NovelToon NovelToon
Legenda Kaisar Roh

Legenda Kaisar Roh

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi Timur / Spiritual / Reinkarnasi / Roh Supernatural / Light Novel
Popularitas:792
Nilai: 5
Nama Author: Hinjeki No Yuri

Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.

Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertempuran Tanpa Henti Menyegel Gerbang Utama

Kegelapan malam telah sepenuhnya menyelimuti reruntuhan Kuil Naga. Di jantung kuil itu berdiri Gerbang Utama, dahulu mahakarya langit yang membanggakan, kini terkoyak oleh celah yang retak dengan cahaya hijau keuh. Di sekelilingnya tergeletak lilin-lilin hitam yang telah habis meleleh, bentuk lilin yang kaku menjadi saksi atas pengkhianatan Shen Wu.

Dalam kegelapan kuil naga, Liang Feng dan Bai Xue menempel pada permukaan pilar yang retak. Napas mereka tersengal, senjata siap terhunus. Udara bergetar penuh ketegangan, sarat dengan aroma logam darah dan sengatan listrik dari roh-roh yang menerkam di balik tirai. Di depan mereka, koridor itu meluap oleh gerombolan Pasukan bayangan bersisik obsidian dengan mata kosong memantulkan keserakahan dan taring melengkung mengerikan.

“Feng.” bisik Bai Xue melalui ikatan batin yang menghubungkan pikiran mereka. Ekor peraknya mengepit gelisah. “Segel itu semakin rapuh. Mereka menyerang dari dua sisi.”

Mata Liang Feng yang gelap melirik celah di gerbang. Untaian energi zamrud bergeliat bagai ular hidup, meronta ingin bebas. Ia menutup mata sebentar, menarik kekuatan dari ajaran kuno yang diwariskan Nenek Li. Menghela napas perlahan, ia membuka mata dan berkata dengan mantap, “Bertahan di posisi kalian. Aku dan Bai Xue akan memperkuat segel. Kalian semua, ulur waktu seberapa lama pun.”

Dari balik bayang-bayang muncul sekelompok pasukan relawan desa mulai dari petani berpakaian kasar, pandai besi dengan wajah hitam pekat dan murid-murid biara dalam jubah lusuh. Mereka membentuk pagar hidup di sekitar gerbang, tombak berornamen kepala naga terangkat, lentera kristal berisi cahaya bergoyang di pinggang mereka. Ketakutan berkedip di mata mereka, namun tak seorang pun mundur.

Bai Xue menarik napas dalam dan melepaskan kilatan aura perak. Roh-roh terdekat terdorong mundur saat benang-benang cahaya merobek wujud etereal mereka. Jeritan pilu bergema di koridor saat bayangan-bayangan hancur menjadi butir-butir cahaya yang terbang menembus langit. Namun kemenangan itu terlalu singkat, malahan semakin banyak roh baru yang bermunculan dari kedalaman kuil, merambat melalui retakan dinding, tanpa henti memperbarui barisan mereka.

Liang Feng berlutut di atas batu dingin, menggoreskan tiga sigil naga yang rumit di udara dengan pedang berkilau. Setiap goresan meninggalkan jejak cahaya hijau zamrud. Setelah sigil terakhir terselesaikan, ia melafalkan dengan suara tegar, “Tianlong, bangkit dan ubah nasib! Ikat gerbang ini, agar kehidupan tetap terjaga!”

Runa-runa terang meledak dari ujung pedangnya, melesat menuju celah. Retakan itu menggeliat, tepian batu bergetar menahan cahaya penyembuhan. Percikan membumbung di sepanjang rekahan dan segel menggeram keras menolak. Tangan Liang Feng bergetar menahan beban sihir dengan keringat menetes ke wajahnya.

Di sampingnya, Bai Xue melompat maju. Cakar halusnya menapak lantai, memanggil pusaran aura sucinya membahana ke luar, merobek puluhan bayangan dalam gelombang gemilang. Ratapan perlawanan menggelegar, membuat suatu pekikan keberanian. Puluhan roh tersapu, bentuk mereka luluh menjadi debu berpendar. Namun pasukan kegelapan itu tak surut, gelombang kegelapan berusaha menenggelamkan setiap cahaya.

Dentang logam bergesekan dengan angin etereal, gelas lentera pecah berkeping, sihir bertabrakan dalam letupan kesunyian. Setiap penduduk desa bertarung habis-habisan: pandai besi menusuk tombaknya ke tengah roh, hanya untuk menebas pandangannya sendiri saat tombak itu terpental, seorang murid biara memungut lentera yang remuk, tanpa cahaya sama sekali.

Lalu, dari segala keributan, muncul suara perintah: “Formasi Naga Berkepak!” Kata-kata itu memecah kekacauan seperti petir. Di mulut kuil, bayangan terbelah untuk menyingkap Nenek Li, hanfunya melayang tertiup angin sakti. Tongkat emas berukir runa ilahi berpendar di tangannya. Di sampingnya berlutut Shen Wu, tubuhnya kurus, napasnya tersengal, matanya kosong menahan penyesalan.

“Aku… datang untuk menyegel gerbang.” suaranya parau, serak seperti kerikil. Keangkuhan yang pernah membara dalam matanya telah padam, digantikan penyesalan dalam setiap garis wajahnya.

Nenek Li tak menegurnya. Dengan lembut ia menarik serbuk Kristal Surgawi dari kantungnya, menaburkannya di pedang Liang Feng dan tongkat Bai Xue. Bubuk halus itu menempel bak jaring sutra, memandikan senjata dalam sinar biru kelembutan. “Serbuk ini akan mengikat sihirmu pada segelm” bisiknya tegas. “Bersama, kalian bertiga akan menutup lubang ini.”

Liang Feng menggenggam pedangnya semakin erat, menyulut tekad barunya. Bai Xue menegakkan badannya, bulu peraknya menyala samar-samar. Shen Wu bersandar pada Nenek Li, setiap napasnya getar layaknya lembar harapan terakhir. Tembok kuil berguncang saat roh-roh merasakan gelombang kekuatan suci, mengkerut ketakutan menghadapi cahaya baru.

“Sekarang.” perintah Nenek Li.

Serentak, Liang Feng dan Bai Xue menyambar ke depan. Pedang Liang Feng menyala hijau dan biru, menancap di sela batu, sedangkan tongkat Bai Xue memuntahkan pusaran aura perak yang berkelok ke retakan. Dunia seakan melambat setiap satu detik hening sebelum ledakan cahaya membuncah, meledak seperti matahari dalam kegelapan.

Gerbang mengaum keras ketika celah mulai menutup, urat-urat hijau memudar pelan, hingga hanya menyisakan gema yang samar-samar terdengar. Satu gelombang kejut merambat, menerbangkan roh-roh yang tersisa bagai daun kering dan jeritan mereka meredup, larut jadi titik-titik cahaya yang mendaki ke langit.

Saat gemerlap itu mereda, suasana hening membentang. Hanya napas berat para penyintas yang terdengar. Gerbang Utama berdiri utuh kembali, permukaannya bersih, meski samar tergurat runa halus. Di sekelilingnya, senjata patah dan lentera mati berserakan, tetapi segel kini tertutup meski agak sedikit rapuh.

Liang Feng terhuyung mundur, menahan diri pada pedangnya. Napasnya terengah-engah, jari gemetar menyentuh pelipisnya. Bai Xue berlutut, aura peraknya meredup di balik debu yang menempel pada bulunya. Di balik mereka, Nenek Li berjongkok di samping Shen Wu. Tubuh pemuda itu terkulai lemah, napasnya nyaris tiada, membuktikan buktikan pengorbanannya. Tangan Nenek Li berpendar hangat saat meraba dada Shen Wu, air mata mengalir pelan di pipinya. “Dia menebus segalanya dengan nyawanya.”

Liang Feng berlutut di sisi Shen Wu, duka dan ngeri menyergap. Ingatan akan tawa mereka saat berlatih, kesalahan pertama Shen Wu yang konyol, tekadnya yang pernah teguh, semua terulang bagai guratan luka lama. Kini bara itu padam.

“Ia menebus dosa dengan jiwanya…” suara Liang Feng terputus, kepalanya menunduk. Tinju kanannya menumbuk lantai batu, menghancurkan lentera terakhir. Keping-keping kristal menyebar bagai serpihan air mata di kerikil.

Bai Xue berdiri, gemetar, menempelkan kepala pada bahu Liang Feng. Tatapannya biasanya garang kini lembut akibat berduka. “Kita akan menghormatinya.” bisiknya lirih. “Pengorbanannya tak akan sia-sia.”

Seorang pemuda desa maju, memegang lentera yang retak. Ia mengangkatnya perlahan, cahaya remang menari-nari di antara para penyintas. Satu per satu, mereka ikut mengangkat lentera rusak yang menjadi simbol penghormatan. Cahaya berkumpul di kaki gerbang, memantulkan wajah-wajah letih Liang Feng, Bai Xue dan Nenek Li.

Beberapa saat tak seorang pun bersuara. Angin sepoi-sepoi menyusup melalui lengkung rusak, membisikkan simpati alam. Lalu Nenek Li memecah kesunyian dengan suara lembut nan tegas. “Kemenangan ini hanya sementara. Kegelapan akan bangkit kembali, mencari celah baru. Kita harus siaga, malam ini kita melawan untuk Shen Wu, untuk roh-roh hutan, untuk dunia manusia dan alam ghaib.”

Liang Feng berdiri, menahan pedang di pangkuannya. Ia menyelipkan bilahnya ke sarung, membersihkannya dengan kain tabard di pinggang. Mata Liang Feng menatap reruntuhan kuil, lentera padam, langit berbintang. “Perjalanan kita belum selesai.” ujarnya dengan penuh keyakinan. “Kita akan membangun kembali Kuil Naga. Kita akan memperkuat segel. Kita akan menjaganya hingga titik darah penghabisan.”

Bai Xue melangkah ke sisinya, menyandar lembut pada kakinya. Aura peraknya kembali berdenyut, selaras dengan detak jantungnya. “Aku akan setia di sisimu.” janjinya, dengan suara lirih.

Di bawah sinar bulan yang menyinari puing-puing, para penyintas mulai bangkit. Mereka merapikan lentera yang tersisa, memadamkannya satu per satu hingga hanya suara langkah kaki dan bisikan angin yang tersisa. Mengitari gerbang yang tertutup, mereka membentuk lingkaran perlindungan.

1
Oertapa jaman dulu
Menarik dan berbeda dg cerita lainya
Awal cukup menarik... 👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!