Mengetahui kebenaran identitasnya sebagai anak angkat, tak membuat perempuan berumur 18 tahun itu bergeming. Bahkan kematian ibu angkat dan ayah angkat yang mengusirnya dari rumah, tidak membuatnya membenci mereka. Arumi Maharani, gadis lulusan SMA yang dibesarkan di keluarga patriaki itu memilih mencari jati dirinya. “Aku tunanganmu. Maafkan aku yang tidak mengenalimu lebih awal.” Izqian Aksa. Siapa Izkian Aksa? Bagaimana Arumi menjalani kehidupan selanjutnya? Dan akankah pencariannya mendapatkan hasil? Haloo semuanya… ketemu lagi dengan author.. semoga semua pembaca suka dengan karya baru author…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Pulang
Arumi melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 10 malam, menyudahi sesi belajarnya. Ia keluar dari kamar dan melihat keadaan uminya.
Setelah memastikan uminya baik-baik saja, Arumi mengecek pintu yang ternyata masih belum terkunci. Ini artinya sang abi belum kembali.
“Kenapa Abi tidak pulang sampai larut?” tanya Arumi dalam hati.
Arumi keluar dari rumah dan pergi ke rumah sebelah, jika saja abinya menginap di rumah sang nenek.
“Kenapa malam-malam masih keluyuran?” tegur Nenek Ifah yang melihat Arumi memasuki rumahnya.
“Nenek juga tumben belum tidur.”
“Apa urusanmu?”
“Apa Abi kemari, Nek?”
“Abimu belum pulang?” Arumi mengangguk.
Nenek Ifah terlihat berpikir. Tebakan Arumi, sang nenek mengetahui dimana abinya saat ini berada. Sehingga saat sang nenek memintanya untuk pulang dan mengunci pintu, Arumi hanya menurut.
Di sisi lain.
“Abi tidak pulang?” tanya seorang gadis seumuran Arumi.
“Tidak. Abi malam ini menginap di sini saja. apa kamu keberatan?”
“Tentu saja tidak! Aku justru Bahagia karena Abi jarang-jarang bisa menginap di sini.”
“Tidurlah, besok kamu harus sekolah! Persiapkan ujianmu dengan baik agar bisa masuk di universitas incaranmu.”
“Siap!” gadis tersebut mencium punggung tangan Aji sebelum masuk ke dalam kamarnya.
Pandangan Aji terpaku pada pintu kamar gadis yang seumuran dengan Arumi. Sifat mereka berbeda jauh. Jika Arumi adalah anak yang penurut dan tenang, gadisnya adalah anak manja dan periang.
“Kamu kenapa Mas?” tanya seorang perempuan yang mendekat.
“Aku hanya memikirkan Arumi.”
“Kenapa dengan Arumi?”
“Bagaimana jika istriku meninggal nanti? Apa aku harus mengusirnya?”
“Aku juga istrimu, Mas!”
“Maksudku, Imamah.”
Ya. Perempuan yang saat ini ada di sampingnya adalah istrinya yang kedua, Sari ibu dari gadisnya, Adiba.
Aji menikah lagi karena desakan dari sang ibu yang menginginkan cucu darinya, anak sulung. Sayangnya sang ibu harus kecewa karena cucu perempuan yang didapatkannya.
“Terserah kamu saja, Mas. Aku tidak masalah kalau harus mengasuh Arumi. Tetapi bukannya kemarin kamu mengatakan kalau ada yang melamarnya?”
“Ya. Aku belum tahu jelas siapa laki-laki itu. Aku hanya tahu dia keluarga dari Arif, namanya Izqian Aksa.”
“Apa Mas berencana mempertemukan mereka?”
“Entahlah! Bagaimana menurutmu?”
“Arif orangnya, bagaimana?”
“Arif orangnya baik.”
“Apa masa depan laki-laki itu terjamin?”
“Mungkin saja. Dia lulusan luar negeri, sudah pasti latar belakang keluarganya bagus.”
“Bagaimana kalau Adiba yang menerima lamaran itu?” Aji membeku.
Saat Arif melamar, beliau tidak menyebutkan nama Arumi melainkan anak dari istrinya, Imamah. Anak dari istrinya tentu merujuk ke Arumi. Tetapi jika Adiba menggantikannya, apakah tidak masalah?
Aji yang belum bisa memutuskan tidak menjawab. Ia beralasan jika dirinya Lelah dan masuk ke dalam kamar.
Sari yang sedang hamil 4 bulan hanya menghembuskan nafas dalam. Jika dibandingkan dengan Umi Im dan Arumi, ia masih kalah karena statusnya sebagai istri kedua.
Keesokan harinya.
“Apa kamu mencari Abi?” tanya Umi Im yang melihat wajah khawatir Arumi.
“Iya, Umi.” Jujur Arumi karena ia tidak akan bisa membohongi uminya.
“Tenang saja! Abimu baik-baik saja.”
“Apa Umi tahu Abi ke mana?” Umi Im mengangguk.
“Syukurlah kalau begitu. Arumi berangkat sekolah dulu, Mi.”
“Hati-hati di jalan, Nak!”
Arumi berangkat sekolah seperti biasa. Setiap kali bertemu dengan tetangga di jalan, ia akan menyapanya dan sampai di sekolah, ia dikejutkan dengan perkelahian Aliya dengan murid kelas sebelah.
Semua orang hanya menonton keduanya tanpa ada yang melerai. Arumi menyela gerombolan dan menarik tangan Aliya yang ingin membuka hijab lawannya.
“Hentikan! Apa kamu mau di hukum?” teriak Arumi yang membuat semua orang merasa kagum kepadanya.
Tetapi ada pula yang merasa kesal karena hiburan yang mereka lihat berakhir.
“Dia yang mulai!” seru Aliya.
“Aku mulai apa? Jelas-jelas kamu yang menyerangku duluan!”
“Kalau mulutmu itu punya rem, tentu aku tidak akan menyerangmu!”
“Sudahlah!” Arumi menahan tubuh Aliya yang ingin menyerang lagi.
“Maaf…” Arumi bingung harus memanggil apa karena dirinya hanya mengenal beberapa orang dari kelas sebelah.
“Adiba!”
“Maaf, Adiba. Sebaiknya kita akhiri sampai di sini. Jika berlanjut, yang ada kalian akan dipanggil ke BP.”
Arumi tahu betul sifat Aliya. Temannya tidak akan marah jika tidak ada yang memulai, maka perkelahian ini tidak akan terjadi jika Adiba tidak memprovokasi Aliya.
“Dasar!” Adiba menghentakkan kakinya dan pergi bersama teman-temannya yang lain.
Sesampainya di kelas, Arumi tidak sempat bertanya apa-apa kepada Aliya karena bel masuk sudah berbunyi. Mereka mengikuti kelas sampai bel istirahat berbunyi, barulah Aliya mulai bersuara.
“Kesal sekali mendengarnya mengatakan jika dirinya adalah perempuan tercantik!”
“Dia memang cantik.” Sahut Arumi.
“Itu bagimu yang melihat semua orang setara!”
“Memangnya apa yang membuatmu sampai mengajaknya berkelahi?”
“Oh! Dia mengatakan kalau kamu itu perempuan yatim piatu! Jelas saja aku tidak terima karena kedua orang tuamu masih hidup.” Arumi mengernyitkan alisnya.
Hanya sekedar ejekan atau memang sengaja? Apa maksudnya menyebut dirinya yatim piatu? Arumi tidak tahu apa maksudnya. Yang jelas, kata-kata tersebut tidak bisa Aliya terima makanya terjadi perkelahian.
“Tenang Arumi! Aku akan menghajarnya lagi kalau sampai dia mengatakannya untuk kedua kalinya.”
“Lebih baik kamu diam saja! Fokus naikkan nilaimu.”
“Ya, ya…” Aliya mengatakannya dengan nada malas.
Ia yang tidak begitu suka belajar tentu malas jika disuruh menaikkan nilai. Entah bagaimana ia bisa berteman dengan Arumi yang terkenal kutu buku.
Sepulang sekolah, Arumi mendapati Abinya sedang bersantai di teras. Setelah mencium punggung tangan abinya, Arumi masuk dan melakukan kegiatannya seperti biasa.
Ketika membantu Umi Im mandi, Arumi dihentikan abinya yang mengatakan akan membantu istrinya mandi. Arumi mengangguk dan keluar dari kamar.
Semua kebutuhan Umi Im malam itu disiapkan oleh Aji, sehingga Arumi memilih untuk belajar di dalam kamar.
Tok… Tok… Tok…
Suara pintu kamar Arumi yang di ketuk membuatnya terbangun. Melihat jam weker yang menunjukkan pukul 12 malam, Arumi segera bangun dan mengenakan hijabnya sebelum membukakan pintu.
“Umimu dilarikan ke rumah sakit!” seru Tante Nanik dengan wajah panik.
“Innalillah… Arumi ikut!”
“Cepatlah!” Arumi hanya mengambil tasnya dan segera masuk ke dalam kamar uminya untuk mengambil perlengkapan.
Di rumah sakit, semua orang menunggu dengan khawatir di depan ruang Tindakan. Arumi melantunkan dzikir dalam diamnya, berharap tidak terjadi apa-apa kepada uminya.
Tante Nanik yang melihatnya hanya duduk berjongkok di lantai, membawanya duduk di kursi dan memeluknya. Tante Nanik adalah orang kedua di keluarga Aji yang memperlakukannya dengan baik.
“Semuanya akan baik-baik saja.” bisik Tante Nanik yang diangguki Arumi.