Rania Vale selalu percaya cinta bisa menembus perbedaan. Sampai suaminya sendiri menjadikannya bahan hinaan keluarga.
Setelah menikah satu tahun dan belum memiliki anak, tiba-tiba ia dianggap cacat.
Tak layak, dan tak pantas.
Suaminya Garren berselingkuh secara terang-terangan menghancurkan batas terakhir dalam dirinya.
Suatu malam, setelah dipermalukan di depan banyak orang, Rania melarikan diri ke hutan— berdiri di tepi jurang, memohon agar hidup berhenti menyakitinya.
Tetapi langit punya rencana lain.
Sebuah kilat membelah bumi, membuka celah berisi cincin giok emas yang hilang dari dunia para Archeon lima abad lalu. Saat Rania menyentuhnya, cincin itu memilihnya—mengikatkan nasibnya pada makhluk cahaya bernama Arven Han, putra mahkota dari dunia lain.
Arven datang untuk menjaga keseimbangan bumi dan mengambil artefak itu. Namun yang tak pernah ia duga: ia justru terikat pada perempuan manusia yang paling rapuh…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kencan
Arven yang mendengar itu seketika tersenyum lebar. Tanpa ragu, ia pun berjalan ke balkon mengikuti Rania, hatinya kembali berbunga-bunga.
Rania berdiri di balkon, kedua tangan bertumpu pada pagar kaca, wajahnya menengadah ke angin pagi. Pipinya masih sedikit merah—entah karena dingin, kesal, atau… sesuatu yang ia tidak mau akui.
Arven berdiri beberapa langkah di belakangnya, ragu.
“Rania…” panggilnya pelan.
“Apa lagi?” sahut Rania tanpa menoleh. “Kalau untuk minta kencan sepuluh tahun, jangan mulai.”
Arven hampir tertawa. “Bukan itu.” Ia mendekat satu langkah lagi. “Aku hanya… ingin mengerti kenapa kau marah.”
“Aku tidak marah,” bantahnya cepat. Terlalu cepat.
Arven menaikkan alis. “Oh? Jadi kau membentakku, memaki air keranku, dan mengusirku tiga kali itu hanya… latihan pernapasan?”
Rania mendengus. “Kau menyebalkan.”
Hening sejenak. Angin menyibakkan rambut Rania, membuat lehernya terlihat—Arven menelan ludah tanpa suara.
“Aku tidak melirik Lidia,” ucap Arven akhirnya. Nada suaranya rendah, jujur. “Aku hanya… mencari bantuan. Aku tidak mengerti manusia. Dan aku tidak ingin membuatmu salah paham.”
Rania memutar tubuh, akhirnya menatap Arven.
Tatapan itu rumit—kesal, malu, dan sedikit gentar karena kedekatan pria itu.
“Aku tidak salah paham,” bantahnya lagi mulai luluh.
“Namanya Lidia Uu, ya?” Rania bertanya sambil memainkan ujung handuk yang ia pakai seperti kimono. “Apa itu panggilan kesayangan? Kenapa harus ada ‘Uu’ di ujungnya?”
Arven menoleh, sedikit bingung. “Itu karena… dia kalau bicara selalu ‘Aa-Uu… Aa-Uu.’”
Ia menirukan gerakan tangan Lidia—yang bisu dengan ekspresi yang terlalu serius untuk sesuatu yang begitu lucu.
Rania terbelalak… lalu meledak tertawa, sampai tubuhnya sedikit membungkuk. Arven hanya menatap, seolah suara tawa itu adalah energi pengisi jantungnya.
“Hahaha… astaga, Arven!” Rania menutup mulut. “Baru kali ini aku mengerti kenapa panggilannya begitu.”
“Mm,” Arven mengangguk bangga. “Aku pintar dalam hal pentin,” gumamnya.
Rania geleng-geleng, hatinya terasa jauh lebih ringan. Ia menarik napas, lalu bertanya dengan nada setengah malu, “Jadi… kau ingin kencan kemana?”
Arven menatapnya penuh kemenangan. “Terserah aku.”
Rania mendelik. “Terserah aku, maksudmu.”
Arven menghela napas. “Baik. Terserah kau.”
“Tapi… Arven,” Rania menatapnya serius. “Aku kan janda. Kau yakin?”
Arven hanya memiringkan kepala kecil—seolah itu informasi yang tidak ada bobotnya sama sekali. “Aku tidak tahu apa bedanya. Aku hanya tahu aku menyukaimu… itu saja.”
Deg!
Rania buru-buru membuang wajah, memijit lehernya yang memanas. “Ya sudahlah… tapi aku tidak mau kencan dengan penampilanmu yang begini.”
“Kenapa?” Arven memandang pakaian bangsawan Eryndor kebanggaannya.
“Arven… kita mau kencan. Di dunia manusia. Kau harus… ya, mengikuti style manusia.”
Arven menatap Rania lama, lalu mengangguk patuh.
“Baik,” ujarnya lembut—tanpa debat, tanpa ego. Ia menatap Rania sesaat, seperti meminta restu. “Kau tunggu sini. Aku butuh waktu untuk mencari referensi… mungkin Kaelis bisa membantuku.”
“Hm… pergilah! Lagi pula, aku juga harus bersiap,” ucap Rania.
Clink! —Dalam sekejap Arven pun menghilang.
Tak membuang waktu, Rania dengan cepat turun ke unitnya. Memilih gaun terbaik yang ia punya, berdandan secantik mungkin agar Alien itu tak melirik wanita lain selain dirinya, pikirnya.
Setelah hampir selesai, pintu bel pun berbunyi— Arven muncul kembali. Kali ini membuat Rania… membeku.
Pria tampan itu berdiri di depan pintu, dengan buket bunga yang indah. Rambut panjangnya kini dipotong rapi, sulah dua sedikit bergelombang di depan dahi. Ia memakai setelan jas hitam elegan—pundak tegas, tubuh ramping sempurna, garis rahang tegas yang bahkan aktor ternama pun kalah jauh.
Arven tersenyum sedikit kikuk, belum merasa nyaman dengan stylenya padahal ini bahkan terlalu sempurna untuk ukuran manusia.
“Apakah… ini?” Arven menelan ludah. “Style manusia yang kau suka?”
Rania tak bisa bicara, mulutnya terbuka sedikit. Pipinya memanas— lututnya… rasanya ingin menyerah.
“R-Rania?” panggil Arven, ragu. “Kau kenapa…”
“Kau… ” Rania berkedip cepat. “Kau tampan sekali.”
Mata Arven langsung membesar—tersenyum, senyum lebar yang ia sembunyikan sejak tadi. “Jadi… kita kencan?” Nada suaranya rendah, penuh harapan.
Rania mengangguk pelan, sangat pelan—seperti wanita yang baru saja kalah dalam pertarungan yang sangat menyenangkan.
“Karena ini kencan ala manusia, maka aku akan menjadi manusia,” ucap Arven tenang.
Mereka pun turun dan menaiki sebuah mobil mewah—bahkan lebih mahal dari mobil Garren, mantan suaminya. Selama di dalam mobil, Rania terus mencuri-curi pandang. Ketampanan Arven dalam balutan jas manusia membuatnya tak bisa berkata apa pun. Arven menyadari itu. Dengan lembut ia meraih tangan Rania dan mencengkeramnya pelan.
Rania tersenyum kecil, lalu buru-buru membuang tatapannya ke luar jendela.
“Aku tidak tahu apa saja yang dilakukan manusia saat kencan. Jadi… kau yang tentukan,” ucap Arven lembut, tulus, tanpa tekanan.
*
*
*
aaah dasar kuntilanak
toh kamu yaa masih ngladeni si jalànģ itu