Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.
Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gosip Hangat
SMA Bintang Nusantara disibukkan dengan sebuah gosip.
[Patah hati gue. Pak Raden udah tunangan.]
[Siapa ya cewek yang beruntung itu? Gak ikhlas tapi tahu batas.]
[Dijodohin sama anak orang kaya lagi, gak sih? Secara Pak Raden cucu pendiri sekolah.]
Kabar menyebar cepat di setiap lorong sekolah. Ada yang tak peduli, ada yang penasaran dan tebak-tebakan.
"Makasih, Pak," Aruna turun dari mobilnya. Wajahnya secerah matahari pagi.
"Efek Lego semalam masih nempel. Stop Aruna, mikirin calon suami. Duh, kenapa hati sama mulut malah nggak sinkron," gumam Aruna sambil melangkah ke dalam sekolah.
"Hai, Aruna," sapa beberapa murid.
Aruna hanya tersenyum tipis. Menyapa kerumunan itu sulit baginya sebagai siswa yang populer. Kakinya belok ke kelas IPA 1. Aruna meletakkan tasnya.
"Rame juga hari ini." Aruna melihat temannya sedang asik dipojokan dengan satu topik pembahasan.
"Hai, Tuan Putri," seru Windi. "Pada ngapain mereka?"
"Entahlah. Masalah percintaan lagi biasanya juga."
"Sangat tidak biasa."
Kelas Aruna dimulai dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Guru mengingatkan besok adalah hari kemah. Setalah itu, Aruna bersiap untuk pelajaran olahraga.
Aruna berganti seragam dengan baju olahraga. Di balik pintu toiletnya Aruna mendengar sesuatu yang memekakkan telinga.
"Kepikiran nggak? Kalau tunangan Pak Raden itu Aletta. Secara orang tua mereka punya hubungan khusus di sekolah."
"Apa?" Lirih Aruna.
"Aku juga penasaran. Kalaupun iya, keduanya cocok juga."
Dua orang itu pergi. Aruna membuka pintu toilet.
"Kenapa orang-orang itu membicarakan hal tak penting di sekolah?" gerutu Aruna kesal.
Aruna turun ke lapangan olahraga. Ia menatap Aletta yang nampak bahagia bersama teman yang lain. Apa itu cara Aletta menghibur dirinya sendiri?
"Runa, siap tanding? Hari ini kita basket," seru Anita.
"I'm ready," kata Aruna mengambil bola basket.
Dua regu dengan lima anggota siswi perempuan. Aruna bersama Windi, Nadia, Amani dan Yunda. Aletta bersama Laras, Anita, Pasha dan Jully. Peluit memanggil dan bola dilempar.
"Yunda," seru Aruna.
Yunda melempar bolanya. Aruna bergegas membawa bola itu memasuki ring. Masuk.
Skor imbang antar regu. Aruna cukup puas dengan pertandingannya. Mungkin gara-gara gosip itu.
"Aku nyesel banget bilang sama temen-temen soal Kak Bagas udah tunangan," kata Aletta sambil membawa bola.
"Aku sudah tahu."
Aletta melempar bola ke dalam ring. "Kamu nggak marah?"
"Aku harus marah? Aku tinggal ngaku sama Om Pratama soal itu."
"Apa? Kamu naif sekali."
Aruna mengambil bola dan kembali bermain. Mata Aletta memanas kesal.
Bruk.
"Aletta," teriak Laras.
Aruna merasa tidak habis pikir dengan Aletta. Laras mencoba membangunkannya.
"Ada apa?" Pak Galuh mendekat.
"Aletta pingsan, Pak."
Lapangan yang awalnya penuh semangat seketika menjadi tegang.
"Laras sama Yunda, bantu saya angkat Aletta ke UKS. Yang lain masih di lapang."
Aruna masih terpaku di tempat. Bola ditangannya terasa berat seperti batu.
"Sudahlah," kata Windi merebut bola dan membawanya ke tengah.
"OMG. Pak Raden dan Aletta, bertunangan?"
Aruna menoleh. Guru matematika itu muncul entah dari mana. Ia membantu Pak Galuh tanpa melihat Aruna. Gosip semakin berkembang.
"Aletta bukan... ," sahut Aruna keceplosan.
"Kamu tahu?" tanya Nadia.
"Hah? Nggak. Nggak usah dipikirin."
Aruna balik kanan. Perasaan macam apa yang menghinggapinya.
Sementara, di UKS Aletta siuman dari pingsannya. Bu Sonia yang memeriksa memberikan Aletta teh hangat.
"Aletta sudah sadar, sebaiknya kalian kembali ke lapang," kata Bu Sonia pada Yunda dan Laras.
Bagas masih berdiri di sana. Aletta memberikan senyumannya pada Bagas.
"Kamu belum sarapan, ya?" tanya Bu Sonia.
Aletta mengangguk. "Iya, Bu. Tadi buru-buru."
"Anak remaja sama saja. Sarapan itu penting. Besok usahakan makan sebelum ke sekolah." Bu Sonia membereskan kotak obat. "Ibu pergi dulu. Nanti ada petugas UKS datang. Pak Raden mau pergi juga?"
Bagas tergagap. Ia menatap Aletta lalu Bu Sonia.
"Ya, saya juga mau pergi," kata Bagas meyakinkan. "Lekas pulih, Aletta. Aku harap kamu siap untuk kemah besok."
Aletta mengangguk. Tapi, nada Bagas yang terasa hangat- tidak marah, tidak dingin- membuat hatinya bergelombang.
"Kenapa perhatian ini seperti candu? Dan kenapa aku berharap perhatiannya hanya untukku?"
***
Di ruang kelas, Aruna duduk sambil menatap jendela. Anak rambutnya tersapu angin. Ponselnya berdering. Papa.
[Hallo, Sayang. Papa harus berangkat sekarang. Kamu nggak apa-apa, kan?]
Aruna menghela nafas. Ayahnya ada dinas diluar kota. Bisa ia bayangkan besok sendirian.
"Iya, aman, Pa. Papa jaga kesehatan di sana."
[Okay. Papa bisa bilang sama Bagas kalau kamu butuh teman ngobrol,] goda Pak Agam.
Aruna membayangkan wajah Bagas yang menolong Aletta tadi. Itu membuatnya kesal.
"Bi Rani lebih asik. Aku mau ke kantin dulu, Pa. Take care, Pa. I miss you already."
Windi datang dari kantin.
"Kamu yakin nggak makan?"
"Aku males."
"Gara-gara si Aletta, ya?"
"Aku nggak cemburu, Win."
"Tapi kamu juga bukan penonton. Kamu yang tunangan asli Pak Raden. Di kantin lumayan rame bahas Pak Raden dan Aletta."
Aruna terdiam. Kalimat Windi terlalu nyata untuk diabaikan. Gosip itu terlalu panas untuk ia tanggapi.
"Aletta sungguh teman bermain yang asik, bukan?"
Windi mengangkat bahunya. Aruna mengambil tasnya. Windi jadi bingung.
"Kamu mau kemana?"
"Pulang. Aku juga bisa pura-pura sakit, kan?"
"Curang kamu. Bawa aku pergi!"
"Kamu bisa ke rumahku pulang sekolah nanti. Bye."
Aruna meninggalkan Windi. Sekolah terasa sesak baginya. Hatinya tak kalah gaduh dengan lorong yang masih sibuk dengan gosip pagi tadi.
"Permisi, Bu," kata Aruna mendekati meja Bu Kamila.
"Oh, Aruna. Ada apa?"
"Saya... merasa nggak enak badan, Bu? Boleh izin untuk pulang?"
Wajah Bu Kamila berubah khawatir. "Kamu sakit apa? Udah minum obat?"
Aruna berpikir sejenak. Sakit hati itu termasuk sakit?
"Pusing dan sedikit sesak, Bu."
"Oke, istirahat di rumah. Kamu harus langsung minum obat dan istirahat. Kita mau kemah besok, Ibu nggak mau kamu tumbang."
"Baik, Bu. Terima kasih."
Bagas diam-diam mendengarkan keduanya bicara. Ia berdiri dari sofa yang ada di ruang guru. Aruna dengan senyum mengembang melewatinya.
"Aruna," panggil Bagas.
Suara itu. Lagi-lagi suara itu.
"Kenapa dia terus?" gumam Aruna.
Ia mempercepat langkahnya berharap Bagas menyerah dan pergi. Meski itu tidak mungkin. Guru matematika itu menggapai tangannya.
"Aruna, tunggu dulu," ujar Bagas dengan langkah yang sejajar.
"Apa lagi?" Aruna melepaskan tangannya.
"Aku dengar kamu sakit dan mau pulang."
"Iya. Mau antar aku ke UKS juga? Nggak usah pikirin aku. Aku bisa jaga diri."
Bagas menghela nafasnya, tak mengerti.
"Aruna jangan keras kepala."
Bagas kembali menyusulnya. Aruna memiringkan kepala dengan alis tertaut.
"Maaf ya, Pak. Saya betul-betul nggak mau ke rumah sakit. Saya mau di rumah saja. Sedikit nonton film juga."
Bagas memasukkan tangannya ke saku celana. "Tapi kamu kelihatan pucat. Aku khawatir."
"Urusan saja tunangan kamu itu. Seisi sekolah tahu Pak Raden dan Aletta bertunangan."
"Kamu bilang apa?"
Aruna memilih menjawab telepon Pak Anwar yang sudah ada di depan sekolah. Bagas menghela nafasnya lagi.