“Dibunuh Suami, Dihidupkan Takdir”

Sudah hampir dua bulan sejak Raisa bangun dari koma. Tubuhnya mulai pulih, dan keluarga Molan selalu berada di sisinya.

Namun di balik semua kehangatan itu, hanya Raisa yang tahu: ia bukanlah gadis yang sama. Bukan sepenuhnya Raisa. Ia adalah Vira wanita yang dibunuh oleh orang yang ia cintai, lalu dikembalikan ke dunia dalam tubuh seorang gadis polos yang seharusnya belum melihat kekejaman hidup.

Dan hari ini, ia akan memulai hidup baru sebagai Raisa.

Kehangatan Keluarga Molan

Pagi itu, ruang makan keluarga Molan ramai seperti biasa.

“Jangan lupa bawa bekal!” seru Mama dari dapur, sambil menuangkan susu ke dalam botol minum Raisa.

“Ma, ini kuliah. Bukan TK,” celetuk Jordan, kakak sulung yang kini memegang perusahaan keluarga.

“Justru karena itu, bekalnya harus sehat. Otak harus kerja keras kan?” balas Mama.

Raisa hanya tertawa kecil. Duduk di meja makan sambil memandangi keempat kakaknya yang saling ejek dan rebutan roti.

Kakak kedua, Gavin dokter dengan senyum lembut menyodorkan vitamin ke arah Raisa. “Minum ini tiap pagi. Biar tetap kuat.”

“Aku bukan pasien, Mas,” jawab Raisa sambil menggoda.

Rey, si atlet sekaligus si paling santai, nyengir lebar. “Udah, Sa. Kalo kamu sakit, nanti nggak bisa dandan cantik buat cowok-cowok kampus.”

“REY!” seru Jordan dan Giandra bersamaan.

Papa Molan hanya menggeleng-geleng sambil membaca koran. “Kalian ini berisik sekali. Tapi aku senang... rumah ini akhirnya penuh tawa lagi.”

Raisa menunduk sebentar ia merasakan keharuan di hatinya sedangkan Reno kakak ketiganya sedang tugas

🎓 Mendaftar Kuliah

"Kamu yakin mau kuliah tahun ini? Nggak perlu nunggu semester depan?" tanya Jordan sambil menyetir mobil ke kampus Institut Seni & Desain tempat Raisa mendaftar.

Raisa yang duduk di sampingnya tersenyum kecil. "Kalo nunggu, aku bakal makin malas. Aku harus gerak sekarang."

Rey yang duduk di belakang ikut nyeletuk, "Yang penting jangan langsung jadi ketua angkatan, ya. Bisa-bisa semua cowok berebut jadi ketua OSIS demi kamu."

Raisa tertawa, untuk pertama kalinya lepas. Meski hatinya tetap dingin dan berhitung, ia sadar… bersama keempat kakaknya, ia bisa tertawa tanpa harus pura-pura.

Sesampainya di kampus, ia mendaftar sebagai mahasiswi baru jurusan Desain Mode. Di ruangan pendaftaran, ia duduk menunggu giliran sambil memperhatikan calon mahasiswa lain.

Sampai seorang gadis berkacamata duduk di sampingnya, membawa totebag bergambar BTS.

"Hi! Kamu juga daftar jurusan fashion?" tanyanya ceria.

"Iya. Kamu?" ujar Raisa

"Sama! Namaku Rani. Asli Yogyakarta. Kamu?"

"Raisa. Dari Jakarta."

Gadis itu tersenyum lebar. "Kayaknya kita bakal satu kelas nih. Aku deg-degan banget. Ini kampus impian aku."

Raisa hanya mengangguk. Tapi dalam hati, ia merasa nyaman. Untuk pertama kalinya sejak 'bangkit', ia bisa bicara dengan orang asing tanpa harus memakai topeng.

Hari itu, mereka makan siang bareng dan bahkan berfoto bersama. Rani punya kepribadian polos dan kocak, dan Raisa dengan cerdas ikut alurnya. Makin lama, ia makin yakin: Rani bisa jadi sahabat.

Malam harinya, Raisa baru saja selesai mandi saat notifikasi WA muncul di ponselnya:

SONIA SEPUPU JAUH

 "Raisa sayang, tante bilang kamu udah daftar kuliah? Waah, kamu makin keren aja. Kapan kita ngopi bareng? Aku kangen!"

Raisa menatap layar ponsel itu lama.

Sonia… sepupu jauhnya. Dulu ia pernah pura-pura baik saat Raisa masih SMA. Tapi di balik sikap manisnya, Raisa tahu Sonia menyimpan iri, bahkan mungkin punya andil dalam kecelakaan yang membuat tubuh ini koma selama setahun.

Dan sekarang, Sonia kembali.

Raisa mengetik pelan:" Terima kasih, Sonia. Nanti kita atur waktu ya."

Ia kemudian mematikan layar, dan berjalan ke balkon kamarnya.

Angin malam menyapu pipinya. Tapi pikirannya lebih dingin dari udara. "Sonia, kamu pikir aku masih gadis yang sama? Aku akan buka topengmu. Tapi tidak sekarang. Sekarang aku hanya ingin menjadi gadis bernama Raisa yang ceria, biasa, dan tidak berbahaya."

Dan untuk pertama kalinya, sejak ia hidup kembali… ia menuliskan satu hal lagi:

 "Hari ini aku merasa… hidup."

...----------------...

Malam harinya, di ruang keluarga, Raisa duduk di antara Papa dan Mama. Mereka menonton tayangan dokumenter tentang desain dan perancang busana dunia.

“Kalau nanti kamu punya label sendiri, namanya apa?” tanya Mama.

Raisa berpikir sebentar. “Mungkin… 'Revira'. Gabungan dari kata 'reborn' dan 'vira'.”

Gavin melirik cepat. “'Vira'? Nama siapa tuh?”

Raisa tersenyum tipis. “Nama fiksi aja. Keliatan kuat kan?”

Papa mengangguk. “Nama itu terdengar... mengingatkan. Tapi juga penuh kekuatan.”

Bersambung