NovelToon NovelToon
ZAYRA

ZAYRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Diam-Diam Cinta / Bad Boy
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: MayLiinda

Kehidupan Zayn berubah dalam semalam karena orang tuanya tega 'Membuangnya' ke Pondok Pesantren As-Syafir.
"Gila gila. Tega banget sih nyokap ama bokap buang gue ke tempat ginian". Gerutu Zayn.
---
Selain itu Zayn menemukan fakta kalau ia akan dijodohkan dengan anak pemilik pondok namanya "Amira".

"Gue yakin elo nggak mau kan kalau di jodohin sama gue?". Tanya Zayn
"Maaf. Aku tidak bisa membantah keputusan orang tuaku."
---
Bagaimana kalau badboy berbisik “Bismillah Hijrah”?
Akankah hati kerasnya luluh di Pondok As-Syafir?
Atau perjodohan ini justru menjerat mereka di antara dosa masa lalu dan mimpi menuju jannah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MayLiinda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20

AUTHOR POV

Pagi itu, Pondok As-Syafir terasa berbeda. Langit Jogja biru bersih. Udara sejuk membawa aroma bunga melati dari taman depan. Para santri berjalan dengan langkah pelan, seolah tahu bahwa hari ini bukan hari biasa. Di aula utama pondok, sajadah panjang sudah digelar, bunga-bunga segar tertata sederhana, dan suara lantunan shalawat mengalun lembut.

Hari ini, akad nikah akan dilangsungkan.

Ahmad Zayn Fadlur Athalla, santri yang dulunya datang dengan luka dan kebisuan… akan menikah.

Dengan Amira Zahrattul Syafira, putri dari pemilik pondok sekaligus cahaya yang perlahan menyentuh luka-lukanya.

 

ZAYN POV

Gue duduk di sudut aula. Jas putih simple dengan peci hitam. Dada gue berdegup kayak genderang perang. Tapi kali ini bukan karena takut tapi karena terlalu banyak rasa dalam satu momen. Karena setelah 1 tahun gue belajar agama di Pondok Pesantren As-Syafir yang gue pikir bokap sama nyokap sengaja 'Buang' gue ternyata gue juga di jodohin sama anak pemilik Pesantren. Jujur awalnya gue pingin kabur ,tapi setelah gue pikir dan renungi lagi dalam hati gue bicara 'Mungkin ini emang yang terbaik buat gue,karena udah lama juga gue jauh dari Sang Pencipta'.

Hari ini gue lihat wajah bokap gue, Ahmad Fadlur Athalla. Tenang. Di sampingnya juga nyokap gue—Dania Rahmawati—terlihat tersenyum bahagia sambil sesekali menyeka air mata. Mereka yang dulu khawatir akan gue yang hilang arah… sekarang duduk di hari pernikahan gue.

Ustadz Zaki menepuk bahu gue, “Tenang, Zayn. Hari ini bukan soal caranya menjadi sempurna. Melainkan soal caranya berjalan di jalan yang lurus.”

Gue ngangguk membenarkan perkataan dari Ustadz Zaki yang selama ini dengan sabar ngajarin gue baca,nulis dan hafalan Al-Qur'an. Dalam hati gue berdoa,“Ya Allah, cukupkan hatiku untuk hari ini. Jangan biarkan aku goyah di awal yang Engkau ridhai ini.”

 

AUTHOR POV

Amira masuk aula dari pintu samping, didampingi Bu Nyai Fira Adinda. Gamis putihnya sederhana, tanpa hiasan berlebih. Tapi justru di situ letak keanggunannya. Wajahnya tertunduk, tapi langkahnya mantap.

Para saksi mulai duduk. Kyai Ahmad Syafi’i selaku Ayah Amira memimpin akad sendiri, tangan kanannya menggenggam tangan Zayn dengan erat.

“Ahmad Zayn Fadlur Athalla bin Ahmad Fadlur Athalla… aku nikahkan engkau dengan anak kandungku, Amira Zahrattul Syafira binti Ahmad Syafi'i dengan maskawin seperangkat alat salat dan hafalan surat Al-Baqarah ayat 1 sampai 5 dibayar tunai.”

Gue tarik napas.

“Saya terima nikahnya Amira Zahrattul Syafira binti Ahmad Syafi’i dengan maskawin tersebut, tunai.”

Seketika...

“SAH,” ucap para saksi serempak.

Suara air mata. Isak tertahan. Tapi juga ada senyum.

Hari itu, Zayn resmi menjadi suami Amira. Bukan dengan pelukan. Bukan dengan pesta. Tapi dengan saksi langit, dan niat yang tulus dari dua jiwa yang sedang belajar saling percaya.

 

AMIRA POV

Saat kuangkat wajahku, kulihat wajahnya Zayn yang sekarang sudah sah menjadi suamiku.

Zayn bukan lelaki sempurna. Tapi dia berani berdiri di hadapan Ayahku, di hadapan keluargaku, dan menerima aku apa adanya.

Dan saat dia mendekat dengan malu-malu, menyerahkan tangan untuk bersalaman, aku tahu... ini bukan akhir dari cerita.

Tapi justru…ini adalah awal.

“Bismillah ya,” bisik Zayn lirih.

“Bismillah,” aku jawab dengan mengangguk dan tersenyum sambil menatap matanya.

 

AUTHOR POV

Sorenya setelah akad dan makan bersama keluarga inti dan para santri dan santriwati, Zayn dan Amira berpamitan. Selesai sudah masa mondok Zayn selama hampir satu tahun. Kini, tanggung jawabnya bertambah. Sebagai suami. Sebagai pemuda yang akan kembali ke Jakarta, bukan lagi sebagai pembangkang, tapi pembelajar.

“Jaga amanah ini, Zayn,” pesan Kyai Syafi’i sambil memeluknya.

“InsyaAllah, Kyai…” suara Zayn bergetar.

"Mulai hari ini, kamu boleh panggil saya Ayah. Karena kamu juga anak saya sekarang." ucap Kyai Syafi'i sambil memeluk Zayn,sementara istrinya disampingnya menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan apa yang di ucapkan suaminya tersebut.

Kemudian Amira memeluk Bundanya,cukup lama karena Amira belum pernah jauh dari kedua oragtuanya. Matanya memerah, tapi tak ada penyesalan. Hanya kerinduan yang tertunda.

Hari itu, mobil keluarga Athalla melaju perlahan meninggalkan pesantren As-Syafir. Di dalamnya, dua jiwa muda duduk berdampingan. Sesekali saling pandang. Sesekali saling diam. Tapi hati mereka sama-sama tahu…

Mereka akan menghadapi dunia baru.

Tanpa mereka semua sadari...sedari tadi ada tatapan dari salah satu santri yang menatap mereka dari kejauhan dengan tatapan datar sejak akad nikah mereka berlangsung.

 

ZAYN POV

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 8 jam menggunakan mobil,akhirnya kita sudah sampai di kota Jakarta. Dan sekarang kota Jakarta terasa asing setelah lama gak gue lihat. Gedung tinggi, jalanan ramai, dan suara klakson. Tapi ada hal yang lebih aneh: gue pulang bukan sendiri.

Di samping gue… Amira. Istri gue.

“Lo baik-baik aja?” gue tanya pelan.

Dia mengangguk, “Sedikit canggung. Tapi aku yakin, Allah nggak salah kasih jalan ini.”

Gue senyum kecil. “Welcome to Jakarta, Bu Athalla.”

Dia menoleh pelan. “Thank you, Pak Athalla.”

Kami tertawa. Canggung. Tapi manis.

 

AUTHOR POV

Saat sampai mereka langsung masuk ke rumah orangtua Zayn. Amira kagum saat baru sampai didepan rumah Zayn,karena rumah orangtua Zayn begitu indah. Rumah keluarga Zayn berdiri megah di salah satu kawasan tenang di selatan Jakarta. Dikelilingi pepohonan rindang dan jalan masuk berlapis kerikil putih, bangunan itu memancarkan aura keanggunan yang sederhana tapi elegan. Tidak ada pagar tinggi atau kemewahan mencolok, tapi dari kejauhan saja, rumah itu sudah menyimpan wibawa.

Tiga lantai berdiri kokoh dengan cat putih bersih, dipadukan dengan detail kayu hangat di bagian atap dan jendela-jendela besar berbingkai hitam. Di lantai dasar, teras mungil menyambut dengan dua kursi rotan dan lampu gantung klasik yang menyala hangat saat malam. Pintu utama lengkung, menjanjikan kehangatan dari dalam rumah yang tak banyak bicara, tapi mengundang siapa pun untuk masuk dan mengenalnya lebih dalam.

Di lantai dua, balkon kecil dihiasi pot bunga gantung. Tempat di mana Bu Dania biasa menyiram tanaman setiap pagi sambil memandang jalan setapak. Sementara itu, jendela-jendela kaca besar di setiap lantai membuat cahaya pagi masuk dengan mudah, menerangi interior rumah yang didekorasi dengan warna netral dan sentuhan kayu.

Di halaman depan, sebuah mobil Mini Cooper putih terparkir rapi. Jejak ban di kerikil seolah menunjukkan bahwa rumah ini tak pernah benar-benar kosong selalu ada kehidupan di dalamnya.

Bagi Zayn, rumah ini bukan hanya bangunan tiga lantai dengan taman kecil dan lampu dinding antik. Ini adalah tempat semua kenangan awal tertinggal tempat pertama ia belajar makna diam, makna pulang... dan makna kecewa.

Dan kini, setelah sekian lama, rumah ini akan menyambut kembali seorang anak lelaki yang pulang dengan langkah baru. Bersama seorang perempuan yang tidak hanya akan menjadi istri, tapi juga teman hidup dalam perjalanan yang panjang.

"Ayo masuk." ajak Dania sambil menggandeng tangan menantunya yaitu Amira.

"I...iy..iya Ta..tan...tante." jawab Amira gugup.

Di belakang mereka Zayn dirangkul Papahnya dan mereka tersenyum geli melihat kedua wanita itu.

"Kok Tante sih Mira. Panggil Mamah biar kayak Zayn,lagian kamu kan juga udah jadi anak Mamah juga. Jadi jangan sungkan ya."

"Iya M..mah." jawabnya sambil menganggukkan kepalanya.

 

ZAYN POV

Mobil perlahan masuk ke jalan kerikil yang gue kenal sejak kecil. Suara ban menggilas batu-batu putih itu langsung bawa gue ke masa lalu waktu gue masih suka kabur malam-malam, pulang pagi, atau malah gak pulang sama sekali.

Tapi hari ini beda.

Di sebelah gue, duduk perempuan dengan gamis lembut warna abu terang. Amira. Istri gue. Gue masih agak kaku nyebut itu, tapi... nyatanya dia di sini. Di sisi gue. Di dalam satu mobil yang sama, menuju satu rumah yang sama.

Mobil berhenti tepat di depan bangunan tiga lantai berwarna putih itu. Rumah ini nggak banyak berubah. Jendela-jendela besar masih berdiri anggun, lampu gantung di teras masih nyala, dan balkon kecil di lantai dua masih penuh tanaman kesayangan nyokap.

Gue turun duluan, buka pintu untuk Amira. Dia sempat ragu sejenak sebelum melangkah.

“Ini... rumahmu?” bisiknya pelan, matanya menatap ke atas, menyusuri seluruh fasad bangunan.

Gue angguk. “Rumah kita sekarang.”

Dia tersenyum kecil, tapi gue tahu, dia lagi nyiapin diri buat hal-hal baru yang belum pernah dia lewatin.

 

AMIRA POV

Begitu kaki menyentuh batu kerikil di depan rumah ini, aku langsung sadar tempat ini bukan cuma besar, tapi juga... dalam dan indah. Dalam artian tempat menyimpan banyak kenangan yang belum tentu semuanya manis.

Tapi Zayn berdiri di sampingku. Tangannya menggenggam tasku dengan satu tangan, dan jemariku dengan tangan lainnya. Genggamannya erat, seolah mau bilang, 'Kalau kamu takut, aku di sini.'

Aku memandangi jendela-jendela besar di lantai dua, lalu pot bunga yang menggantung manis di balkon. Rumah ini sunyi, tapi tidak dingin. Tidak seperti bayangan rumah-rumah mewah di TV. Rumah ini... hangat. Tapi jelas bukan karena bangunannya.

Tapi karena Zayn yang ada disampingku.

 

AUTHOR POV

Pintu rumah terbuka. Langkah-langkah mereka di dalam rumah terasa ringan tapi penuh makna. Sofa cokelat tua, lampu gantung kristal kecil, dan rak buku besar di sisi ruang tamu masih tetap seperti dulu.

Tapi hari ini, ruang itu bukan lagi tempat konflik masa lalu.

Hari ini... rumah ini menyambut dua jiwa yang siap menata ulang hidup.

Bukan mulai dari nol.

Tapi mulai dari niat.

 

ZAYN POV

Gue liat Amira duduk di sofa, matanya menyapu sekeliling dengan pelan.

“Gue gak janji ini akan gampang,” gue bisik.

Dia balas lirih, “Aku gak cari yang gampang. Aku cuma mau kita belajar bareng untuk semuanya.”

Dan di antara dinding putih, cahaya matahari, dan secangkir teh hangat dari nyokap, gue tahu... rumah ini gak bakal jadi tempat pelarian lagi.

Tapi tempat belajar pulang. Bareng-bareng.

 

AUTHOR POV

Sore menjelang maghrib, rumah keluarga Athalla dipenuhi aroma tumisan dan wangi teh melati dari dapur. Bukan karena ada acara besar, bukan pula pesta syukuran mewah. Tapi sore itu istimewa, karena untuk pertama kalinya dalam hidup, Zayn duduk di ruang makan... bukan sebagai anak lelaki yang keras kepala, tapi sebagai seorang suami.

Amira membantu Dania di dapur. Masih canggung, masih gugup. Tapi tangan-tangannya mulai terbiasa menyentuh piring-piring baru, menakar gula dalam teh yang bukan buat dirinya sendiri.

“Kalau kamu capek, istirahat aja dulu ya, Nak,” ucap Dania lembut sambil melipat serbet makan.

Amira mengangguk sopan. “Insya Allah nggak apa-apa, Tan... eh, maksud aku Mamah.Maaf Mah”

Dania tersenyum. “Sudah Amira tidak apa-apa. Pelan-pelan ya,nanti juga terbiasa kok.”

 

ZAYN POV

Gue liat Amira masuk ke ruang makan bawa nampan berisi teh dan kue. Tangannya gemetaran dikit, tapi dia berusaha biasa. Gue liat nyokap dan bokap saling senyum waktu dia duduk di sebelah gue.

Bokap buka pembicaraan. “Gimana perasaan kamu setelah sampai dirumah ini dan jauh dari orangtua?”

“Jujur Amira belum pernah jauh dari orangtua Amira sendiri Om,tapi insyaallah Amira percaya sama Zayn kalau Zayn bisa jaga saya dengan baik,” jawab Amira pelan. Satu kalimat. Tapi cukup bikin ruang makan ini nggak sunyi.

Gue duduk di ujung meja, tepat di sebelah dia. Kita makan bareng. Gak banyak omongan. Tapi semua kayak ngerti… hari ini, keluarga ini nambah satu hati.

 

AMIRA POV

Rasanya aneh duduk di meja makan rumah orang lain… sebagai menantu. Tapi entah kenapa, suasananya nggak kaku. Hangat. Meskipun nggak ada tawa keras, atau canda berlebihan. Tapi semua terasa... cukup.

Dania sesekali menyendokkan lauk ke piring Zayn. Fadlur melontarkan nasihat kecil tentang menjaga shalat dan komunikasi. Zayn sendiri diam, tapi matanya sering nyuri pandang ke aku. Bukan pandangannya yang dulu yang tajam atau liar. Tapi lebih tenang. Lebih lembut.

Seolah dia juga... lagi belajar.

 

AUTHOR POV

Usai makan, mereka duduk di ruang keluarga. Zayn memainkan tasbih di jemarinya, Amira membuka mushaf kecil dari pondok. Tak ada percakapan romantis. Hanya saling tahu bahwa mereka sama-sama sedang belajar satu hal yang tak diajarkan oleh dunia luar yaitu menjadi keluarga.

Dania menyeduh teh satu kali lagi. Fadlur menyender di sofa dengan mata terpejam.

Lalu sebelum Isya, mereka berempat shalat berjamaah. Zayn jadi imam, suaranya masih sedikit bergetar, tapi Zayn yakin.

Dan di sujud terakhir, satu hal terucap dalam hati Amira dan Zayn hampir bersamaan,

"Ya Allah… hari pertama ini tenang. Semoga hari-hari ke depan tetap dalam lindung-Mu."

 

Beberapa hari kemudian, mereka pindah ke apartemen Zayn yang tak jauh dari kampus tempat mereka kuliah. Sebuah apartemen minimalis yang sederhana, tapi cukup untuk dua orang yang sedang belajar jadi dewasa.

Meja belajar berdampingan. Nama-nama sebuah Universitas tertempel di dinding. Karena mereka belum menentukan mereka akan kuliah di Universitas mana. Mushaf di meja kecil. Dan satu hal yang selalu jadi penanda...

Di atas lemari, tergantung jaket Stardom milik Zayn. Bukan untuk dikenang dengan bangga, tapi sebagai pengingat kalau dia pernah hilang. Tapi sekarang... dia memilih untuk kembali.

 

AMIRA POV

Aku berdiri di dapur kecil. Memasak telur dadar. Sambil sesekali melihat Zayn yang masih sibuk membaca sambil menulis catatan di bukunya. Rasanya... seperti mimpi.

Tapi ini terasa nyata.

Aku dan dia. Sekamar. Sekehidupan. Sekiblat.

Bukan karena cinta sudah sempurna, tapi karena kami ingin cinta tumbuh... di jalan yang benar.

 

ZAYN POV

Gue lihat dia. Duduk di dekat jendela sambil baca Al-Qur'an. Dan cuman melihat dia hati gue jadi tenang.

Bukan karena hidup jadi mudah. Tapi karena gue tahu, di setiap doa dia, ada nama gue.

Dan di setiap langkah gue, ada bayang dia.

Istri gue.

Teman belajar gue.

Amira.

 

AUTHOR POV

Dan malam itu, Jakarta yang ramai terasa hening bagi dua hati yang baru saja menemukan rumah barunya.

Bukan karena tempatnya nyaman, tapi karena keduanya sepakat:

Rumah bukan dinding.

Rumah... adalah hati yang tak saling meninggalkan.

 

To Be Continued...✨️🫶

1
Tarwiyah Tarwiyah
critanya jngan bertele" kak jdi bosen .maaf ya bukan mksd apa" cuma saran
MayLiinda: Siap. Terima kasih kak atas masukkannya .., 🫶
total 1 replies
Rukawasfound
Baca cerita ini jadi penghilang suntukku setiap hari
MayLiinda: Terima kasih 🙏😊
total 1 replies
Donny Chandra
Bagus banget thor! Bisa jadi film nih!
MayLiinda: Terima kasih .., 🙏😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!