NovelToon NovelToon
Unexpected Love

Unexpected Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Kisah cinta masa kecil / Diam-Diam Cinta
Popularitas:254
Nilai: 5
Nama Author: Mutia Oktadila

Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.

Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.

Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.

Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.

Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.

Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 3

Zia menunduk ketakutan, tubuhnya gemetar setelah nyaris ditabrak oleh sebuah mobil mewah yang melaju cukup kencang.

Suara pintu mobil dibanting terdengar keras, lalu seorang cowok turun dengan wajah kesal. “Lo kagak punya mata apa?! Mobil lagi jalan, malah nyebrang sembarangan!” bentaknya.

Zia mendongak perlahan. Cowok di hadapannya... sangat tampan. Rambut hitamnya tertata rapi, dengan sorot mata tajam dan tubuh jangkung berbalut setelan kasual mahal. Tapi sorot matanya dingin, penuh penilaian.

“Malah bengong lagi,” gerutu cowok itu—Aksa, sambil melirik penampilan Zia yang sederhana. Sekilas ia langsung menyimpulkan bahwa gadis ini pasti dari keluarga kurang mampu.

“Ah, m-maaf,” ucap Zia tergagap, buru-buru bangkit dari posisinya yang jongkok.

“Ngapain sih lo di tengah jalan? Mau bunuh diri, hah?” suara Aksa terdengar makin tajam.

“A-aku dikejar… preman,” ucap Zia panik sambil menoleh ke belakang.

Aksa mendengus. “Mana ada preman yang mau repot-repot ngejar gadis miskin kayak lo.”

Perkataan itu menusuk. Zia terdiam. Dia tahu Aksa benar, tapi tetap saja, caranya bicara sangat menyakitkan.

“Emang aku miskin… tapi kamu juga nggak punya hak buat ngomong kayak gitu,” balas Zia lirih, namun mantap.

Aksa melipat tangan di depan dada. “Lo emang miskin. Gak usah nyangkal juga kali.”

Tiba-tiba, langkah berat terdengar mendekat. “Heh, kamu!” seru suara serak. Preman yang mengejar Zia akhirnya muncul, kakinya terseok karena kejadian tadi.

Zia spontan melangkah mundur dan bersembunyi di balik tubuh Aksa. “Iya, aku miskin, tapi... buat sekarang, bantuin aku dulu, ya?” pintanya setengah memohon.

Aksa mendecak. “Ck. Yaudah, diem. Gue urusin nih preman, biar gue bisa cepet pulang. Bukan karena lo.”

Preman itu mendekat. “Serahin tuh cewek!”

Aksa menatapnya dengan tatapan remeh. “ngapain kalian capek capek ngejar ni cewek miskin?! ”

Zia memutar mata kesal. Kata ‘miskin’ lagi-lagi keluar dari mulut cowok itu.

Beberapa menit berikutnya, perkelahian tak terhindarkan. Aksa dengan mudah menghajar preman itu hingga babak belur. Setelah terhuyung-huyung, si preman pun kabur.

Zia menghembuskan napas lega. “Fiuh…” lalu tersenyum manis. “Makasih…”

Aksa menatapnya. Senyum gadis itu begitu tulus dan manis membuat dia sedikit terenyuh, meski wajahnya sedikit berantakan.

“Ehemm,” ucap Aksa sambil melipat tangan. “Lo nggak mau bilang makasih nih sama gue?”

“Makasih, ya. Walaupun kamu nyebelin... tapi kamu baik banget,” ucap Zia polos.

Aksa mendengus. “Lo niat terima kasih nggak sih?”

“Niat dong. Tadi udah bilang,” kata Zia bingung.

“Lo ngucapin makasih atau lagi ngatain gue nyebelin?”

“Dua-duanya,” jawab Zia ringan.

Aksa mendecak. “Ck. Udahlah. Gue mau pulang.”

“Dadah! Sekali lagi makasih. Btw, nama aku Letizia Izora Emilia,” ujar Zia dengan semangat sambil melambaikan tangan.

“Gue nggak nanya,” jawab Aksa ketus sambil melangkah ke mobilnya.

Zia mendengus pelan. “Dasar nyebelin…”

Ia pun berbalik arah, melanjutkan perjalanan pulang. Dari dalam mobil, Aksa melirik lewat kaca spion dan tersenyum kecil.

“Cantik sih… tapi miskin. Bukan tipe gue,” gumamnya, sebelum akhirnya melajukan mobilnya menjauh.

___

Zia akhirnya tiba di rumahnya yang sederhana—sebuah bangunan mungil dengan cat dinding yang mulai mengelupas, halaman depan penuh dengan pot bunga layu yang jarang tersiram. Matahari sudah mulai tenggelam, dan langit senja seolah memantulkan letih yang terasa di seluruh tubuhnya.

Dengan napas berat, ia membuka pintu kayu rumah yang agak berderit. Namun baru satu langkah masuk—

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipinya.

Zia terhuyung ke belakang, menahan sakit di wajah dan tubuhnya yang sudah kelelahan.

“Bi… bibi…” gumamnya pelan. Walau sudah sering mendapat perlakuan seperti ini, hari ini rasanya lebih menyakitkan. Tubuhnya lelah, pikirannya kacau, tapi tetap saja… tangan itu tak mengenal belas kasihan.

“Gimana kamu ini, Zia? Saya dengar dari Juragan Tono, kamu nendang anak buahnya?! Hah?!” suara Bi Lina membentak, tajam dan penuh kemarahan.

Zia menunduk. “Karena… karena mereka mau macam-macam sama aku, Bi…”

“Gak gitu juga, Zia!” bentak Bi Lina lagi. “Kamu itu siapa? Anak nggak punya bapak, numpang di rumah orang! Kalau kamu bikin masalah, keluarga kita makin jelek di mata Juragan Tono!”

Zia menggigit bibirnya. Hatinya terasa panas. Tapi dia terlalu lelah untuk membela diri. Dia tahu... percuma.

“Masuk! Buatin makan malam. Di dapur ada sayur kangkung, masak aja itu!” perintah Bi Lina dingin sebelum membanting pintu ruang tengah.

“Iya, Bi…” jawab Zia lirih.

Ia menyeret langkah ke dapur, matanya basah, tapi tak ada air mata yang jatuh. Bukan karena tidak sedih… tapi karena sudah terlalu sering seperti ini.

Perlahan ia mengiris bawang dan menyiangi kangkung, meski tangannya gemetar dan tubuhnya nyaris ambruk karena kelelahan.

Di luar, angin malam berhembus lembut, seolah berusaha menghapus luka di hatinya.

____

Di ruang makan sempit itu, Zia duduk bersila di lantai, memakan nasi hangat dan sayur kangkung dengan lahap. Perutnya sejak tadi sudah kosong—seharian sepulang sekolah ia keliling kota, mencari pekerjaan sampingan apa pun yang bisa ia lakukan.

Namun baru saja ia menyendokkan suapan ketiga—

“Kamu jangan terlalu lahap makan nasi. Nanti habis, kita mau makan apa?” suara Paman Ardi menginterupsi, datar tapi menusuk.

Zia menghentikan sendoknya di tengah jalan. Lidahnya mendadak hambar. Di saat kebanyakan orang tua menyuruh anaknya makan banyak agar sehat, keluarganya justru sebaliknya. Ia belajar sejak lama, rumah ini tak pernah mengenal kenyamanan.

“…Maaf, Paman,” ucapnya pelan.

“tadi cari kerja gimana?” tanya Bi Lina tanpa basa-basi.

Zia mengangkat wajahnya. “Untuk hari ini belum dapat, Bi. Tapi Zia yakin… besok pasti bisa.”

“Kamu kira dua minggu itu waktu yang lama, Zia?” Bi Lina mengernyit, nada bicaranya tinggi. “Juragan Tono terus-terusan nagih hutang sama kita!”

Zia menggenggam ujung sarungnya erat. “Iya, Bi… Zia usahain cari kerja lebih giat lagi.”

Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berkata pelan, “Zia… cuma mau bantu bayar hutangnya Paman. Walaupun… Zia juga gak tahu uangnya dipakai buat apa.”

Paman Ardi langsung meletakkan gelasnya dengan suara keras. “Jadi kamu gak ikhlas?”

Zia cepat-cepat menggeleng. “Ikhlas kok, Paman. Cuma… Zia heran aja. Uang itu dipakai buat apa? Soalnya… makan aja kita ngandelin dari hutan belakang rumah.”

Bi Lina menoleh tajam. “Kamu itu masih anak kecil, Zia. Jadi gak semuanya bisa kamu tahu. Masih banyak kebutuhan lain, bukan cuma makanan!”

Zia hanya menunduk. Pundaknya lunglai. Ia tak ingin membantah—sudah terlalu sering itu berakhir dengan bentakan atau tamparan.

“Sana, cuci piring! Habis itu belajar yang giat. Supaya kamu bisa dapet kerja yang lebih tinggi,” lanjut Bi Lina, nada suaranya dingin seperti biasa.

“Iya, Bi…” jawab Zia, bangkit perlahan sambil membawa piring-piring kotor ke ember cucian.

Dari celah jendela dapur yang sudah retak, bulan menggantung di langit. Zia menatapnya sebentar, berharap bisikan malam bisa memberi sedikit kekuatan. Karena dalam dunia kecil yang sempit ini, dia tahu… satu-satunya yang bisa ia andalkan hanyalah dirinya sendiri.

---

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!