Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 3.
Tangan tangan itu meraih kaki kaki para perampok, menyeret satu per satu masuk ke balik pintu gelap itu.
Jeritan mereka menggema panjang, bercampur dengan suara tawa rendah. Tawa Tuan Menir, yang dulu sering terdengar di teras loji setiap malam panen raya kopi.
“Mijn schat... mijn land... mijn vrouw...”
(Hartaku... tanahku... perempuanku...)
Suara itu menggetarkan udara, memecah kabut menjadi serpihan cahaya abu abu.
Dan... Ketika pintu itu menutup, semua nya kembali sunyi. Tanah kering... Kabut menipis..
Hanya tersisa satu karung goni berdarah di tepi jalan..
Lentera kecil milik Warastri kini menyala sendiri, apinya kembali merah jingga.
Kodasih menatap kabut yang perlahan menghilang. Matanya basah, bukan karena takut, tapi karena mengerti: Tuan Menir masih menepati janjinya. Ia tetap melindungi. Meskipun dengan cara neraka.
“Kau masih di sini, Tuan… masih melindungi aku...” bisiknya pelan. Air matanya kembali menetes.
Dari kejauhan, terdengar suara lembut, seperti napas terakhir yang keluar dari dada dingin. Lalu aroma cerutu dan kopi hangus perlahan memudar, digantikan oleh bau tanah basah dan bunga kantil.
Pak Karto menatap Kodasih dengan tubuh gemetar.
“Apa... apa mereka masih hidup, Nyi?”
Kodasih hanya memandang langit yang mulai berwarna kelabu. “Tidak, Pak Karto. Mereka sudah dikembalikan kepada tanah... tempat asal segalanya.”
Kereta bergerak lagi. Roda berderit, melewati sisa kabut yang masih melayang di jalan. Di belakang mereka, bayangan pintu loji perlahan lenyap, seperti ditelan waktu. Hanya suara angin yang tersisa, berbisik dalam bahasa yang tak dipahami siapa pun.
Beberapa menit kemudian, kereta kuda itu berguncang perlahan memasuki jalan tanah menuju perkampungan Dusun Akar Wangi. Kabut menipis, menyisakan bau tanah basah dan wangi samar bunga kantil di udara.
Mbok Piyah menoleh ke arah Sanah yang duduk di samping Kodasih. Suaranya bergetar lirih,
“Nah, kamu dan Pardi ikut tidur di rumahku saja malam ini. Aku takut kalau masih ada perampok lain datang…”
Pak Karto yang duduk di samping istrinya mengangguk pelan, menimpali, “Iya, Nah. Cucuku yang biasa menempati rumahku sedang ikut ke rumah orang tuanya. Rumahku cukup kosong malam ini.”
Rencana semula, Sanah, Pardi, dan Warastri akan menginap di rumah orang tua Pardi. Tapi setelah kejadian tadi, tak ada yang sanggup berpisah.
Sanah menatap Warastri yang masih tertidur di pangkuan Kodasih, tangannya menggenggam ujung selendang seakan tak ingin dilepaskan. “Iya, Mbok,” bisik Sanah pelan. “Kalau nanti Warastri terbangun, ia pasti akan mencari Nyi Kodasih.”
Tangan Kodasih membelai lembut rambut Warastri. Bocah itu begitu dekat dengannya , dan bocah itu pulalah yang menjadi penghibur luka hatinya.
Kereta terus melaju pelan, menyusuri jalan menuju jantung dusun. Langit masih gelap, bintang bintang berkedip samar menerangi semesta. Suara binatang malam beradu dengan gemersik daun tertiup angin.
Tak ada yang berbicara.
Hanya suara roda kayu sesekali beradu dengan batu, dan ringkik kuda yang terdengar seperti napas terakhir malam.
☀️☀️☀️
Keesokan Paginya, warga dusun geger. Di tengah jalan menuju loji, mereka menemukan sebuah karung goni berlumuran darah.
Tak ada tubuh, tak ada jejak kaki, hanya bekas seretan yang mengarah ke hutan kopi. Aroma amis bercampur samar dengan bau kemenyan yang sudah dingin.
“Astaghfirullah… ini darah!” seru Mandor Yatmo, orang pertama yang menemukannya.
“Jangan sentuh!” potong seorang lelaki tua dengan wajah tegang. “Lihat itu... bekas seretannya ke hutan. Ada yang disembunyikan.”
Beberapa warga menelan ludah, tak ada yang berani mendekat.
“Mungkin binatang, Pak. Harimau turun lagi?” bisik seorang pemuda.
“Harimau tak membungkus buruannya pakai karung goni, Le,” jawab Mbah Kromo parau. “Ini tangan manusia.”
Orang-orang saling pandang. Dalam diam, satu nama beredar dari bibir ke bibir:
“Nyi Ratu...”
“Jangan sebut-sebut dia!” tegur seseorang cepat-cepat.
Namun bisikan sudah menyebar .. tentang loji peninggalan Belanda yang kini telah ‘kembali’ pada negara.
“Arwah Tuan Menir,” gumam seorang pemuda.
Malam sebelumnya, beberapa orang bersumpah melihat cahaya lentera kecil menari di kabut, bergerak perlahan menuju arah loji.
“Aku lihat sendiri, Pak! Di tikungan dekat pohon besar itu. Lentera itu melayang, bukan dibawa orang.”
“Kau mabuk tuak, Tarmo!” ejek yang lain, meski suaranya ikut bergetar.
“Mau kau bilang apa pun, aku tahu apa yang kulihat. Kalau itu bukan arwah Menir, lalu siapa yang berkeliaran di sana?”
Angin berhembus membawa bau besi dan dupa yang hampir padam. Tak ada yang berani bicara lagi. Hanya desir dedaunan, seolah hutan ikut menyimpan rahasia.
🏡🏡🏡
Sementara itu di sebuah rumah sederhana, berdinding kayu. Rumah Mbok Piyah. Kodasih berdiri diam di depam jendela, memandangi kebun kopi yang samar terlihat di kejauhan. Tempat di mana tanah itu dulu menjadi saksi banyak hal: cinta, luka, dan penyerahan.
Sesaat terdengar suara kentongan dari surau memanggil warga untuk kerja bakti. Kabar tentang “karung berdarah” sudah menyebar ke seluruh dusun, tapi tak seorang pun berani menyebutnya keras keras.
Pak Karto berdiri di depan rumahnya, menatap arah loji yang tertutup kabut tipis. Ia bersiap siap hendak berangkat ikut kerja bakti.
“Seperti tak pernah ada apa apa di sana,” gumamnya pelan sambil memegang pelipisnya yang terluka..
Mbok Piyah yang baru keluar membawa satu waskom ubi rebus. Menatap suaminya sambil menyerahkan waskom itu, “Iya, Pak... tak usah cerita cerita kejadian semalam,” katanya pelan.
“Hmmm,” gumam Pak Karto, “kalau Pardi sudah selesai ambil air, suruh dia ikut kerja bakti juga,” ujar Pak Karto, lalu melangkah pergi.
Sementara itu Warastri bermain di halaman, menepuk nepuk tanah bersama seekor kucing kecil. Tawa polosnya terdengar ringan, seolah malam kelam semalam hanyalah mimpi buruk yang telah dihapus pagi.
Dari dapur, aroma masakan menguar. Sanah duduk di diklik di depan tungku kayu bakar. Suara percikan api berpadu dengan kicau burung dan desir angin pagi. Segalanya tampak biasa, tapi di bawah permukaan ketenangan itu, ada sesuatu yang diam diam berubah.
Tiba tiba terdengar suara anak kecil dari jalan depan.
“Yu... Tliii!” teriak seorang bocah perempuan sambil berlari masuk halaman rumah Mbok Piyah.
Warastri tersenyum lebar, menatap Sumilir temannya, “Cumi.. aku cekalang di cini..”
Di belakang Sumilir, tampak Tiyem, ibunya, berjalan tergopoh gopoh.
“Nyi... Nyi... Tolong, Nyi!” teriak Tiyem sambil terus melangkah menuju pintu rumah.
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣