Aku ingin kebebasan.
Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.
“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”
Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.
“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 11
Malam itu, kamar hotel paling mewah di jantung kota Jakarta menjadi saksi bisu dua insan yang baru saja sah terikat dalam akad suci. Lampu gantung kristal menggantung indah di langit-langit, cahayanya lembut menyorot ke segala penjuru.
Aroma lavender dari diffuser otomatis menyatu dengan hawa dingin yang keluar dari pendingin ruangan. Kakek Narendra, sang taipan berdarah Jepang–Indonesia, menyewa kamar ini sebagai hadiah pernikahan cucu kesayangannya.
Di sudut kamar, Kia berdiri di depan cermin besar. Gaun tidurnya dari satin berwarna merah anggur hanya menutupi sedikit bagian tubuh. Tatapannya nakal, senyumnya mengembang tipis seperti menyimpan rencana yang hanya ia dan Tuhan tahu. Hatinya berdebar, bukan karena takut, tapi karena ingin tahu seberapa kuat iman lelaki yang kini sah menjadi pendamping hidupnya.
“Kalau dia memang ustadz beneran, dia pasti tahan,” gumamnya pelan sambil merapikan rambut yang sudah setengah basah.
Pintu kamar mandi terbuka, uap hangat keluar bersamaan dengan langkah kaki Damar yang baru selesai mandi. Handuk melilit tubuhnya, wajahnya terlihat bersih tanpa sisa sabun. Saat matanya menangkap sosok Kia yang kini berdiri tanpa sehelai benang pun, tubuhnya seketika membeku.
“Kia…” suara Damar serak, nyaris tercekat.
Kia menatapnya sambil tersenyum kecil, lalu berkata dengan nada menggoda, “Aku cuma pengen tahu kamu nikah sama aku karena cinta atau karena tugas dakwah?”
Damar menunduk. Kedua matanya memejam erat. Napasnya memburu, tapi tak ada niat mendekat. Ia justru memalingkan wajah, lalu menarik napas panjang.
“Kamu perempuan yang cantik, Kia… tapi kamu juga istri yang harus aku lindungi dari diriku sendiri,” katanya lirih, nyaris tak terdengar.
Kia tertawa pelan, bukan karena senang, tapi karena hatinya seperti ditampar.
“Jadi kamu nggak tergoda sama sekali?” ujarnya, masih berdiri di tempat, tak sedikit pun menutupi tubuhnya.
“Bukan nggak tergoda,” jawab Damar, “tapi aku lagi perang sama nafsu sendiri. Aku nggak mau malam pertama kita dimulai dengan hawa nafsu. Aku pengen cium kamu karena cinta, bukan karena kamu telanjang.”
Kia menggigit bibirnya. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca. Bukan karena kecewa, tapi karena hatinya seperti disentuh dengan kelembutan yang tak pernah ia bayangkan.
Namun Kia tak menyerah. Tatapannya makin tajam, gerak tubuhnya makin berani. Ia mendekat perlahan, langkah kakinya pelan tapi pasti. Aura tubuhnya menyebarkan panas, dan senyumnya—penuh teka-teki.
“Kalau aku terus kayak gini... kamu masih bisa tahan?” tanyanya dengan nada lembut, setengah berbisik.
Damar tak menjawab. Ia bangkit, berjalan cepat ke meja kecil di sisi ranjang lalu mengambil gelas kaca yang berisi air putih. Dalam satu gerakan, ia meneguk habis isi gelas itu. Tapi bukan sejuk yang dirasakannya, justru sebaliknya—tubuhnya seperti terbakar.
Nafasnya memburu, tenggorokannya serasa mengering lagi, padahal air sudah mengalir sampai ke ujung dada.
“Ya Allah…” gumamnya, pelan namun penuh tekanan. Keringat mulai membasahi pelipis, jari-jari tangannya mengepal di sisi tubuh.
Kia duduk di tepi ranjang. Satu kakinya terlipat, satunya lagi menggantung ke lantai. Ia masih menatap Damar, tak berkedip.
“Kenapa kamu masih tahan?” tanyanya sekali lagi.
Damar mendekat perlahan, lalu jongkok di hadapan istrinya. Matanya menatap Kia dalam-dalam, tapi tak sedikit pun menyentuh. Hanya kata yang keluar, nyaris menggigil.
“Karena kamu perempuan yang terlalu berharga untuk disentuh tanpa hati yang tenang.”
Kia diam. Dada Damar naik turun, seperti sedang menahan badai dari dalam dirinya. Kia tahu, suaminya bukan batu. Tapi justru karena ia bukan batu, dia begitu kuat menahan godaan.
“Kalau kamu pengen uji aku sampai batas… aku pasti kalah,” ucap Damar sambil menunduk, napasnya berat.
“Tapi kalau kamu pengen aku tetap jadi imam yang baik buatmu… tolong lindungi aku juga. Jangan jadi sebab aku jatuh sebelum waktunya.”
Mata Kia mulai memerah. Ia menarik selimut yang tadi sempat disingkirkan, menutup tubuhnya perlahan. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap.
“Aku cuma pengen kamu lihat aku… perempuan yang pengen dicintai, bukan dikasihani,” katanya lirih.
“Aku tahu,” jawab Damar. “Dan aku cinta kamu, bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu mau belajar sama-sama.”
Malam itu berubah hening. Tak ada lagi uji coba. Tak ada lagi godaan. Hanya dua manusia yang belajar menjadi suami istri dengan cara yang lebih dalam daripada sekadar menyentuh kulit mereka menyentuh hati.
Kia menunduk sejenak. Hatinya campur aduk. Ia masih mencoba membaca isi pikiran suaminya yang tampak gelisah menahan sesuatu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia bangkit dari tempat duduk lalu berjalan ke meja kecil di pojok ruangan, tempat gelas yang baru saja dipegang Damar diletakkan.
Tanpa banyak pikir, Kia mengambil satu gelas lagi dan menuang air ke dalamnya. Hanya ingin menenangkan diri—setidaknya begitu pikirnya.
“Aku juga haus,” katanya sambil meneguk air itu dalam satu kali tegukan.
Namun belum sampai satu menit, tubuhnya terasa aneh. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Kulitnya memanas, seolah udara ruangan berubah jadi uap panas yang mengelilingi tubuhnya.
“Nggak mungkin...” gumamnya pelan.
Damar yang masih berdiri memunggunginya tiba-tiba menoleh cepat. Raut wajahnya berubah saat melihat Kia memegangi dada dan mengatur napas seperti baru selesai berlari jauh.
“Kamu kenapa?” tanya Damar cepat-cepat mendekat.
“Aku… aku ngerasa aneh, Mas…” ujar Kia. “Kepala kayak ringan tapi tubuh kayak… hangat semua…”
Tatapan Damar langsung menelusuri gelas yang Kia pegang. Dadanya langsung sesak.
“Itu… gelas yang sama kayak yang aku minum tadi,” katanya pelan.
Kia menatap suaminya. “Kenapa? Kamu masukin apa?”
“Aku nggak tahu, Kia. Tapi dari tadi aku juga ngerasa kayak… hawa panas banget di badan. Mungkin… mungkin kakek kamu—”
Kia mengangkat tangannya cepat, menutupi mulutnya. “Jangan bilang... kakek naruh sesuatu di minuman ini?”
Damar terdiam. Napasnya masih belum normal. Ia berjalan menjauh, memunggungi Kia yang kini mulai terlihat lemas, bukan karena sakit, tapi karena gejolak yang tak biasa mulai melanda tubuhnya. Ia merasa ingin disentuh. Tapi hatinya berperang.
“Mas... tolong... aku takut kenapa-kenapa,” ucap Kia lirih.
Damar menarik napas panjang. Ia memejamkan mata. Hatinya menjerit—antara naluri sebagai suami dan kewarasannya sebagai seorang laki-laki yang mencoba menjaga kehormatan.
“Dengar aku, Kia,” katanya tegas, berusaha menenangkan diri. “Kita istirahat aja malam ini. Aku temenin kamu tidur, tapi nggak akan sentuh kamu. Kita sama-sama nahan. Kalau benar itu obat, nanti juga efeknya reda.”
Kia menatapnya. Ada air bening di ujung matanya.
“Mas… kamu kok bisa sekuat itu?” tanyanya lirih.
Damar mendekat, duduk di sampingnya. Ia menyentuh kepala Kia, menyibak rambut dari wajahnya yang basah oleh keringat dan emosi yang tak bisa diredam.
“Karena aku laki-laki yang takut nyakitin istri yang belum siap. Aku lebih milih kamu kecewa sekarang... daripada kamu benci aku selamanya.”
Kia menutup mata. Lalu bersandar di bahu suaminya. Tubuhnya masih bergetar, tapi hatinya perlahan tenang. Mereka duduk begitu saja sampai waktu berlalu dalam senyap. Malam itu tak jadi malam penuh gairah. Tapi justru jadi malam ujian bagi cinta dan kesabaran.
Waktu terus bergulir, dan tubuh mereka tak bisa terus mengabaikan gejolak yang kian membakar. Suasana kamar yang awalnya dipenuhi ketegangan perlahan berubah. Nafas keduanya mulai tak beraturan, seperti ada yang menuntun dari dalam, menggerakkan hati dan tubuh di luar kehendak mereka.
Kia menggigit bibirnya. Matanya sudah berkaca-kaca bukan karena malu, tapi karena dirinya benar-benar tak lagi mampu berpura-pura kuat. Obat yang mengalir dalam tubuhnya mengacaukan logika, dan yang tersisa hanya rasa ingin dimiliki sepenuhnya oleh suaminya sendiri.
Damar berdiri mematung, tapi hatinya sudah remuk oleh gejolak yang tak tertahankan. Tubuhnya bergetar hebat, bukan karena hawa dingin, tapi karena perang dalam dirinya sudah terlalu lama berlangsung.
Mereka saling menatap.
Tak ada kata. Tak ada permintaan. Tak ada paksaan.
Kia yang dulu suka menguji, kini mendekat dengan wajah penuh keraguan. Damar yang tadinya menahan diri, kini tak lagi menarik langkah mundur. Jarak di antara mereka terhapus dengan satu sentuhan kecil, lalu satu pelukan hangat dan dalam pelukan itu, segalanya meledak seperti air bah yang selama ini ditahan bendungan.
Meja kecil yang tadinya hanya jadi tempat gelas dan bunga, kini menjadi saksi bisu. Hanya suara napas yang berpacu, sesekali terdengar gumaman yang tak jelas, antara dzikir dan desahan, antara rindu dan ketakutan.
Dalam cahaya lampu kamar yang temaram, dua tubuh akhirnya menyatu bukan hanya karena godaan obat atau gejolak yang dipendam terlalu lama. Tapi karena mereka sadar mereka suami istri.
kia ni ustadz bukan kaleng" kia jdi ngk udah banyak drama 🤣🤣🤣🤣