Saat gerbang Nether kembali terbuka, Kate Velnaria seorang Ksatria Cahaya terkuat Overworld, kehilangan segalanya. Kekuatan Arcanenya hancur di tangan Damian, pangeran dari kegelapan. Ia kembali dalam keadaan hidup-hidup, tetapi dunia yang dulu dikenalnya perlahan berubah menjadi asing. Arcane-nya menghilang, dan dalam bayang-bayang malam Damian selalu muncul. Bukan untuk membunuh, tetapi untuk memilikinya.
Ada sesuatu dalam diri Kate yang membangkitkan obsesi sang pangeran, sebuah rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak memahaminya. Di antara dunia yang retak, peperangan yang mengintai, dan bisikan kekuatan asing di dalam dirinya, Kate mulai mempertanyakan siapa dirinya sesungguhnya dan mengapa hatinya bergetar setiap kali Damian mendekat.
Masa lalu yang terkubur mulai menyeruak, membawa aroma darah, cinta, dan pengkhianatan. Saat kebenaran terungkap, Kate harus memilih antara melawan takdir yang membelenggunya atau menyerahkan dirinya pada kegelapan yang memanggil dengan manis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aria Monteza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Dia datang
Langit mendung menggantung di atas desa Elmridge sore itu, membuat udara terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti jalanan berpasir yang berkelok-kelok di antara rumah-rumah kayu sederhana. Suara pelan derap kaki kuda terdengar dari ujung jalan, menarik perhatian beberapa warga yang tengah menjemur hasil melaut di depan rumah.
Dua penunggang kuda tampak mendekat. Yang satu mengenakan pakaian bangsawan berwarna hitam keunguan dengan mantel panjang, rambutnya gelap dan tersisir rapi. Matanya tajam dengan senyum hangat palsu yang dipahat sempurna. Di sampingnya menunggang kuda dengan diam, adalah sosok berwajah dingin mengenakan pakaian tempur ringan. Damian yang menyamar sebagai bangsawan pengelana, turun dari kudanya di halaman rumah kepala desa.
“Selamat sore. Kami mendengar bahwa baru-baru ini, beberapa ksatria dari Ceaseton singgah dan menjalankan misi di desa ini. Apakah benar demikian?” ucap Damian dengan nada lembut dan sopan.
Kepala desa Harold, pria tua bertubuh pendek dan bungkuk, menyambut Damian dengan hati-hati. “Benar, Tuan. Mereka datang beberapa hari lalu. Tim dari Ceaseton, dipimpin oleh Orion Everhart. Mereka sudah pergi kembali ke markas setelah menyelesaikan misi.”
Damian tampak merenung sejenak, lalu mengangguk kecil. “Begitu ya…”
Ia mengangkat tangannya pada pengawalnya yang langsung menyerahkan sebuah kantong berat padanya. Damian lalu memberikannya langsung ke kepala desa.
“Ini sebagai bentuk terima kasih, untuk jamuan yang belum sempat kami terima,” ujar Damian sambil tersenyum samar.
Sebelum kepala desa sempat menolak, Damian sudah menyuruh pengawalnya membagikan beberapa kantong emas kecil kepada warga desa yang mulai berkumpul, penasaran melihat tamu misterius itu. Warga yang menerima emas itu tampak bingung, tetapi tentu tak menolak.
Ketika Damian akhirnya kembali menaiki kuda dan melanjutkan perjalanan keluar dari desa, tangan kanan Damian menoleh dengan pandangan heran.
“Tuanku, biasanya anda tidak melakukan hal seperti ini. Mengapa tiba-tiba bersikap murah hati?”
Damian tidak menoleh padanya, pandangannya lurus ke depan. “Karena dia menyukai hal seperti itu. Kate selalu tersenyum ketika bisa memberi sesuatu kepada orang miskin, seakan itu bisa menebus semua luka yang tak bisa ia sembuhkan dalam dirinya,” gumamnya pelan.
Tangan kanannya tidak menjawab, hanya mengangguk tipis, memahami bahwa Damian sedang menyusun sesuatu yang berhubungan dengan gadis itu.
***
Langit Ceaseton berwarna biru terang dan udara sore terasa hangat dan tenang. Sinar matahari yang lembut masuk di antara celah-celah dedaunan di taman belakang kastil, menciptakan pantulan cahaya keemasan di permukaan kolam kecil. Burung-burung bernyanyi pelan, seakan menyatu dengan melodi seruling yang mengalun merdu dari arah bawah pohon maple yang besar.
Kate duduk bersila di atas batu datar, matanya terpejam, jari-jarinya menari di atas serulingnya. Alunan nada itu tenang penuh resonansi spiritual, membuat udara sekitarnya bergetar lembut dengan aura Arcane. Di dekatnya, Leon bersandar santai di batang pohon, satu kakinya bertumpu, sambil memperhatikan gadis itu dengan ekspresi puas.
Sementara itu di sisi lain kastil, Orion berjalan cepat menyusuri lorong-lorong kosong. Matanya tajam dan gelisah. Ia baru saja keluar dari kelas mantra, dan seperti beberapa hari terakhir, ia tak melihat bayangan Kate di antara para siswa lainnya.
Sejak keberhasilan Kate dalam kelas ramuan, bahkan mengungguli siswa senior. Para tetua memberikan hak istimewa untuknya. Kate diperbolehkan melewati kelas-kelas umum, termasuk kelas pemanggilan roh suci yang terkenal sulit. Ketika Orion menanyakan alasannya kepada para tetua, mereka hanya berkata dengan nada datar.
"Dia sudah lulus dari semua itu. Kini tugasnya hanya satu, menaikkan Arcanenya dan menjaga kestabilannya."
Jawaban yang menurut Orion tidak memuaskan, bahkan terlalu misterius.
Ia akhirnya menyusuri taman belakang, dan di sanalah ia menemukan Kate yang tengah memainkan serulingnya dengan Leon yang duduk di dekatnya dengan tenang. Orion berjalan mendekat, berniat mengajak Kate kembali ke lapangan latihan.
Namun sebelum sempat menyapa, Leon mengangkat tangan. “Tunggu dulu. Biarkan dia menyelesaikan permainannya.”
Orion menatap jam matahari kecil di pergelangan tangannya dan menghela napas. “Pelatihan dimulai dalam lima menit.”
“Itu tak akan membuat langit runtuh. Percaya padaku, dia butuh beberapa menit lagi,” balas Leon santai.
Namun Orion tak sabar dan terdorong oleh kekhawatiran yang entah berasal dari mana, akhirnya melangkah mendekati Kate. Ia menyentuh bahu gadis itu, bermaksud memanggilnya dengan lembut.
Seketika itu juga, tubuh Kate bergetar dan serulingnya terlepas dari genggamannya. Matanya terbuka sejenak dengan kilat ketakutan, lalu ledakan energi Arcane meledak dari dalam tubuhnya.
BOOM!
Gelombang kejut Arcane yang pekat dan murni menghantam tubuh Orion seperti palu raksasa. Tubuhnya terpental beberapa meter ke belakang dan menghantam batang pohon, membuatnya mengeluarkan batuk keras. Tanah di sekitarnya bergetar ringan, dan daun-daun beterbangan ke udara.
Kate terdiam, bingung dan ketakutan. “O-Orion?!”
Leon hanya tertawa, mendekat dengan langkah santai. “Itu luar biasa.” Ia menepuk bahu Kate dengan senang. “Tenang saja, dia tidak akan mati hanya karena itu.”
Kate menoleh pada Leon, masih terlihat bingung. “Aku tidak sengaja… aku tidak tahu kenapa. Aku hanya…”
“Kekuatanmu sudah nyaris stabil sempurna di alam jiwa. Sekarang hanya perlu satu langkah lagi agar kamu bisa menyeimbangkannya di dunia nyata. Jangan takut pada kekuatanmu, Kate. Belajarlah untuk menerimanya,” terang Leon sembari menatap Kate dengan mata bersinar.
“Tapi aku masih tidak mengerti kenapa bisa seperti itu,” gumam Kate pelan, menunduk. “Biasanya aku bisa mengontrol energi Arcaneku saat memainkan seruling.”
“Itu karena kamu terlalu nyaman. Arcanemu merespon perasaanmu, dan saat kamu tenang, kekuatanmu jadi lebih bebas. Tapi saat seseorang tiba-tiba menyentuhmu…” Ia menatap Orion di kejauhan, “reaksi bawah sadarmu menjadi benteng otomatis. Sebenarnya itu bagus untuk pertahanan diri,” ucap Leon mengangguk santai, menyandarkan bahunya ke batang pohon.
Sementara itu, Orion masih duduk bersandar pada batang pohon, menahan napas dengan satu tangan di dadanya yang nyeri. Matanya menatap Kate dan Leon yang tampak begitu dekat, membahas sesuatu yang tidak bisa ia mengerti. Dadanya terasa sesak, entah karena luka atau karena hal lain yang lebih dalam.
Kate menarik napas panjang dan melangkah perlahan menuju Orion, yang masih terduduk di bawah pohon. Meski terlihat tak terlalu parah, napasnya sedikit berat, dan satu tangannya masih memegangi sisi tubuhnya.
“Orion… Maaf. Aku benar-benar tidak sengaja,” suara Kate nyaris seperti bisikan. Ia berlutut di sampingnya, wajahnya dipenuhi rasa bersalah.
“Aku tahu. Aku hanya sedikit terkejut saja,” kata Orion mengangkat wajahnya, menatap gadis itu. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya.
Kate menyentuhkan tangannya ke bagian tubuh Orion yang terlihat lebam akibat benturan. Ujung jarinya menyala lembut, energi Arcane yang hangat mengalir keluar, menyelimuti tubuh Orion. Seketika rasa sakit di dadanya mulai berkurang, dan napasnya menjadi lebih ringan.
Di belakang mereka, Leon masih memperhatikan sambil menyilangkan tangan. Wajahnya geli namun penuh sindiran. “Lain kali, jangan ganggu dia saat main seruling. Atau kau akan terbang lebih jauh lagi,” katanya keras agar keduanya mendengar.
Kate memutar kepala, ingin membalas sesuatu, tetapi Leon sudah berjalan pergi, meninggalkan mereka berdua di bawah bayangan pohon yang mulai memanjang.
Orion menatap Kate yang masih berada di sisinya. “Kamu tidak perlu merasa bersalah, Kate. Sungguh. Kalau itu berarti kekuatanmu semakin meningkat, maka aku senang.”
Kate menggigit bibir bawahnya. “Tapi tetap saja, aku…”
“Jangan pikirkan. Aku yang salah karena menyentuhmu tiba-tiba. Itu insting pertahananmu yang bekerja,” potong Orion lembut.
Hening sebentar. Hanya angin dan suara dedaunan yang mengisi ruang di antara mereka.
Lalu Orion melanjutkan, “Nanti setelah ini, ikut denganku ke tempat latihan. Biar kita coba latih sihirmu sedikit. Bukan yang berat, hanya untuk membantumu mengontrol kekuatanmu.”
Kate menatap Orion sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baik. Tapi lain kali jangan sentuh aku sembarangan lagi.”
“Kesepakatan yang adil,” ucap Orion terkekeh kecil.
Untuk pertama kalinya setelah beberapa waktu, keduanya tertawa ringan bersama. Meskipun bayang-bayang masalah masih menyelimuti langit Ceaseton, untuk saat itu hanya suara tawa dan angin senja yang berhembus lembut di antara mereka.
***
Langit malam di tepi pantai Ceaseton terhampar seperti kanvas hitam bertabur bintang. Suara deburan ombak terdengar lembut, memecah keheningan yang menyelimuti pantai berbatu putih itu. Cahaya bulan memantul di permukaan laut, menari dalam gelombang tenang. Di bawah langit itu, Kate dan Orion berdiri saling berhadapan.
Mereka sudah berlatih selama hampir dua jam. Keringat belum membasahi tubuh, karena bukan kekuatan yang diandalkan malam ini, melainkan kendali. Orion berdiri di sisi Kate, matanya penuh konsentrasi namun lembut, menyaksikan bagaimana gadis itu menyesuaikan posisi tangan dan irama nafasnya.
“Rasakan alirannya, bukan dorongannya,” ujar Orion perlahan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara angin malam. “Arcane kita itu elemen cahaya. Ia mengalir seperti nyala lentera, bukan meledak seperti api.”
Kate mengangguk pelan. Matanya terpejam sejenak, mengatur energi di dalam tubuhnya. Kedua telapak tangannya mengarah ke permukaan laut, lalu dari dalam dirinya, cahaya lembut mulai menyelimuti kulitnya nyaris transparan, seperti kabut yang diterangi sinar matahari pagi.
“Lumen Varia,” ucap Kate perlahan.
Air laut di hadapannya merespons. Kilau lembut muncul di atas permukaannya, membentuk pola cahaya yang berputar seperti bunga yang mekar di atas buih. Orion mengangkat alis, terkejut, tapi tak bisa menahan senyum kecilnya.
“Siapa yang mengajarimu mantra itu?” tanya Orion sambil melangkah mendekat.
Kate membuka matanya dan tersenyum malu. “Aku membacanya di perpustakaan dan sedikit eksperimen.”
Orion terkekeh. “Ternyata kamu cepat belajar juga.”
“Aku harus melakukannya agar tidak menyusahkanmu terus-menerus.”
Senyuman di bibir Orion berubah lebih lembut. Ia mendekat dan mengulurkan tangan, menyentuh punggung tangan Kate dengan gerakan hati-hati.
“Ayo, kita coba yang satu ini bersama.”
Ia mengangkat tangan Kate dengan tenang, menyatukan kedua telapak mereka menghadap laut. Sinar lembut mengalir dari tubuh mereka berdua, bergabung menjadi satu pancaran yang lebih besar dan hangat. Di hadapan mereka, ombak yang datang menjadi lebih berkilau, seperti benang cahaya yang menganyam di permukaan air. Setiap langkah mereka di pasir basah terasa ringan, seperti menari di antara buih dan cahaya. Kate tertawa pelan, langkahnya berputar ringan di pasir.
“Ini menyenangkan,” bisik Kate.
“Begitulah seharusnya sihir terasa. Bukan sebuah beban, tapi bagian dari dirimu,” balas Orion.
Mereka terus bergerak, melangkah dalam ritme yang tidak terucap. Gerakan Kate yang halus berpadu dengan bimbingan Orion yang tenang. Tidak ada tekanan. Tidak ada tugas. Hanya dua orang yang berbagi kesamaan dalam cahaya dan dalam diam, saling mengenal lebih dalam.
Saat latihan usai, mereka berjalan menyusuri garis pantai. Kaki mereka menyentuh air dingin yang menyapu pantai perlahan. Udara malam yang sejuk membuat rambut Kate tertiup lembut, dan Orion sesekali mencuri pandang ke arahnya.
“Dulu, aku pikir kamu hanya akan jadi seseorang yang harus kulindungi,” kata Orion membuka percakapan.
Kate menoleh, menatap wajah pria itu yang kini diterangi cahaya bulan. “Dan sekarang?”
Orion berhenti berjalan. Kate pun ikut berhenti. Di depan mereka, ombak kembali datang, membawa aroma asin khas lautan.
“Seseorang yang bisa berjalan bersamaku dalam cahaya yang sama,” jawab Orion jujur.
Kate terdiam. Pipinya sedikit memerah, meski udara malam cukup dingin. Ia tak menjawab, tapi satu senyum kecil muncul di bibirnya. Sebuah senyum yang hanya pernah ditujukan untuk dirinya sendiri, kini perlahan dibagikan kepada Orion.
Malam itu, mereka duduk bersebelahan di atas batu datar menghadap laut. Tidak banyak kata yang diucapkan lagi, karena kesunyian sudah cukup berbicara. Langit penuh bintang menjadi atap, dan pantai menjadi saksi bahwa dua cahaya yang selama ini bersinar sendiri, perlahan mulai menemukan tempat untuk bersinar bersama.
Setelah cukup lama menikmati malam penuh bintang, Kate dan Orion kembali ke kastil. Sepanjang perjalanan pulang, mereka hanya berbicara sedikit tidak karena canggung, tapi karena kenyamanan telah mengambil alih semua.
Saat mereka berdua menuruni tangga menuju lorong utama kastil, mereka tidak sadar bahwa dari balik salah satu jendela kaca tinggi yang terbuka sebagian, sepasang mata tengah memperhatikan mereka dengan penuh emosi yang membara.
Lyra bersandar di dinding, dan satu tangannya menggenggam gagang jendela dengan erat, sampai buku-buku jarinya memutih. Ia sudah mencarinya sejak sore, dan rasa frustasi tak tertahan saat melihat Orion berjalan di samping Kate tengah tertawa kecil, dan sesekali mencuri pandang pada gadis itu seperti seseorang yang sedang jatuh cinta.
Orion yang dingin. Orion yang tak pernah membuka hati. Orion yang selalu menjaga jarak. Kini berubah karena Kate.
Lyra menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan luapan perasaan yang terus menghantam dadanya seperti gelombang pasang. Ia mengingat kembali masa-masa ketika hanya dirinya satu-satunya gadis di tim. Saat semua perhatian, terutama dari Orion, terasa hanya mengarah padanya meski tak pernah secara khusus. Sekarang perhatian itu telah bergeser. Dan Lyra tahu, bukan hanya karena Kate lemah dan butuh perlindungan, tapi karena ada sesuatu dalam diri gadis itu yang menarik Orion untuk lebih dari sekadar melindungi.
Malam semakin larut, dan angin malam membawa kabar yang tak bisa dilihat oleh mata biasa. Di perbatasan Ceaseton, di luar gerbang yang dijaga, sosok berjubah hitam berdiri di atas tebing. Tangan kanan Damian, pria dengan tatapan tajam dan senyum licik, menatap benteng kastil dari kejauhan. Di belakangnya, Damian berdiri angkuh dengan jubah bangsawan yang berkibar ditiup angin.
“Dia mulai terbuka pada orang lain. Tapi aku akan segera mengembalikannya ke tempat semula,” gumam Damian.
“Tuanku, Anda benar-benar tidak suka pada pria bernama Orion itu, ya?” Tangan kanannya melirik ke arah majikannya.
Damian tertawa pelan. “Bukan masalah suka atau tidak suka. Kate milikku dan aku tidak akan biarkan cahaya yang kubentuk dibagi dengan siapa pun.”
Lalu mereka menghilang dalam kabut malam, bergerak tanpa suara menuju Ceaseton.