Tidak ada tanggal sial di kalender tetapi yang namanya ujian pasti akan dialami oleh setiap manusia.
Begitupun juga dengan yang dialami oleh Rara,gadis berusia 21 tahun itu harus menerima kenyataan dihari dimana kekasihnya ketahuan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri dan di malam itu pula kesucian dan kehormatannya harus terenggut paksa oleh pria yang sama sekali tidak dikenalnya. Kehidupan Rara dalam sehari berubah 180 derajat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 14. Pujian
Rara berjalan beriringan ke arah luar meninggalkan Hani yang masih kesal karena lagi-lagi Rara mampu mengalahkannya dalam segala hal.
“Shit! Kenapa Rara selalu saja mendapatkan hal yang lebih baik dari hidupku! Gue sudah merebut kekasihnya tapi malah mendapatkan jodoh idaman semua perempuan. Pria yang speck artis Korea Selatan. Kak Dewa juga ganteng tapi, jika dibandingkan dengan calon suaminya Rara kak Dewa masih kalah jauh,” kesalnya Hani.
Hani tidak peduli dengan tatapan dari orang-orang yang ada di dalam area restoran.
“Perempuan aneh,” cibir perempuan lain.
“Gelo kali yah,” ejek lainnya.
“Edede kenapami ini setiap hari semakin bertambah banyak orang stress kodong,” sarkas yang lainnya.
Hani hanya membalas ucapan hinaan untungnya dengan tatapan matanya yang nyalang sambil menaikkan jari tengahnya ke arah orang yang mencibirnya.
Sedangkan di luar sana, setelah dirasa cukup jauh dari area restoran makanan Padang, Bara melepaskan pegangan tangannya dari genggaman tangannya Rara.
Rara tidak mempermasalahkan hal tersebut karena dia cukup malu dan sungkan harus bergandengan tangan kemana-mana dengan pria yang bukan suaminya meskipun sudah status calon suami.
“Kamu perlu ketahui, aku menerima perjodohan ini karena aku nggak ingin mengecewakan kedua orang tuaku. Kita mungkin menikah sama-sama tanpa ada rasa cinta, itu nggak masalah bagiku karena aku paham kamu masih mencintai mantan kekasihmu yaitu Aditya Dewangga Pratama,” ucap Bara sambil berjalan beriringan dengan Rara.
Rara tak berniat untuk memotong atau menyanggah ucapannya Bara calon suaminya itu karena memang seperti itulah kenyataannya yang dialami oleh Rara sampai detik ini.
“Aku juga ingin menemukan perempuan yang pernah melewati malam panas bersamaku dan aku ingin bertanggung jawab kepadanya dan jika saat itu tiba maafin jika aku harus memutuskan untuk mengakhiri pernikahan kita, aku nggak mau menelantarkan perempuan yang sudah aku renggut kesuciannya itu sebagai bukti rasa bersalah dan tanggung jawabku untuknya,” putusnya Bara.
Bara menjeda ucapannya terlebih dahulu sebelum melanjutkannya kembali seraya menatap intens Rara yang nampak tenang tak terlihat sedikitpun rasa takut, sedih, kesal atupun kecewa.
“Kamu nggak perlu khawatir dengan masa depan anakmu kalau memang kamu hamil dari anak lelaki yang nggak kau ketahui asal usulnya. Aku akan menjamin hidupnya hingga dewasa nanti walaupun kita sudah resmi bercerai nantinya,” imbuhnya Bara.
Rara berjalan ke arah besi pembatas kemudian bersandar di sana, “Nggak apa-apa kok santai saja, Mas Bara bersedia menikahi perempuan yang sudah tidak perawan lagi itu sudah luar biasa bagiku. Aku ucapkan makasih banyak yang sebesar-besarnya karena sudi menjadikan wanita tak sempurna ini menjadi istrinya Mas.”
Bara melakukan hal yang sama cuman bedanya Bara memandang ke arah bawah lantai tiga dari atas lantai empat sambil berbicara sedangkan Rara memandangi orang-orang yang berlalu lalang di sekitar area tempat mereka bersantai.
“Kalau memang dalam setahun, aku nggak menemukan perempuan itu dan aku sudah jatuh cinta kepadamu mungkin pernikahan kita bisa bertahan, tapi jika cinta itu nggak ada di hatiku maka dengan berat hati, kita harus bercerai ada atau tidaknya aku bertemu dengannya,” jelas Bara lagi.
“Apa boleh kita nggak usah cerai? Kamu tetap lah bertanggung jawab kepada perempuan itu dan disisi lain tetaplah jadi suamiku dan papa dari anak-anakku, itupun kalau kamu mau,” ujarnya Rara sambil memandangi raut wajahnya Bara yang nampak tenang sehingga sulit terbaca dari mimik wajahnya apa yang dirasakannya.
“Apa kamu nggak masalah jika aku kelak poligami dan tentu saja segala-galanya harus terbagi secara adil meksipun berlaku adil itu sangat sulit karena yang bisa adil hanyalah Allah SWT Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang?”
Bara menelisik raut wajahnya Rara ketika berbicara, tetapi dia tidak menemukan secuil pun keraguan dari perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.
“Jangan gegabah mengambil keputusan, pikirkan baik-baik terlebih dahulu sebelum memutuskan segalanya, karena penyesalan itu datangnya di belakang kagak pernah di depan, kalau didepan namanya pendaftaran,” sahut Bara yang kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti sejenak.
Bara berjalan ke arah luar karena ingin ke jalan Somba Opu tujuan selanjutnya. Rara pun berjalan mengekor di belakangnya Bara.
“Aku sudah pikirkan matang-matang insha Allah tidak bakalan ada kata penyesalan. Aku siap dipoligami dan siap berbagi suami dengan wanita lain!” tegas Rara tanpa berfikir panjang langsung menjawab perkataan dari Bara.
“Baiklah, kalau kamu sudah putuskan segalanya. Membangun dan membina rumah tangga tidak selamanya harus karena cinta. Di luar sana banyak juga yang menikah bertahun-tahun tanpa cinta tapi karena mereka saling percaya ,menghargai dan menghormati makanya pernikahan mereka awet dan bertahan lama,” tuturnya Bara kemudian.
Rara kembali berbicara,”masalah hubungan ranjang kita gimana apa tetap kita jalankan kewajiban dan tanggung jawab kita atau gimana?” Tanyanya Rara sedikit memelankan suaranya.
Bara yang hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift terhenti sejenak untungnya belum menekan tombol lift.
“Masalah itu nanti kita bicarakan lagi, takutnya aku ngomongnya nggak mau tapi pas lihat kamu pakai lingerie aku tertarik kan nggak lucu kalau gue sudah ngomong tidak, tapi nggak bisa menahan si Joni bereaksi sama saja itu aku menjilat air liur sendiri,” jawabnya Bara sambil mengerlingkan sebelah matanya kemudian masuk ke dalam lift yang cukup sepi.
Mereka berdua kembali berbicara mengenai masa depan mereka setelah menikah nanti.
“Apa kamu sudah melakukan tes kehamilan?” Tanyanya Bara tiba-tiba setelah terdiam beberapa saat.
“Aku belum coba cek, aku takut kalau benar adanya kalau gue positif hamil, sumpah aku takut banget jadinya nggak berani ngetes langsung apakah aku positif atau nggak,” jawab Rara dengan apa adanya.
“Emangnya berapa bulan sudah setelah kejadian malam itu? Apa kamu nggak bisa mengenali wajah dan suaranya pria itu yang merenggut paksa kesucianmu?” Tanyanya Bara.
Bara bertanya sedikit kepo dengan hal tersebut sambil memainkan ponselnya tanpa melihat reaksi wajahnya Rara yang berubah sendu dan menegang ketika kembali mengingat malam terlucknut itu.
“A-ku,” cicitnya Rara.
Tubuhnya Rara bersandar di dinding lift, tangannya sampai tremor memegangi tali tas selempangnya.
“A-ku ti-dak ingat lagi,” jawabnya Rara terbata karena harus dipaksa mengingat kenangan pahit itu.
Air matanya jatuh seketika dikala harus kembali mengingat insiden rudapaksa tersebut.
Suara sesegukan terdengar dari bibir mungilnya Rara hingga membuat Bara melirik sekilas ke arah calon istrinya itu.
“Maaf, kalau aku harus membuat kamu sedih, kamu pasti nggak nyaman terpaksa harus mengingat kejadian itu. Kalau kamu tidak sanggup mengatakannya sekarang nggak apa-apa,” ucap Bara yang tidak enak hati karena gara-gara ucapannya sehingga Rara menjadi sedih dan nampak kacau.
Rara berulang kali beristighfar agar kondisinya bisa lebih tenang dan berdamai dengan masa lalunya.
“Astaghfirullah hal adzim, Allahu Akbar,” lirih Rara
Rara menarik nafasnya dalam-dalam kemudian membuangnya dengan keras, ia tak lupa menyeka air matanya dengan kasar menggunakan ujung hijabnya.
“Bismillahirrahmanirrahim, malam itu sedang terjadi badai, hujan turun dengan derasnya. Angin berhembus kencang, petir dan halilintar saling menyambar dan suasana cukup gelap sehingga aku nggak bisa melihat wajah pria itu apakah dia masih muda atau sudah tua dan juga aku kesulitan mengenali suaranya karena kondisi cuaca buruk waktu itu,” jelas Rara sambil mengepalkan tangannya dengan kuat untuk menahan rasa amarah, emosi dan kecewa yang datang bersamaan menggerogoti hati dan pikirannya.
Bara terkejut mendengar perkataan Rara dan entah kenapa dia merasa sangat bersalah mendengarkannya. Hatinya terasa tersentil dan marah karena perlakuan pria bejak itu kepada calon istrinya.
“Berdoa saja semoga lelaki itu sadar dan tidak akan mengulangi kesalahannya lagi dikemudian hari dan benar-benar bertaubat nasuha,” imbuhnya Bara yang memikirkan kondisi perempuan yang direnggut kesuciannya karena perbuatannya.
‘Mungkin gadis itu juga merasakan hal yang dirasakan oleh Rara. Ya Allah betapa kejamnya diriku mencuri hal yang sangat berharga bagi perempuan itu. Maafkan aku ya Allah,” Bara membatin ketika membayangkan perempuan yang dirudapaksa nya diposisikan dengan Rara.
“Maaf kalau aku tidak sempurna dan banyak dosa. Semoga kelak kamu nggak menyesali keputusannya untuk menjadikan aku pendamping hidupnya,”cicitnya Rara.
“Insha Allah, itu tidak akan pernah terjadi dalam hidupku. Hemph! Malahan mungkin aku yang beruntung nantinya bisa menikah denganmu wanita sholeha, baik hati, pintar dan tangguh,” imbuh Bara yang memuji sikapnya Rara.
Bara menatap nanar Rara, kemudian ia gegas keluar dari dalam bilik lift karena pintu sudah terbuka berarti dia sudah berada di lantai dasar menuju arah parkiran.
“Kamu pake motor?” Tanyanya Bara.
“Pake, kenapa emangnya?” Tanyanya Rara yang suaranya sedikit serak.
“Aku ke sini diantar sama kakak jadi, kita ke toko emasnya pake motormu saja,” ujarnya Bara sambil mengulurkan tangannya ke arah Rara meminta kunci motor.
Rara cepat-cepat mengambil kunci roda duanya dan berjalan ke arah parkiran bersama Bara sang guru olahraga yang berwajah khas orang keturunan Tionghoa tapi bentuk tubuhnya bak atlet sepakbola luar negeri.
Keduanya sudah si jalan menuju ke alamat toko tempat mamanya Bu Ratu memesan cincin nikah dan kawin khusus untuk calon pengantin.
Bara adalah anak bungsu dari tiga bersaudara dan semua saudaranya adalah lelaki dan hanya Bara yang belum menikah dari semua saudaranya.
Bara membantu Rara membuka helmnya karena tiba-tiba macet.
“Helmnya kamu ini sudah waktunya pensiun, susah amat beli yang baru,” ucap Bara yang bernada mengolok.
“Ish Ish kembali ke setelan awal lagi,” sungutnya Rara.
Bara hanya terkekeh mendengarnya kemudian berjalan lebih duluan masuk ke dalam toko emas itu.
Kedua calon pengantin itu disambut hangat oleh pegawai toko. Bara dan Rara mencoba dua buah cincin yang dipesan khusus oleh Bu Ratu khusus untuk calon menantu kesayangannya.
“Cincinnya nggak kegedean yah, sangat pas masih bagus nggak terlalu sempit juga. Apa emas satu setnya juga mau dicoba?” Tanyanya pemilik toko.
“Nggak perlu Nona karena pasti ukurannya seperti ini kan?” Tanyanya Bara.
“Iya, kalau gitu dibungkus yah. Sudah lunas dibayar sama ibu Ratu. Kapan-kapan kalau butuh emas lagi untuk istrinya yang cantik ini saya akan berikan harga spesial karena calon istrimu cantik sekaliki,” pujinya ibu-ibu yang masih kental logat Cinanya.
Bara hanya tersenyum tipis mendengar Rara dipuji oleh orang-orang.
“Berbedaki Pak guru calon istrinya dengan mantan kekasihnya itu yang dulu pernah diajak kemari,” celetuk pegawai toko yang mengenal baik Bara dan Keiza.
“Makasih banyak atas pujiannya Mbak,” sahut Rara yang tidak ingin memperpanjang mengenai perempuan masa lalunya Bara.
“Kalau yang dulu cantik karena makeup ini calon istrinya Pak guru cantik alami dan natural,” puji yang lainnya.
Rara semakin dibuat tersipu malu-malu, membuat Bara tersenyum jumawa karena calon pasangannya dipuji dan memang aslinya secantik dan semenarik itu.
semangat authir 💪💪💪💪💪♥️♥️♥️♥️♥️
peringatan yang cukup bagus author!