Blurb:
Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.
Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.
Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.
Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.
Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?
Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Sebuah mobil hitam berhenti perlahan di depan rumah utama keluarga Lee, sebuah bangunan mewah bergaya klasik Eropa dengan pilar tinggi dan jendela besar yang berbingkai emas. Udara di sekitar terasa dingin, namun tidak sebanding dengan hawa dingin yang mulai merambati hati seorang Mia.
Beberapa orang telah berdiri rapi di depan pintu utama. Pelayan berseragam hitam dan beberapa penjaga mengenakan setelan resmi berdiri tegak, seolah menyambut kedatangan seorang pangeran.
Christopher membuka pintu mobilnya dan melangkah keluar. Setelan jas formal yang dikenakannya membuat sosoknya tampak semakin berwibawa, meski sorot mata dan gerak tubuhnya menunjukkan kejenuhan.
"Huft... akhirnya," gumamnya pendek.
Tanpa menunggu pelayan, ia menutup pintu mobil dengan satu hentakan, lalu ia berjalan ke sisi lain mobil. Ketika Mia hendak membuka pintu penumpang, tangan Christopher lebih dulu menyentuh gagangnya.
Mia tersentak kecil dan matanya membulat menatap pria itu.
"Ada apa…?" tanyanya heran.
Christopher sedikit menunduk, suaranya rendah dan nyaris berbisik.
"Di antara para penjaga itu… salah satunya adalah anak buah ayahmu."
Mia menoleh keluar. Pandangannya segera tertumbuk pada seorang pria paruh baya yang berdiri tegap di barisan penjaga. Pria itu tidak berkata apa pun, hanya mengangguk kecil ke arahnya.
'Ternyata hanya karena itu...' pikir Mia lirih, lalu menahan desahan napas kecewa yang hendak meluncur dari bibirnya.
Ia menatap tangan Christopher yang masih terulur untuknya, lalu dengan pasrah ia meletakkan tangannya di sana. Mia turun dari mobil dengan langkah yang tenang, sambil menyembunyikan guncangan di hatinya sebaik mungkin.
Mereka berdua melangkah menuju pintu rumah utama. Begitu kaki mereka menyentuh lantai marmer depan rumah, seorang pelayan menyambut mereka berdua dengan membungkuk hormat.
"Tuan muda, senang melihat Anda kembali," ucapnya dengan senyum sopan.
Christopher mengibaskan tangannya dengan ringan.
"Ya, simpan basa-basimu." Nadanya dingin dan tidak sabar.
Ia memandang sekeliling sejenak lalu bertanya, "Di mana ibuku?"
Dari balik pilar, munculah seorang pria setengah baya dengan tubuh kurus dan sikap sopan yang sudah melekat seperti napasnya sendiri.
"Nyonya sudah menunggu di lantai atas. Saya akan mengantarkan kalian," jawab Paman Kim dengan suara tenang, lalu membungkuk hormat kepada keduanya.
Christopher melepas jasnya dan menyerahkannya pada pelayan tanpa sepatah kata pun, lalu ia segera melangkah menaiki tangga besar menuju lantai dua. Langkahnya panjang dan cepat, seolah tidak ingin membuang waktu sedikit pun.
Mia tertinggal beberapa langkah di belakangnya. Ia melangkah dengan pelan, membiarkan kehadirannya nyaris tak terdengar di antara tapak kaki yang berderap.
Di sisinya, Sekretaris ayahnya berjalan diam-diam, tanpa mengucapkan sepatah kata. Namun Mia tahu, kehadirannya adalah pengingat bahwa ia masih diawasi. Bahwa segala geraknya dan napasnya, tetap berada dalam kendali keluarga ini.
Langkah kaki Christopher terhenti mendadak di tengah tangga marmer yang dingin.
Ia menoleh setengah, lalu melirik ke arah Mia dengan senyum miring yang sulit diartikan.
"Sayang," ujarnya ringan, tapi itu terdengar menusuk, "kenapa kau berjalan sangat jauh dariku?"
Mia yang beberapa anak tangga di belakangnya langsung mengangkat wajahnya. Sejenak ia terdiam, tidak tahu harus merespons dengan apa. Kalimat itu terdengar seperti lelucon... atau mungkin sebuah teguran terselubung.
Christopher menaikkan satu alis, lalu suaranya kembali meluncur pelan, "Apa kau ingin aku menggendongmu ke atas?"
Mata Mia membulat kecil karena terkejut. Tapi dalam sepersekian detik, ia memaksakan senyum dan membalas dengan nada ringan.
"Aku... tentu saja tidak sejauh itu." Ia menarik napas sejenak, berusaha menjaga suaranya tetap stabil.
"Aku akan selalu berada di dekatmu."
Christopher menatapnya sekilas, lalu berbalik tanpa berkata apa pun. Ia kembali menaiki tangga tanpa memperlambat langkahnya. Di belakangnya, senyum Mia perlahan menghilang, tergantikan oleh ekspresi lelah yang sulit disembunyikan.
'Aku tahu dia hanya berpura-pura... Tapi kenapa aku tetap merasa senang saat dia berkata seperti itu?'
'Aku tahu aku bodoh. Tapi kalau hanya dengan kebohongan itu aku bisa merasa bahagia... apakah itu salah?'
Ia menundukkan kepala, mengikuti Christopher dalam diam. Kepalanya dipenuhi pertanyaan yang tidak terjawab dan hatinya dijejali harapan yang samar. Kakinya terus melangkah… hingga—
Bruk!
"Aduh…" Mia mengaduh pelan.
Hidungnya menabrak punggung Christopher yang entah kenapa berhenti tiba-tiba. Rasa sakit membuat matanya sedikit berair. Ia buru-buru mundur satu langkah, lalu menundukkan kepala, dan menggigit bibirnya sendiri.
"A-Aku tidak sengaja… maaf… aku—" ucapnya dengan suara bergetar ketakutan dan penuh rasa bersalah.
Christopher berbalik perlahan. Tatapannya dingin dan menusuk. Wajah Mia separuh tertutup oleh helaian rambut panjangnya, menciptakan siluet rapuh yang tidak bisa dibohongi.
Untuk sesaat, tidak ada yang mulai bicara. Hanya suara detik jam dinding dari lantai bawah yang terdengar samar.
Lalu, pria itu maju satu langkah.
Mia spontan memejamkan mata dan tubuhnya menegang.
'Aku akan dipukul lagi… kumohon jangan memukulku,' doanya dalam hati, lirih dan penuh kecemasan.
Namun, yang datang bukanlah rasa sakit... melainkan sentuhan tangan.
Jari-jari Christopher menyentuh hidungnya yang memerah, begitu hati-hati seolah takut menyakitinya.
"Kenapa ini sangat merah?" bisiknya.
"Sayang... ini pasti sakit, ya?"
Mia membuka matanya dan terkejut lalu menggeleng cepat.
"T-Tidak... tidak sakit sama sekali..." suaranya gemetar, hampir tidak terdengar.
Christopher tidak menanggapinya. Ia justru mengangkat tangan kanannya untuk mengusap lembut sisi hidung Mia.
"Jangan bergerak."
"Aku akan menggosoknya sedikit, agar tidak terlalu sakit."
Ia juga menyeka sudut mata Mia yang berair, menyentuh dengan kelembutan yang sama sekali tidak mencerminkan tatapan dingin beberapa detik yang lalu.
Mia terdiam dan napasnya tercekat.
Matanya menatap kosong ke wajah pria itu, antara terkejut dan tidak percaya. Dunia seakan hening dan waktu seolah berjalan melambat. Dalam hatinya, pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan lagi, lebih banyak dari sebelumnya.
'Kenapa... bisa seperti ini?'
'Apa dia benar-benar peduli... atau ini hanya permainan lain darinya?'
Suasana di tangga yang semula hening mendadak pecah oleh suara tawa berat seorang pria tua.
"Hahaha... apakah kalian berdua akan terus bermesraan di tangga?" suara itu menggema dari bawah.
Mia terjolak kaget dan sontak memalingkan wajahnya. Di bawah tangga, berdiri seorang pria tua berwibawa dengan senyum lebar, Kakek Lee. Di sampingnya, berdiri seorang wanita anggun dengan tatapan tajam, ibu Christopher, Irene Lee.
Namun, yang membuat dada Mia seketika sesak adalah sosok yang berdiri tepat di belakang mereka. Seorang pria paruh baya dengan sorot mata yang dingin dan penuh penilaian.
'Ayah...?'
Tubuh Mia menegang tanpa sadar. Namun, tangan Christopher tiba-tiba menarik tangannya dengan erat.
"Pegang erat," ucapnya pelan tapi tegas.
Tanpa berpikir panjang, Mia menggenggam balik tangan pria itu. Ada dorongan aneh dalam dirinya, seolah dia sedang butuh perlindungan, dan hanya Christopher yang bisa memberikannya saat ini.
Mereka melangkah pelan ke arah para tetua yang menanti di atas anak tangga.
Christopher menunduk dengan sipan, suaranya rendah dan penuh hormat.
"Kakek… aku kembali."
Kakek Lee mendekat dan senyumnya tetap mengembang. Matanya lalu beralih menatap Mia dengan pandangan penuh kasih sayang.
"Mia, kemarilah… biarkan Kakek melihatmu lebih dekat," ucapnya lalu menyentuh lengan Mia lembut.
"Kenapa kamu terlihat jauh lebih kurus dari terakhir kali kita bertemu? Apakah Christopher memperlakukanmu dengan baik?"
Belum sempat Mia menjawab, Irene ikut menyela, nadanya terdengar tegas namun menyiratkan kekhawatiran yang tidak kalah dalamnya.
"Aku juga merasakannya," katanya sambil menatap Christopher tajam.
"Chris, dengarkan baik-baik. Jika kau berani menggertak Mia lagi, aku dan kakekmu akan menjadi orang pertama yang memberimu pelajaran."
Christopher memalingkan wajahnya dengan ekspresi kesal. Rahangnya mengeras. Ia jelas tidak menyukai situasi ini.
Mia yang menangkap perubahan ekspresi suaminya buru-buru angkat bicara, ia mencoba menenangkan suasana yang mulai memanas.
"Kakek… akhir-akhir ini aku memang kehilangan nafsu makan," ujarnya cepat, dengan senyum paksa.
"Itu sebabnya berat badanku sedikit menurun. Dan karena rambutku lebih panjang sekarang... wajahku mungkin terlihat lebih tirus dari biasanya."
Kakek Lee mengamati wajah Mia dengan penuh perhatian. Ada kekhawatiran yang tidak bisa ia sembunyikan.
"Jangan pernah melewatkan waktu makan, Nak," ucapnya lembut.
"Kesehatanmu jauh lebih penting dari segalanya."
Ia menghela napas pelan. Pandangannya kemudian beralih ke pria yang berdiri agak jauh di belakang, orang itu adalah ayah Mia.
Sorot matanya berubah serius. Sejenak, suasana disana terasa menegang. Ada sesuatu yang tidak terucap namun jelas tergambar dalam pandangan mereka.
Mia hanya bisa menunduk. Hatinya mulai terasa berat, bibir bawahnya digigit pelan, dan menahan rasa yang sulit diungkapkan. Ayahnya… tetap berdiri diam disana, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan tidak menatapnya langsung.
Kakek Lee lalu berdeham pelan untuk mencoba mencairkan suasana.
"Aku sudah menyiapkan makanan kesukaanmu."
"Chris, bawa istrimu ke atas. Nikmatilah waktu kalian. Aku ingin berbicara sebentar dengan ayah Mia."
Christopher menunduk, kemudian menjawab tanpa ekspresi.
"Baik, Kakek."
Setelah itu, Kakek Lee, Irene, dan ayah Mia mulai melangkah menuju ruang atas yang lebih privat.
Mia menoleh pelan, menatap punggung ayahnya yang menjauh. Ia ingin memanggilnya... ia ingin bicara... tapi lidahnya terasa kelu. Yang bisa ia lakukan hanyalah berdiri diam dan menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
'Apakah aku benar-benar tidak berarti lagi baginya...?'
Christopher masih berdiri mematung sambil menatap arah mereka pergi. Beberapa detik kemudian, suaranya terdengar pelan, namun penuh dengan ketajaman yang begitu menusuk.
"Kerja bagus."
Mia menoleh perlahan. Lalu alisnya berkerut bingung.
"Kau memang sangat ahli dalam berpura-pura," lanjut Christopher, nadanya sinis namun terkendali.
Mia mengedipkan mata, hatinya terasa mencelos. Suaranya bergetar saat ia mencoba memahami tuduhan itu.
"A-Apa maksudmu?"
Christopher menyunggingkan senyum tipis yang sama sekali tidak hangat.
"Aku berkata, aktingmu tadi benar-benar sangat meyakinkan."
"Aku sedang tidak berakting…," ucap Mia lirih, hampir seperti bisikan, namun terdengar jelas di antara jarak mereka yang begitu dekat.
Christopher tertawa pendek, seolah kalimat Mia tadi adalah lelucon yang sangat menyedihkan.
"Heh."
"Apa kau pikir aku tidak tahu bahwa kau sengaja menabrak punggungku tadi?" ujarnya, langkahnya sedikit maju.
"Mereka mungkin tertipu olehmu, tapi aku tidak sebodoh itu, Mia."
Setiap katanya adalah bilah dingin yang menggores perasaannya, dan Mia tidak bisa menahan rasa nyeri di dadanya. Lagi-lagi… semua niat baiknya dianggap palsu. Hanya sebuah permainan di mata pria itu.
Ia mengulas senyum pahit, namun ia berusaha tetap tenang meski dadanya kini bergemuruh.
"Kau bilang aku sengaja melakukannya?"
"Kalau begitu… menurutmu, seperti apa aku yang sebenarnya?"
Christopher menatapnya dalam. Tatapannya dingin begitu tajam, dan menekan seperti beban yang tak kasat mata.
"Pikirkan baik-baik sebelum bicara," ucapnya pelan, tapi tegas.
"Aku tidak punya waktu untuk drama murahanmu."
Lalu, kalimat itu keluar… bagaikan tombak terakhir yang menusuk habis sisa harga diri Mia.
"Jujur saja… kau benar-benar membuatku muak."
Mata Mia membulat pelan. Tapi sebelum ia bisa mengatakan apapun, Christopher menarik saputangan dari saku jasnya. Dengan gerakan tenang dan penuh penghinaan, ia menyeka tangannya... lalu menjatuhkan saputangan itu ke lantai dengan kasar.
Seolah sentuhan Mia begitu kotor, dan begitu menjijikkan.
Tanpa menoleh, ia berbalik dan berjalan menuju ke ruang makan dan meninggalkan Mia dalam diam.
Gadis itu berdiri membeku beberapa saat. Lalu, perlahan ia berjongkok. Tangannya meraih saputangan yang tergeletak di lantai marmer dingin itu. Ia menepuk-nepuk pelan debu yang menempel, lalu menggenggamnya erat, seolah benda itu adalah sisa terakhir dari harga dirinya yang masih bisa ia genggam.
'Kenapa selalu seperti ini…?'
'Kenapa aku selalu salah di matanya…?'
Pikirannya kacau, dan dadanya terasa sempit, tapi matanya tetap kering. Ia sudah terlalu sering terluka… sehingga air mata pun enggan untuk jatuh.
.
.
.
.
.
.
.
- TBC -
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah