keluarga Ricci lumpuh. Tapi kabar tentang keterlibatan pihak luar—bahkan Interpol—mulai membayang-bayangi.
Aruna menunggu di mansion, wajahnya pucat, hati berdebar. Saat Leonardo muncul di ambang pintu, penuh darah tapi masih berdiri tegak, ia hanya bisa berlari memeluknya.
Namun, di balik pelukan itu, ada ketakutan yang tak terucap: semakin jauh cinta ini berjalan, semakin dalam mereka berdua terperangkap dalam jurang tanpa dasar.
To be continued ☺️